Rabu, 06 April 2011

Sindrom Not In My Back Yard Terkait Rencana Pembangunan PLTN

Polemik tentang PLTN, sebagai sistem pembangkit listrik melalui konversi energi nuklir menjadi energi listrik, berkaitan dengan keselamatan reaktor dan keluaran limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah beracun (B3). Dengan dua isu utama itu dampak sosial yang muncul sebagai akibat pembangunan PLTN bukan hanya bersifat standar atau baku seperti terciptanya kesempatan kerja, kesempatan berusaha, timbulnya gangguan kenyamanan karena kemacetan lalu lintas, bising, getaran, debu, melainkan juga dampak yang bersifat spesifik seperti rasa cemas, khawatir dan takut yang besarnya tidak mudah dikuantifikasi. Dalam terminologi dampak sosial, dampak yang demikian itu disebut perceived impact atau dampak yang dipersepsikan.
Berbeda dengan dampak standar yang bersifat tangible dan mudah diukur, dampak persepsi muncul karena adanya pandangan masyarakat terhadeap proyek yang berhubungan dengan resiko yang mungkin timbul. Dalam konteks PLTN, persepsi itu terbentuk karena kekhawatiran masyarakat terhadap potensi kecelakaan, kebocoran atau kesalahan operasi. Dampak-dampak seperti itu kemudian bisa mewujud dalam bentuk rasa was-was, takut, dan cemas yang kemudian diekspresikan dalam sikap penolakan yang kadang disertai dengan tindakan kekerasan.
Persepsi masyarakat tersebut tumbuh karena pengetahuan terhadap proyek sejenis di tempat lain. Kasus penolakan masyarakat disertai kekerasan terhadap proyek sejenis TPST (tempat pengolahan sampah terpadu) di Bojong, Jawa Barat, dipicu oleh kenyataan akan buruknya pengolahan sampah di tempat lain seperti di Bantargebang, Bekasi, Sukolilo, Surabaya, dan di tempat-tempat lain. Dalam pandangan masyarakat, yang namanya tempat pengolahan akhir (TPA) sampah identik dengan kumuh, bau, debu, lalat, ceceran sampah dan kontaminasi air tanah. Berbagai dampak tersebut ditengarai menjadi penyebab menurunnya nilai properti (rumah dan tanah).
Bagaimana dengan PLTN? Trauma nuklir yang menghinggapi masyarakat berawal dari kenyataan bahwa pemanfaatan energi nuklir adalah untuk keperluan perang. Penggunaan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki Jepang pada Agustus 1945 untuk mengakhiri Perang Dunia II, membentuk persepsi masyarakat tentang pemanfaatan nuklir yang destruktif dan tidak manusiawi.
Citra menakutkan itu diperburuk oleh beberapa peristiwa kebocoran, seperti di Chernobyl dan Three Mile Island. Malapetaka di kedua tempat itu selalu menjadi referensi masyarakat lokal untuk menolak kehadiran PLTN. Hal demikian terjadi pada waktu masyarakat lokal di Warman, Saskatchawan, Kanada, menolak rencana pembangunan penyulingan uranium. Sikap penduduk yang didokumentasikan dalam buku Why People Say No itu didasari oleh peristiwa kebocoran di Three Mite Island dan di Port Hope, Ontario, Kanada. Buku itu menyebutkan bahwa hasil penyulingan uranium yang dipergunakan sebagai bahan bakar pembangkit nuklir ternyata sama bahayanya dengan pembangkit tenaga nuklir.
Isu kedua yang memicu masyarakat untuk menolak kehadiran PLTN adalah tentang limbah radioaktif. Dalam operasinya, PLTN akan menghasilkan limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah khusus berbahaya. Sebagaimana dikemukakan Sasongko (2006), penumpukan bahan radioaktif hasil belahan dan bahan-bahan radioaktif pada sistem pendingin berpotensi tersebar keluar jika terjadi kebocoran/ kecelakaan reaktor. Radiasi yang berasal dari bahan radioaktif dapat menimbulkan kontaminasi terhadap manusia dan biosfernya. Prosedur dan standar keselamatan PLTN yang dilakukan di beberapa negara untuk mengelola potensi bahaya PLTN selama ini memang ditujukan untuk memberikan perlindungan lingkungan. Namun demikian, terjadinya kasus-kasus kebocoran dan kecelakaan PLTN mengundang pertanyaan sekelompok masyarakat yang kritis dan skeptis tentang efektivitas prosedur dan keselamatan tersebut.
Keandalan PLTN berkembang menjadi isu kritis yang menimbulkan kekawatiran masyarakat. Armour (1988), pakar studi dampak sosial dari Kanada, mencatat sebab utama munculnya penggalangan warga Amerika Serikat dan Kanada untuk menolak kehadiran proyek nuklir adalah karena ketidakmampuan teknologi di dalam menanggulangi konsekuensi sosial dan ekologis.Kondisi tersebut akan menyebabkan setiap proyek yang dianggap akan mengusik keselamatan masyarakat dan lingkungan ditentang habis-habisan. Gerakan semacam itu disebut sebagai sindrom NIMBY (Not In My Back Yard atau jangan letakkan proyek itu di sekitar permukiman saya). Suka atau idak, fasilitas pembangkit tenaga nuklir dalam kamus masyarakat lokal di Amerika Utara (AS dan Kanada) masuk dalam kategori NIMBY. Di Indonesia, sindrom NIMBY telah merasuki sanubari masyarakat terhadap proyek TPA sampah dan di beberapa tempat untuk proyek jaringan transmisi.
Selama ini, pemprakarsa PLTN selalu memaparkan keandalan teknologinya yang menjamin keamanan dan keselamatan. Namun demikian, rasanya masih sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak akan memikul resiko. Dampak sosial yang sifatnya spesifik memang sulit dikuantifikasi. Keuntungan-keuntungan yang mungkin diraup oleh masyarakat luas oleh kehadiran proyek (dalam bentuk penyediaan energi dan kesempatan kerja), belum mampu menghilangkan kekhawatiran atau derita yang mungkin akan dialami oleh masyarakat di sekitar proyek. Kelompok-kelompok masyarakat yang senantiasa dihinggapi kekhawatiran itu layak mendapat perhatian sepadan. 
Mengutip pandangan Finsterbusch (1989) dan Cernea (1991), dua pakar sosial dari Amerika Serikat, keputusan publik yang hanya mendasarkan pada hasil pembobotan akan menimbulkan ketidakadilan dan mengabaikan demokrasi serta kesederajatan.

Resiko Ekonomi Pembangunan PLTN

Hampir setiap orang mengetahui resiko kecelakaan dan bahaya radiasi zat radio aktif dari sebuah reaktor nuklir pembangkit listrik. Padahal, selain resiko kecelakaan, resiko ekonomi PLTN juga perlu menjadi pertimbangan, mengingat dana APBN yang terbatas dan kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih. Setidaknya ada tiga resiko ekonomi PLTN yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, resiko eskalasi biaya dan penundaan penyelesaian konstruksi. Sudah menjadi "tradisi" industri nuklir, perkiraan biaya konstruksi biasanya kecil di awal, tetapi kemudian membengkak seiring berjalannya proyek.
Pada banyak kasus, biaya pembangunan PLTN bisa membengkak dua hingga empat kali lipat dari perkiraan semula, seperti yang pernah dialami Brasil, Argentina, India, Ceko, Inggris, dan Amerika Serikat. Ini bukan berarti negara-negara lain tidak mengalami hal serupa mengingat data biaya konstruksi sering kali tidak dibuka kepada publik.
Molornya masa konstruksi juga merupakan problem klasik dalam proyek PLTN. Data Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tahun 2006 menunjukkan, dari sekitar 30 negara yang memiliki PLTN, separuhnya pernah mengalami penundaan penyelesaian konstruksi lebih dari 10 tahun. Jumlah itu belum termasuk beberapa proyek PLTN yang dihentikan di tengah jalan, seperti yang terjadi di Argentina, Bulgaria, dan Romania.
Karena PLTN adalah investasi padat modal, pembengkakan biaya dan keterlambatan konstruksi akan berpengaruh besar terhadap kenaikan biaya pembangkitan yang pada akhirnya akan menjadi beban masyarakat sebagai konsumen. Bagi Indonesia, penundaan jadwal pengoperasian sebuah pembangkit juga berarti merupakan gangguan terhadap pasokan listrik nasional yang kondisinya sudah kritis. Resiko pembengkakan biaya konstruksi mungkin bisa dihindari jika proyek dilakukan dengan menggunakan skema putar kunci (turnkey). Yang menjadi pertanyaan, mungkinkah mendapatkan harga jual listrik yang murah dengan skema tersebut?
Kedua, resiko kinerja pembangkit yang di bawah harapan. Resiko ini dapat berupa faktor kapasitas yang rendah atau umur ekonomis yang lebih pendek dari yang direncanakan. Mengacu pada data IAEA, setidaknya ada 15 negara yang memiliki kapasitas akumulatif PLTN kurang dari 75 %. Faktor kapasitas akumulatif PLTN-PLTN di Armenia, Brasil, Bulgaria, India, Lituania, dan Pakistan bahkan kurang dari 60 %. Padahal, sebagai penyangga beban dasar, PLTN umumnya didesain agar beroperasi dengan faktor kapasitas tidak kurang dari 80 % untuk mencapai syarat keekonomian yang diharapkan.
Sebuah PLTN diharapkan memiliki umur ekonomis hingga 40 tahun. Namun, tidak jarang dijumpai sebuah PLTN harus ditutup jauh lebih awal dari umur yang direncanakan karena berbagai masalah. Data IAEA menunjukkan, hingga akhir tahun 2005, ada 51 reaktor daya yang ditutup secara permanen sebelum usianya genap 20 tahun.
Ketiga, resiko tanggung jawab jangka panjang. Resiko ini terkait dengan ketidakpastian biaya dekomisioning dan penyimpanan akhir limbah nuklir. Karena dana dekomisioning dikumpulkan dari setiap kWh listrik yang dibangkitkan PLTN dengan metode discounted cash flow, selalu muncul kemungkinan dana tersebut tidak cukup di kemudian hari. Kemungkinan itu bisa disebabkan oleh eskalasi biaya yang tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini bisa terjadi mengingat menghitung biaya dekomisioning ibarat meramal masa depan, penuh ketidakpastian. Nilai tukar mata uang, tingkat inflasi, eskalasi upah buruh dan material selama 40 tahun ke depan harus diperkirakan dengan cermat. Sampai-sampai Ian Jackson (seorang konsultan senior industri nuklir Inggris) mengatakan bahwa menghitung biaya dekomisioning lebih pantas disebut seni ketimbang sains (Paying for Nuclear Clean-up: An Unofficial Market Guide, 2006).
Kekurangan dana dekomisioning dapat juga disebabkan oleh dana tidak terkumpul sesuai dengan yang direncanakan. Hal ini bisa terjadi akibat kesalahan pengelolaan dana, kinerja pembangkit yang di bawah harapan, atau dana dikorupsi di tengah jalan. Pengalaman Inggris adalah salah satu contoh nyata bahwa biaya dekomisioning selalu lebih besar daripada yang diperkirakan dan dana yang dikumpulkan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Selama beberapa tahun terakhir perkiraan biaya dekomisioning di negara tersebut membengkak hingga beberapa kali lipat. Saat ini jumlah tanggungan biaya dekomisioning diperkirakan tidak kurang dari 140 miliar dollar AS (BBC, 30 Maret 2006). Padahal, dana yang telah dikumpulkan dari industri nuklir jauh dari mencukupi. Konsekuensinya, kekurangan dana harus ditanggung publik hingga beberapa generasi yang akan datang.
Semua resiko ekonomi yang telah diuraikan itu adalah sifat "bawaan" industri nuklir. Di samping itu, ada pula resiko ekonomi yang muncul akibat fluktuasi harga bahan bakar nuklir. Selama empat tahun terakhir, harga uranium sudah melambung sepuluh kali lipat. Harga pengayaan bahan bakar (enrichment) naik 30 %, sementara harga konversi melonjak hingga dua kali lipat. Uranium tidak hanya mahal, pasarnya pun tidak transparan sehingga sewaktu-waktu bisa bergejolak. Yang lebih mengkhawatirkan, produksi uranium dunia saat ini hanya mampu memenuhi 67% kebutuhan dunia. Sisanya diperoleh dari konversi senjata nuklir yang ada di Amerika Serikat dan Rusia.
Bagi Indonesia, yang relatif miskin akan cadangan uranium, gejolak harga uranium merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan sebelum membangun PLTN. Data di buku Uranium Resources, Production and Demand terbitan Nuclear Energy Agency tahun 2006 menyebutkan sumber daya uranium Indonesia hanya 6.000 ton. Itu pun termasuk jenis kadar rendah dengan biaya eksploitasi yang tinggi. Jumlah sebesar itu bahkan belum tentu cukup untuk menghidupi daur hidup satu unit PLTN.
Resiko ekonomi PLTN tidak hanya relevan bagi negara yang masih baru dalam pengembangan energi nuklir. Rekam jejak PLTN di Amerika Serikat, yang selama ini menjadi salah satu kiblat teknologi nuklir dunia, membuktikan bahwa di negara tersebut resiko ekonomi PLTN masih menjadi masalah yang nyata.
Nathan Hultman (peneliti senior di Universitas Georgetown) dan Daniel Kammen (profesor di Universitas California) menemukan fakta bahwa 16 % PLTN yang pernah atau masih beroperasi di negara tersebut tidak memenuhi syarat keekonomian yang wajar, dengan biaya pembangkitan di atas 8 sen per kWh (Environmental Science, 2007). Dalam kaitannya dengan rencana pembangunan PLTN pertama di Indonesia, semua resiko ekonomi itu perlu dipertimbangkan dengan saksama dan dikomunikasikan kepada masyarakat. Pemerintah juga perlu menjelaskan kepada publik bagaimana pertanggungan resiko ekonomi tersebut nantinya akan didistribusikan di antara vendor, operator/pemilik PLTN, dan masyarakat.
Akhirnya, ada baiknya kita menyimak pendapat Yoshihiko Wada, PhD khusus mengenai pembangunan PLTN, dalam Ecological Economics Approach to Sustainability: Ecological Footprint menyatakan bahwa berdasarkan analisis biaya Prolonged Impact Management (PIM), PLTN akan membutuhkan biaya PIM sekitar 16 kali lebih besar dibandingkan jumlah energi yang dihasilkan. Biaya dampak manajemen berkepanjangan (PIM) yang harus ditanggung oleh generasi mendatang disebabkan oleh penanganan limbah radioaktif dan berbagai limbah yang dihasilkan dari dekomisioning reaktor dan fasilitas terkait lainnya. Limbah radioaktif memiliki keaktifan 100 juta kali lebih besar daripada bahan radioaktif yang belum digunakan pada berat yang sama.

Minggu, 16 Januari 2011

The Ethical Dilemma of Euthanasia, Public Policy Analysis For Ethical Pluralism

1. Ethical Pluralism
“Even though no one ethical theory can be applied in every case, many of the ideas presented do have merit.” (Birsch pp.174) This Statement holds true in the ethical world. Out all theories presented in Ethical Insights: A Brief Introduction, no one theory can solve all ethical problems. Many ethical theories are one-sided based on the person’s opinion who philosophized the theory. The idea of a Pluralistic view of ethics takes each theory and appoints it to a specific ethical dilemma. Birsch’s version of ethical pluralism is concerned with “the assumption that we should attempt to live successfully with all other persons” (Birsch pp.174). Therefore in this paper I will focus on Bircsh’s view of ethical pluralism through the theories of utilitarianism, Kantian ethics, moral rights theory, virtue ethics, and the ethics of care.
Humans develop new and different relationships everyday, from relationships with family, colleague’s and even with a gas station attendant. All of these relationships have different characteristics. One would not treat their family the same way they treat their paperboy. For these different relationships we have to approach with a different ethical view to be able to live successful.
The major problem when dealing with ethical pluralism is the problem of conflicting moral obligations. This is when you need to make a choice between things that are generated by ethical theories. In this case choosing one over the other would not be unethical. An example of this would be spending time with you family or spending time with a friend. However there are also times when making a choice does violate an ethical guideline that is associated with a different group. In other words, the decision to go on a picnic with your friends instead of going to the championship game for your sports team would be viewed as unethical by your teammates because you are letting them down, by neglecting your responsibility to attend the game.
The next important question we have to answer is how to ethically treat people whom we don’t have a relationship with. Everyday we encounter new and different people. Most of the people we see for day to day we have only exchanged a polite hello. However many times in this world people often look down upon one another and don’t treat everyone as a moral equal; thus not living together successfully. When you look at Kantian ethics you are able to see insights into this question. Kantian’s see people as a whole. They are our moral equals and we shall treat them as such. The moral theory also says that individuals are valuable and deserve respect. The basic idea put forth by both moral theory and Kantian ethics is that moral equality is essential. “We need to protect equally all full-status morally significant being” (Birsch p.182-183).
As previously stated one would not treat a family member the same way they would treat a person of a lesser sentimental significance. So in order to live successfully with family and friends one needs to endorse an ethical theory that gives this type of relationship special consideration. The theory that best fits these relationships is the ethics of care. The ethics of care says that we should strive for to care for certain people.
2. Euthanasia
Euthanasia or better known as mercy killing, is a practice of ending a life so as to release an individual life from an incurable disease or intolerable suffering. This term is sometimes used generally to refer to an easy or painless death. Voluntary Euthanasia involves a request by the dying patient or that person’s legal representative. Passive or negative euthanasia involves taking deliberate action to cause a death. There are many pro’s and con’s to Euthanasia, however it can be split into three areas, the religion, medical ethics and peoples own personal reflection on the deep moral issue.
When people are confronted with a moral dilemma, many turn to religion. Euthanasia violates any beliefs, as human which belief in God, Euthanasia is believed to be morally wrong because it is the destruction of life. The church believes that God gives people life for a reason and is the only one allowed taking away a life, for human life is sacred. "As a church we definitely say ‘no’ to assisted suicide because we say ‘yes’ to life-from the first moment of conception until our last natural breath.”
3. The Ethical Dilemma Of Euthanasia
“In all our activities there is an end we seek for its own sake and everything else is a means to this end…Happiness is this ultimate end. It is the end we seek in all that we do.”(Aristotle, De Anima, bk.2, Ch.1.) This belief of Aristotle has validity for the pursuit of happiness. Most people live their life with this conviction; however, when happiness seems to be consumed by pain and suffering, some look for the gratification of their death. Today healthcare facilities are focusing their attention towards patient-centered care. This ultimately leads to patients demanding more independence when it involves their own mortality. Healthcare facilities along with state and federal governments are forced to review the current laws regarding euthanasia. In addition, physicians are compelled to obey the Hippocratic Oath, but are faced with certain cases of terminal illness; their ideals may be required to see alternatives. “I will follow that method of treatment which according to my ability and judgment, I consider for the benefit of my patient and abstain from whatever is harmful or mischievous.”
It is unfortunate for some who do not have a pleasant death. It is inevitable that some will not die well. Many feel that euthanasia may seem humane, and it is an act of compassion to end one is suffering. Assisted suicide has often been used interchangeably with euthanasia; however, assisted suicide seems to be a negative connotation. Derek Humphry would rather it be acknowledge as “justifiable suicide”. “Justifiable suicide is a second form of suicide, that is, rational and planned self-deliverance from a painful and hopeless disease, which will shortly end in death.”(Humphry, Derek. “Why I Believe In Voluntary Euthanasia”. 1995).
It may seem to be the right thing to end one from suffering; however, assisted or justifiable suicide is illegal. According to Stephen Jamison, “Suicide ends a life that could continue, and implies irrationality rooted in an identifiable mental condition that may be treatable with proper therapy and medications. An assisted death ends the life of the patient who has gone through the process including physical, social, emotional, and economic factors, whose hope for continued living and cure is gone, and who is faced with the alternative of suffering until inevitable death.” He also goes on to say, “assisted dying is a compassionate act voluntarily requested by a patient who is destined to die and wants to die to relieve his or her suffering.”(Stephen Jamison. “Final Acts of Love: Families, Friends, and Assisted Dying, 1995.)
Beneficence states that the action one takes should benefit others or promote good, while non-maleficence states one has an obligation not to harm others. Healthcare facilities are bound to apply beneficence and non-maleficence within the practice of medicine. In order to fulfill both of these principles, sometimes patients wishes are overridden, thus, creating an ethical dilemma regarding euthanasia. The third principle is autonomy. It states a person has a right to choose what will happen to them. An individual’s capacity for autonomous choice is often challenged by imperfections. These flaws are in the individual’s ability to control his or her desires or actions, such as in cases of mental ill.
In medical ethics there are two problems that deserve special attention: euthanasia and suicide assistance.
• Euthanasia is to know and consciously doing an act which was clearly intended to end the lives of others and also includes the following elements: the subject is a person competent and familiar with an incurable disease voluntarily ask for his life ends; agency with primary interest end the life of the person; and actions carried out with compassion and without personal goals.
• Assistance in suicide is to know and consciously giving someone the knowledge or equipment or both are required to commit suicide, including counseling regarding the lethal dose of drugs, drug adsorb lethal dose, or give it.
Euthanasia and assisted suicide are often regarded as morally, although between them there is much difference in practice and in terms of legal jurisdiction. Euthanasia and suicide with a rock, by definition, must be distinguished from the delay or discontinue medical treatment unwanted, futile or inappropriate or palliative care provision, even if such measures can shorten life. Of course, the doctor will feel reluctant to meet the demand for euthanasia by the patient's actions as an act that is illegal in most countries and banned in most codes of medical ethics. The ban is part of the Hippocratic oath and have been restated by the WMA (World Medical Association) in the Declaration on Euthanasia: "Euthanasia is an act of ending the life of a patient with immediately, it could still not conduct even if the patient himself or his close relatives who request it. It is still not prevent the physician from the obligation to respect the desire of patients to allow a natural death process in the terminal stages of illness."

Analisis Kebijakan Publik Konversi Minyak Tanah ke Liquid Petroleum Gas (LPG), Suatu Kebijakan Ceroboh yang Diambil Secara Utilitarianisme di Era Krisis Energi Global

Tahun 2007 hingga 2010 merupakan tahun dimana pemerintah gencar-gencarnya melakukan sosialisasi penggunanan gas Liquefied Petroleum Gas (LPG/elpiji) bagi konsumsi rumah tangga dan industri kecil sekaligus membagikan kompor gas beserta tabung gas elpiji yang berisi 3 kg secara gratis kepada masyarakat. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 (tiga) kilogram dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 21 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Penyediaan dan Pendistribusian LPG Tabung 3 Kg, menjadi dasar hukum kebijakan tersebut.
Program konversi minyak tanah ke LPG dipilih oleh Pemerintah sebagai solusi agar masyarakat dapat berhemat dalam pemakaian bahan bakar untuk sehari – hari. Hal ini disebabkan karena semakin melambungnya harga minyak di pasar dalam beberapa tahun terakhir. Harga komiditi tersebut diperkirakan akan terus naik di masa mendatang dan hal ini akan diiringi dengan berkurangnya suplai bahan bakar minyak. Dua tahun yang lalu misalnya, harga minyak dunia masih berkisar pada harga US $ 50 per barrel dan kini sudah mencapai US$ 70 per barrel. Padahal di Indonesia, bahan bakar minyak masih di subsidi (khususnya minyak tanah), maka dengan semakin mahalnya harga minyak di pasar dunia, subsidi yang dikucurkan Pemerintah pun akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena harga minyak tanah di Indonesia tidak bisa dinaikkan mengikuti harga pasar dunia. Padahal, sebagian minyak tanah yang dikonsumsi di dalam negeri masih diimpor dari negara lain.
Melihat keadaan tersebut maka LPG lantas dipilih karena produksi dan potensi kandungannya masih cukup besar di Indonesia. Untuk konsumsi domestik - sebatas sebagai bahan bakar rumah tangga, bukan termasuk sebagai bahan baku industri petrokimia - dipandang sudah lebih dari cukup sehingga sebagian masih bisa di ekspor dari segi ini, berdasarkan kesetaraan nilai kalori, subsidi LPG lebih rendah daripada minyak tanah. Pemerintah dapat menghemat subsidi hingga Rp. 15 – Rp. 20 trilyun jika program ini berhasil.
Dari segi biaya, menurut penelitian atas perhitungan keuntungan konsumen secara ekonomis yang dilakukan oleh PERTAMINA, pemakaian LPG juga jauh lebih hemat daripada minyak tanah dalam menghasilkan pembakaran. Dari hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa pengeluaran untuk membeli minyak tanah lebih besar jika dibandingkan dengan LPG (untuk tabung ukuran 3 kg). Biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli minyak tanah selama 1 bulan (30 hari) sebesar Rp. 75.000,00 sedangkan LPG dengan tabung 3 kg hanya Rp. 51.000,00, sehingga konsumen dapat menghemat biaya belanja rumah tangga dalam hal ini pengeluaran konsumsi bahan bakar sebesar Rp. 24.000,00. Disamping itu LPG sulit untuk dioplos dan disalahgunakan. Sedangkan dari segi kebersihan, LPG lebih bersih daripada minyak tanah karena pada saat pembakaran tidak menimbulkan jelaga, sehingga dapat mengurangi polusi udara. Dari paparan awal mengenai alasan Pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, nampak salah satu ciri etika pengambilan keputusan secara utilitarianisme yaitu keputusan dilakukan oleh para ahli yang dianggap memiliki kemampuan memberikan estimasi tentang dampak yang akan terjadi dan memiliki kemampuan menerapkan metodologi dengan baik.
Melihat kelebihan dan keuntungan dari penggunaan LPG tersebut maka pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang konversi minyak tanah ke LPG, sehingga pemerintah dapat menghemat APBN dan mengalokasikan anggaran dana APBN untuk hal lain. Tetapi dalam pelaksanaanya ternyata tidak semudah yang dikira di mana persoalan ini masih menemui banyak hambatan, yang diantaranya disebabkan karena masyarakat sudah terbiasa menggunakan minyak tanah, apalagi pemerintah terlalu mendadak dan tidak terencana secara komprehensif dalam memutuskan kebijakan publik tersebut.
Analisis berikut ini akan membahas pengambilan keputusan kebijakan publik yang dilakukan oleh Pemerintah mengenai konversi minyak tanah ke LPG dari sudut pandang etika pengambilan keputusan utilitarianisme.
1. Peran Penting Kebijakan Publik dalam Suatu Negara
Nugroho (2006) mengemukakan pendapat bahwa keunggulan setiap negara pada saat ini ditentukan oleh keunggulan kebijakan publiknya. Pendapat tersebut dilatarbelakangi kenyataan bahwa dalam konstelasi global, setiap negara bersaing untuk memenangkan kepentingan negaranya atas negara lain. Konflik perang hingga diplomasi menjadi bentuk nyatanya. Namun, diatas semuanya, wujud paling nyata dari persaingan tersebut adalah kebijakan-kebijakan publik dari negara-negara tersebut. Apakah dapat “didikte” atau “mandiri”- mandiri tidak berarti harus selalu berbeda, melainkan dapat mengadopsi dan mengadaptasi masukan dari negara lain sepanjang sesuai dengan kebutuhan nasionalnya. Ini adalah alasan utama yang pertama. Negara dengan kebijakan konyol juga akan bernasib konyol, dan menjadi bulan-bulanan dalam percaturan global, cepat atau lebih cepat lagi- karena hari ini, musibah sebagai akibat kebijakan publik yang buruk tidak pernah datang terlambat, selalu cepat.
Alasan utama yang kedua adalah karena hari ini, sejak globalisasi tidak dapat lagi diserahkan kepada “pasar”, kita tidak hanya memerlukan civil society yang kuat, tetapi juga negara yang kuat. Negara yang kuat tidak dicerminkan dari ketundukan rakyat kepada pemerintahnya, apalagi tunduk dengan ketakutan. Tetapi negara yang kuat dicerminkan oleh dari mampu-tidaknya negara membangun kebijakan publik yang excellent; yang menjadikan seluruh bagian negara menjadi unggul didalam persaingan global, sekaligus berlepas dari vandalisme global, mulai dari terorisme hingga AIDS.
Kebijakan publik merupakan jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Jika cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan) dan UUD 1945 (Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum dan tidak semata-mata kekuasaan), kebijakan publik adalah seluruh prasarana (jalan, jembatan, dan sebagainya) dan sarana (mobil, bahan bakar, dan sebagainya) untuk mencapai “tempat tujuan” tersebut.
Dari sini kita bisa meletakkan peran atau fungsi “kebijakan publik” sebagai “manajemen pencapaian tujuan nasional”. Dapat dirumuskan bahwa:
a. Kebijakan publik mudah dipahami karena maknanya adalah “hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional”.
b. Kebijakan publik mudah diukur karena ukurannya jelas, yakni sejauhmana kemajuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh.
Namun bukan berarti kebijakan publik mudah dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah dikendalikan karena kebijakan publik menyangkut faktor politik. Dan kita mengetahui, bahwa politik adalah art of possibility atau seni membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
2. Etika Pengambilan Keputusan Secara Utilitarianisme
Pengambilan keputusan merupakan suatu proses dimana seseorang atau sekelompok orang menghimpun, menilai dan mengevaluasi informasi untuk memutuskan sesuatu. Sebagai individu, setiap hari kita terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan sendiri dan keluarga. Kerumitan suatu pengambilan keputusan sangat tergantung pada jumlah orang dan siapa saja yang terlibat, ruang lingkup pengambilan keputusan, konsekuensi dari suatu pengambilan keputusan. Keputusan individu yang disebutkan memiliki lingkup yang kecil dan implikasinya terbatas. Sedang keputusan yang menyangkut banyak orang memiliki jaringan keterkaitan dan implikasi yang luas.
Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang dalam suatu organisasi akan rumit karena beberapa alasan. Pertama, pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan beragam. Kedua, cakupannya sangat luas. Ketiga, konsekuensi suatu keputusan akan berdampak luas dan multi dimensi. Pengambilan keputusan merupakan bagian dari perencanaan. Bagaimana keputusan diambil, siapa yang terlibat sangat tergantung pada visi dan orientasi para perencana. Etika pengambilan keputusan utilitarinisme yang diuraikan dibawah ini sebenarnya merupakan cerminan mayoritas/pada umumnya tipe perencanaan yang dianut oleh para perencana pembangunan di Indonesia.
Kelebihan :
• Prinsip utilitarianisme mendasarkan pada pemikiran bahwa nilai yang harus unggul dalam suatu masyarakat adalah dengan menciptakan kebahagiaan maksimal pada jumlah manusia yang banyak; the greatest possible happiness for the greatest number.
• Dengan kata lain keputusan tentang suatu kebijaksanaan harus bisa membuahkan the greatest net benefit.

Kekurangan :
• Prinsip utilitarianisme tidak dilakukan secara demokratik dimana para stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan) memperoleh kesempatan untuk menyuarakan aspirasinya.
• Keputusan dilakukan oleh para ahli yang dianggap memiliki kemampuan memberikan estimasi tentang dampak yang akan terjadi dan memiliki kemampuan menerapkan metodologi dengan baik.
• Prinsip utilitarianisme tidak saja mengorbankan demokrasi tetapi juga mengabaikan keadilan, kemerdekaan, hak dan kesederajatan.
• Menurut Cernea (1991) masyarakat yang terkena dampak tidak akan bisa dieliminasi penderitaannya dengan kebahagiaan/kesejahteraan atau dampak positif lainnya yang diraup oleh sebagian besar kelompok masyarakat lain.
• Dalam konteks etika pengambilan keputusan, prinsip utilitarianisme (prinsip yang mengutamakan the greatest possible happiness for the greatest number) menghilangkan rasa keadilan.
• Mengabaikan hak minoritas.
3. Bahaya Kemiskinan Energi
Andaikan saja Pemerintah kita memahami dan berkomitmen dengan baik terkait urgensi sebuah ketahanan energi nasional, mungkin kebijakan konversi minyak tanah ke LPG tidak akan pernah dilakukan dalam waktu singkat. Secara global, energi (dimana LPG menjadi salah satu jenisnya) memiliki peran penting dalam suatu pembangunan yang berpusat pada pembangunan manusianya (people centered development). Friedman (2009) mengulas tentang kemiskinan energi dan bahaya besar yang ditimbulkan olehnya. Friedman mengkritisi kemiskinan energi yang terjadi di Afrika. Energi di Afrika sesungguhnya adalah yatim piatu yang paling tua. Akan tetapi orang akan bertanya-tanya bagaimana bisa melepaskan Afrika dari cengkeraman kemiskinan, HIV/AIDS, air minum tercemar, dan malaria tanpa energi yang memadai untuk menyalakan lampu-lampu?
Menurut Bank Dunia, Negeri Belanda saat ini menghasilkan daya listrik per tahun sama banyak dengan seluruh Afrika sub-Sahara, kecuali Afrika Selatan: 20 gigawatt. Setiap sekitar dua minggu Cina menambahkan daya listrik sebesar 1 gigawatt, yang sama besar dengan penambahan daya listrik empat puluh tujuh negara Afrika sub-Sahara, kecuali Afrika Selatan, setiap tahun.
Akan tetapi kendati ada kesenjangan daya yang mengenaskan ini, masalah kemiskinan energi jarang diperbincangkan. Akses universal ke fasilitas listrik bahkan tidak termasuk salah satu diantara delapan sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) yang pernah ditetapkan PBB dan lembaga-lembaga pembangunan terkemuka dunia dalam tahun 2000. Sasaran-sasaran tersebut berkisar antara mengurangi kemiskinan ekstrem sampai separo hingga menyediakan pendidikan dasar universal, semuanya pada tahun 2015. Bagaimana kita bisa menghapus kemiskinan tanpa menghapus kemiskinan energi?
Setiap masalah didunia (baca: negara) berkembang juga mencakup masalah energi. Masalah pendidikan, selain kekurangan guru juga kekurangan energi. Masalah kesehatan di Afrika sub-Sahara, selain kekurangan dokter dan obat-obatan dalam lemari pendingin. Masalah pengangguran di pedesaan India, selain kekurangan keterampilan juga mencakup kekurangan investasi dan kekurangan energi yang diperlukan supaya pabrik-pabrik tetap berjalan. Kelemahan pertanian di Bangladesh, selain kekurangan benih, pupuk, dan bahan juga mencakup kekurangan energi untuk memompa air atau menjalankan peralatan. Kemiskinan energi menyebar ke setiap aspek eksistensi dan menyapu setiap harapan untuk keluar dari kemiskinan (ekonomi) dan memasuki abad kedua puluh satu.
4. Analisis Kebijakan Konversi Minyak Tanah ke LPG
Kebijakan konversi minyak tanah ke LPG dipandang sebagai salah satu contoh bentuk etika pengambilan keputusan utilitarianisme disebabkan oleh ada pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya penerapan kebijakan tersebut. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut dilakukan dengan tergesa-gesa hanya karena dipicu oleh kenaikan harga minyak bumi dunia. Program pengalihan pemakaian minyak tanah ke LPG yang selama ini dijalankan pemerintah dituding sebagai bentuk kebijakan pemerintah yang panik. Hal tersebut diungkapkan oleh Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dan anggota DPR dari F-PAN Tjatur Sapto Edi (Pos Kota, 31 Juli 2010).
Pemerintah dalam menganalisis persoalan terpaku pada perbandingan kenaikan harga minyak dunia dengan besarnya subsidi yang harus dikucurkan dalam penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Selanjutnya secara ceroboh dan tergesa-gesa memutuskan pengalihan ke LPG dengan pertimbangan-pertimbangan yang diarahkan agar nampak keuntungan secara nominal dari pengalihan tersebut.
Stakeholder terkait tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut. Sebagai contoh, pihak industri, industri petrokimia dan turunannya pasti tidak akan setuju dengan keputusan tersebut. Pernyataan bahwa LPG lantas dipilih karena produksi dan potensi kandungannya masih cukup besar di Indonesia sangat perlu untuk dipertanyakan. Ladang-ladang gas di Indonesia telah sejak lama dikuasai oleh modal asing dan terkontrak dalam waktu puluhan tahun untuk memenuhi kebutuhan gas nasional negara pemilik modal seperti Jepang dan Amerika. Industri petrokimia yang berbasis C-1 (rantai hidrokarbon jenis gas bumi) seperti pupuk menjerit karena kelangkaan bahan baku dan telah mengupayakan ekspansi industrinya ke negara-negara penghasil gas bumi di Timur Tengah, karena menurut data resmi Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa kebutuhan gas bumi telah mendudukkan Indonesia sebagai negara net importer (kekurangan pasokan didapatkan dari impor).
Sebagai contoh PT Pupuk Sriwidjaya terancam tutup karena kelangkaan pasokan gas bumi seiring dengan berakhirnya masa kontrak pasokan gas pada tahun 2012. LPG bagi industri petrokimia dunia merupakan barang yang sangat berharga karena memiliki value added dan multiplier effect yang sangat tinggi bagi kelangsungan industri hilirnya. Value added tersebut ditunjang oleh fakta bahwa gas bumi merupakan bahan bakar industri dan bahan baku industri petrokimia yang paling bersih dan efisien. Implikasi dari kasus tersebut adalah kelangkaan pupuk pertanian bagi pemenuhan pangan nasional serta terancamnya sebagian besar industri yang menggunakan gas bumi sebagai bahan bakarnya seperti industri baja, keramik, kaca lembaran, kimia dasar, kimia hulu, makanan dan minuman, tekstil, kertas dan lainnya. Selain itu, realita menunjukkan Indonesia masih kekurangan pasokan gas untuk menggerakan turbin pembangkit listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) sehingga harus mengimpor dari negara lain. Paparan tersebut membuktikan bahwa prinsip utilitarianisme tidak dilakukan secara demokratik dimana para stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan) memperoleh kesempatan untuk menyuarakan aspirasinya.
Kementerian ESDM menutup mata dan mengalihkan perhatian dari keruwetan ketahanan energi nasional, sangat ironis melihat kontradiksi kebijakan tersebut dengan realitas global dalam hal masalah energi pada saat ini yang merupakan prioritas utama dalam menunjang kelangsungan keterjaminan perikehidupan (perekonomian) mereka. Carut marut kebijakan energi nasional tidak pernah terpecahkan selama Pemerintah tidak mempunyai nyali untuk mereview kontrak-kontrak perusahaan asing yang melakukan eksplorasi gas dan minyak bumi sehingga jelas terpetakan potensi gas dan minyak bumi serta batubara nasional yang kita miliki dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dan keamanan nasional. Hal tersebut dilengkapi dengan implementasi kebijakan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang berjalan dengan setengah hati.
Kebijakan pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia memang terkesan setengah hati. Dua tahun lalu, saat harga minyak dunia melambung tinggi, pemerintah sempat mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Peraturan Menteri ESDM itu mengatur secara wajib/mandatori penggunaan BBN secara bertahap, yaitu mulai tahun 2008 sebesar 1%, dan seterusnya hingga 25% pada tahun 2025. Pelaku industri sempat berbondong-bondong masuk ke bisnis biofuel. Namun saat harga minyak kembali turun, kebijakan itu tak lagi efektif, dan para pengembang biofuel banyak yang gulung tikar.
Sebagaimana dikatakan Nugroho (2006) diatas, musibah sebagai akibat kebijakan publik yang buruk tidak pernah datang terlambat, selalu cepat. Hal tersebut dibuktikan dengan maraknya pemberitaan kecelakaan tabung gas LPG ditengah masyarakat yang menyebabkan kerugian material dan kematian. Hasil survei yang dilakukan Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Pertamina menyebutkan ledakan tabung gas LPG disebabkan oleh kerusakan tabung. BSN menemukan 66% kondisi tabung yang beredar tidak layak. Sedangkan PERTAMINA menyebutkan 46% dari sekitar 300 ledakan penyebabnya adalah rusaknya tabung elpiji 3 kg. Kelemahan tersebut diantisipasi secara lambat ditandai dengan upaya BSN melengkapi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang sudah ada di akhir tahun 2010, melalui penetapan 3 SNI baru yaitu SNI 7655:2010 tentang Rubber Seal; SNI ISO 10691:2010 tentang Prosedur Pengecekan Sebelum, Selama, dan Setelah Pengisian; dan SNI ISO 10464:2010 tentang Inspeksi dan Pengujian Berkala.
Selain itu, sebuah persoalan klasik berulang, bukan hanya kali ini saja rakyat kecil dikecewakan, tetapi hampir tiap program yang ditujukan bagi mereka seperti jaring pengaman sosial (JPS), bantuan langsung tunai (BLT), dan Askeskin selalu berakhir kelabu, tidak jarang semakin menimbulkan permasalahan baru di negeri ini. Tidak mulusnya program konversi, lebih karena transisi energi yang melibatkan banyak faktor ternyata oleh pemerintah dianggap mudah sekadar proses konversi bahan bakar yang dianggapnya dapat tuntas hanya dengan membagi-bagikan kompor serta tabung gas gratis kepada penduduk miskin.
Harusnya masyarakat miskin bisa meniti ke tangga energi yang lebih modern secara bertahap dan permanen. Program konversi energi harus simultan dengan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan daya beli masyarakat. Meski orang miskin mau membayar energi yang mereka konsumsi, kemampuan mereka amat terbatas, bersaing dengan kebutuhan primer lainnya yang tidak kalah penting. Sehingga harusnya subsidi atau jaring pengaman sosial tidak bisa serta-merta dihilangkan ketika mendorong transisi energi. Penataan kebijakan energi akan sukses manakala mempertimbangkan kompleksitas persoalan yang dihadapi kaum miskin.
Namun, yang sangat tidak tepat adalah kurun waktu program konversi minyak tersebut terlalu pendek, hanya 4 tahun dan membiarkan orang miskin hidup tanpa subsidi. Apalagi pembelian LPG tidak sama dengan membeli minyak tanah yang bisa dibeli per liter atau dicicil. Sedangkan pembelian LPG harus minimal 3 kg dan tidak bisa dicicil. Akibatnya masyarakat miskin yang tidak punya uang untuk membeli bahan bakar gas akan bertambah sulit kehidupannya. Fakta tersebut membuktikan bahwa dalam konteks etika pengambilan keputusan, prinsip utilitarianisme (prinsip yang mengutamakan the greatest possible happiness for the greatest number) menghilangkan rasa keadilan.
Kebijakan konversi energi dari minyak tanah ke gas yang menimbulkan banyak kontroversi tersebut, belakangan ini tidak lagi banyak diperbincangkan. Turunnya harga minyak mentah internasional karena krisis ekonomi global mengakibatkan isu kebijakannya seolah-olah menghilang begitu saja. Tetapi dari perspektif policy windows (jendela kebijakan), terlewatnya agenda kebijakan ini merupakan missing opportunity bagi upaya untuk mencari sumber energi alternatif bagi bangsa Indonesia yang jumlah penduduknya demikian besar. Indonesia jelas perlu energi alternatif yang lebih ramah lingkungan, murah, tetapi juga sekaligus efisien. Karena itu masalah energi mestinya tidak boleh terlewat begitu saja di tengah isu-isu politik yang panas seperti kasus Century atau mafia perpajakan dan peradilan di Indonesia.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Pengalaman di banyak negara, konversi energi memerlukan waktu yang sangat lama. Misalnya, di Amerika Serikat memerlukan waktu hampir 70 tahun sejak tahun 1850–1920. Sedangkan konversi energi di Brasil memerlukan waktu selama 44 tahun dari tahun 1960–2004 (UN Millenium Project, 2006). Hal tersebut seharusnya menjadi pengalaman berharga bagi Pemerintah yang berambisi mewujudkan konversi energi hanya dalam jangka waktu empat tahun. Selain itu, keberhasilan konversi ke gas elpiji di Brasil yang mencapai 98 persen pada 2004, salah satunya karena jaringan distribusi gas merata di seluruh pelosok negeri dengan harga subsidi yang sama di tiap wilayah.
Dalam mengambil sebuah keputusan publik, Pemerintah seharusnya turun dulu kebawah untuk mendengarkan suara rakyat. Apa saja yang dibutuhkan rakyat saat ini didengarkan dan diwujudkan. Rakyat tidak butuh tabung gas, namun rakyat hanya butuh kesejahteraan. Rakyat tidak butuh asumsi dan prakiraan, rakyat hanya butuh wujud konkret dan nyata yang memihak, kebijakan yang menyentuh segenap lapisan, manfaatnya terasa ke berbagai kalangan, inilah yang harus menjadi pedoman demi excellent feedback dari sebuah kebijakan.
Referensi :
Friedman, Thomas. L, 2009, Hot, Flat, and Crowded, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hadi, Sudharto. P, 2001, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Nugroho, Riant, 2006, Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang : Model-Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
Subarsono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wahab, Solichin Abdul, 2008, Analisis Kebijaksanaan: dari formulasi ke implementasi kebijaksanaan negara, PT Bumi Aksara, Jakarta.
____, 31 Juli 2010, Konversi Minyak Tanah ke Gas, Kebijakan Panik, Harian Pos Kota, Jakarta.

Bahaya Kemiskinan Energi

Bagaimana kita akan tahu kapan Afrika sebagai sebuah benua memiliki peluang untuk merangkak keluar dari kemiskinan? Banyak orang telah menggalang dana untuk meringankan beban utang negara-negara Afrika. Akan tetapi ada satu masalah di Afrika yang hampir tidak pernah tersorot, dan itu adalah Afrika sangat kekurangan cahaya. Jika melihat foto bumi pada malam hari dari satelit, akan terlihat titik-titik cahaya tampak berkelap kelip di banyak bagian di Eropa, Amerika, dan Asia, namun di sebagian besar Afrika yang ada adalah warna hitam legam.
Energi di Afrika sesungguhnya adalah yatim piatu yang paling tua. Akan tetapi orang akan bertanya-tanya bagaimana bisa melepaskan Afrika dari cengkeraman kemiskinan, HIV/AIDS, air minum tercemar, dan malaria tanpa energi yang memadai untuk menyalakan lampu-lampu?
Menurut Bank Dunia, Negeri Belanda saat ini menghasilkan daya listrik per tahun sama banyak dengan seluruh Afrika sub-Sahara, kecuali Afrika Selatan: 20 gigawatt. Setiap sekitar dua minggu Cina menambahkan daya listrik sebesar 1 gigawatt, yang sama besar dengan penambahan daya listrik empat puluh tujuh negara Afrika sub-Sahara, kecuali Afrika Selatan, setiap tahun.
Akan tetapi kendati ada kesenjangan daya yang mengenaskan ini, masalah kemiskinan energi jarang diperbincangkan. Akses universal ke fasilitas listrik bahkan tidak termasuk salah satu diantara delapan sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) yang pernah ditetapkan PBB dan lembaga-lembaga pembangunan terkemuka dunia dalam tahun 2000. Sasaran-sasaran tersebut berkisar antara mengurangi kemiskinan ekstrem sampai separo hingga menyediakan pendidikan dasar universal, semuanya pada tahun 2015. Bagaimana kita bisa menghapus kemiskinan tanpa menghapus kemiskinan energi?
Setiap masalah didunia (baca: negara) berkembang juga mencakup masalah energi. Masalah pendidikan, selain kekurangan guru juga kekurangan energi. Masalah kesehatan di Afrika sub-Sahara, selain kekurangan dokter dan obat-obatan dalam lemari pendingin. Masalah pengangguran di pedesaan India, selain kekurangan keterampilan juga mencakup kekurangan investasi dan kekurangan energi yang diperlukan supaya pabrik-pabrik tetap berjalan. Kelemahan pertanian di Bangladesh, selain kekurangan benih, pupuk, dan bahan juga mencakup kekurangan energi untuk memompa air atau menjalankan peralatan. Kemiskinan energi menyebar ke setiap aspek eksistensi dan menyapu setiap harapan untuk keluar dari kemiskinan (ekonomi) dan memasuki abad kedua puluh satu.
Sudah barang tentu, orang miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan sudah lama bertahan hidup dengan energi yang terbatas - kayu dan kotoran hewan untuk dibakar, hewan untuk membajak, air untuk berperahu. Dan selama seratus tahun atau lebih setelah menyebar di negara-negara industri, mereka masih menggunakan bentuk-bentuk energi tradisional, dan kalau mungkin ditambah dengan alat-alat menggunakan minyak tanah atau alat-alat bertenaga baterai atau bahkan mencantol listrik secara tidak sah dari jaringan listrik terdekat.
Akan tetapi menjadi kelompok miskin energi sekarang tidak seperti dimasa lampau - tidak di bumi yang panas, rata, dan penuh sesak. Rasanya seperti hukuman yang jauh lebih berat dan memicu kerawanan. Ketika bumi makin panas dan kita tidak mempunyai akses ke sumber daya listrik, kemampuan kita untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim berada di batas yang membahayakan.
Ketika bumi menjadi rata dan kita tidak mempunyai akses ke sumber daya listrik, kita tidak bisa menggunakan komputer, ponsel, atau internet - semua alat yang sekarang menjadi utama dalam perniagaan, pendidikan, kerja sama, dan inovasi yang mendunia. Ketika bumi menjadi penuh sesak dan kita tidak mempunyai akses ke sumber daya listrik, kemampuan kita untuk maju di desa menjadi terbatas dan kita lebih cenderung pindah ke kawasan yang sudah penuh sesak di sebuah kota besar macam Jakarta, Mumbai, Shanghai, atau Lagos.

Rabu, 29 Desember 2010

Surat Untuk Firman Utina

Tulisan sangat inspiratif dari novelis ES Ito ketika euforia sepakbola Tim Nasional "Garuda" pada pertandingan piala AFF 2010:

Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata "bisa" belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.

Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!

Sumber : www.itonesia.com

Selasa, 21 Desember 2010

Analisis Sistem Perencanaan Proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah

Kunjungan 15 anggota Komisi D DPRD Jawa Tengah ke Reaktor Serba Guna G.A. Siwabessy (RSG-GAS), Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) pada tanggal 11 November 2010 lalu memicu perdebatan kembali tentang rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah. Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah Drs. Lukman Setiabudi, MM yang juga merupakan pimpinan rombongan mengatakan bahwa kunjungan tersebut bertujuan untuk mengetahui ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir secara komprehensif dan meningkatkan pemahaman anggota komisi D DPRD Jateng tentang nuklir secara umum.
Ia menyebutkan di Jawa Tengah saat ini banyak provokator dan pihak tertentu yang memanfaatkan nuklir untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Saat berdiskusi tentang status rencana pembangunan PLTN dengan calon tapak di Semenanjung Muria, umumnya anggota komisi D menyayangkan mengapa opsi nuklir belum masuk ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah, namun demikian beberapa pihak mengungkapkan hal ini bisa saja dilakukan peninjauan kembali atau revisi (infonuklir, 2010). Apakah pembangunan PLTN di Semenanjung Muria harus dilanjutkan?
1. Sejarah Rencana Pembangunan PLTN di Indonesia
Di Indonesia, ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada tahun 1956 dalam bentuk pernyataan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di beberapa universitas di Bandung dan Yogyakarta. Meskipun demikian ide yang sudah mengkristal baru muncul pada tahun 1972 bersamaan dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Kemudian berlanjut dengan diselenggarakannya sebuah seminar di Karangkates, Jawa Timur pada tahun 1975 oleh BATAN dan Departemen PUTL, dimana salah satu hasilnya suatu keputusan bahwa PLTN akan dikembangkan di Indonesia. Pada saat itu juga sudah diusulkan 14 tempat yang memungkinkan di Pulau Jawa untuk digunakan sebagai lokasi PLTN, dan kemudian hanya 5 tempat yang dinyatakan sebagai lokasi yang potensial untuk pembangunan PLTN.
Empat belas lokasi yang diteliti BATAN bekerjasama dengan NIRA dari Italia adalah 11 lokasi di Pantai Utara Jawa dan 3 lokasi di pantai Selatan. Sebagian daerah pantai Utara adalah Pasuruan, Bondowoso, Lasem, Semenanjung Muria dan Tanjung Pujut di Jawa Barat. Sedangkan di bagian Selatan adalah Ujung Genteng, Pangandaran dan Malang Selatan. Pada tahun 1975, dihasilkan beberapa rekomendasi daerah pilihan yaitu 5 daerah di antara 14 daerah potensial di Jawa. Kemudian, Semenanjung Muria merupakan satu-satunya yang dianggap paling layak untuk calon tapak dibanding kawasan lainnya.
Mengingat situasi penyediaan energi konvensional termasuk listrik nasional di masa mendatang semakin tidak seimbang dengan kebutuhannya, maka opsi nuklir dalam perencanaan sistem energi nasional jangka panjang merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat mengurangi tekanan dalam masalah penyediaan energi khususnya listrik di Indonesia. Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan tersebut di atas maka diharapkan pernyataan dari semua pihak yang terkait dengan pembangunan energi nasional bahwa penggunaan energi nuklir di Indonesia sudah diperlukan, dan untuk itu perlu dimulai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sekitar tahun 2010, sehingga sudah dapat dioperasikan secara komersial pada sekitar tahun 2016.
Beberapa peraturan perundangan yang mendasari persiapan pembangunan PLTN adalah sebagai berikut:
a. PeraturanPresiden No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, nuklir termasuk dalam Energi Baru dan Terbarukan (EBT), khususnya pada kelompok lain-lain dan akan berkontribusi sebesar 2% dari energi primer atau ekivalen dengan 4% energi listrik nasional. PLTN I dan II diharapkan beroperasi pada tahun 2016 dan 2017. PLTN III dan IV beroperasi pada tahun 2023 dan 2024.
b. Undang-undang No 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 Bab IV.2.3. (2015-2019) “….Mulai dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat,…”
c. Inpres No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010 yang antara lain memuat sosialisasi pengembangan energi nuklir untuk mencapai pemahaman masyarakat yang utuh.
d. PeraturanPresiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 antara lain prioritas nasional dibidang energi alternatif: peningkatan pemanfaatan energi terbarukan termasuk energi alternatif geothermal sehingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014 dan dimulainya produksi coal bed methane untuk membangkitkan listrik pada 2011 disertai pemanfaatan potensi tenaga surya, microhydro, serta nuklir secara bertahap.
2. Pro dan Kontra Pembangunan PLTN di Semenanjung Muria
Menanggapi rencana pembangunan PLTN, terdapat dua kelompok yang berbeda yaitu satu pihak setuju atau pro dan pihak menolak atau kontra. Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Dr. Soedyartomo Soentono mengatakan, nuklir adalah energi masa depan. Sebagai misal, satu atom nuklir akan menghasilkan 200 juta elektron volt. Sementara, dalam setiap molekul batu bara hanya menghasilkan 23 elektron volt. Ada perbedaan hingga 100 juta kali lipat. Sebagai bukti efisiensi itu, saat ini di dunia telah beroperasi kurang lebih 438 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), dan 31 lagi dalam masa konstruksi. Dari sejumlah PLTN tersebut, daya listrik yang dihasilkan dapat menyumbang sekitar 18 % produksi listrik dunia, bahkan di 13 negara antara 30-80 % listriknya diproduksi dari PLTN. Dan, di antara negara-negara yang mengoperasikan reaktor untuk PLTN, Amerika adalah negara yang mengoperasikan PLTN paling banyak, yaitu sekitar 104 unit (per tahun 2001). Dari sejumlah reaktor tersebut mampu menyumbang 19,83 % listrik yang dibutuhkan Amerika. Negara yang memanfaatkan listrik dari tenaga nuklir paling besar adalah Perancis. Perancis memenuhi kebutuhan listriknya sebesar 76,4 % dari PLTN. Di antara negara dunia yang secara kontroversial melaksanakan kebijakan mengoperasikan PLTN adalah Jepang. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1945 negara ini adalah satu-satunya negara yang mengalami musibah ledakan bom atom yang dijatuhkan Sekutu pada Perang Dunia II. Namun dalam perkembangan selanjutnya, Jepang justru menjadi negara yang paling gigih dalam memanfaatkan reaktor untuk daya listrik. Bahkan boleh dikatakan tekonologi reaktornya paling maju dan aman (Utami, 2006).
Sastrawijaya (2009) menyatakan bahwa nuklir dapat membantu secara berkelanjutan kebutuhan energi. PLTN juga dinilai secara kompetitif terhadap PLTBatubara maupun PLTGas. Selain ramah lingkungan, PLTN juga mengurangi laju pemanasan global, efek rumah kaca dan lain-lainnya. Ketakutan di Indonesia disebabkab mimpi buruk akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki, juga tragedi Chernobyl tahun 1986. Padahal probabilitas katastrofi akibat nuklir ini sangat rendah, yang lebih parah adalah ketidakpercayaan terhadap kemampuan para insinyur Indonesia sendiri. Tidak demikian halnya dengan rakyat Vietnam dan Thailand yang percaya penuh kepada para ahlinya sendiri. PLTN di Vietnam akan selesai pada tahun 2020. Selanjutnya Sastrawijaya menyarankan agar sosialisasi yang baik dan menyeluruh akan menyadarkan masyarakat yang anti nuklir.
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara, Jawa Tengah pada bulan September 2007 mengeluarkan fatwa haram atas rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Zaini (2007) mengemukakan bahwa fatwa haram tersebut harus dipahami yaitu fatwa dikeluarkan setelah mereka mempertimbangkan manfaat dan mudarat proyek PTLN Muria. Menurut kajian dan analisis mereka, manfaat yang akan diperoleh proyek itu lebih kecil daripada bahaya atau mudarat yang akan diperoleh.
Pengamat nuklir dari Universitas Indonesia (UI) Iwan Kurniawan menilai Indonesia tidak akan mampu menjadikan PLTN sebagai sumber listrik alternatif. Sebab, Indonesia tidak memiliki dan menguasai teknologi pengayaan uranium untuk dijadikan sumber energi pengganti listrik. Indonesia memang memiliki cadangan uranium di Kalimantan, tapi tidak bisa dipakai karena butuh proses. Proses ini sangat bergantung pada teknologi impor dari negara maju, dan Indonesia tidak menguasai teknologi ini. Untuk itu, Indonesia sebaiknya memanfaatkan sumber daya energi alternatif lainnya yang berlimpah. Sumber daya itu di antaranya gas, batu bara, panas bumi, dan energi terbarukan. Bahkan limbah-limbah pertanian bisa dijadikan energi listrik. Apalagi, menurut perhitungannya, tidak ada PLTN yang biayanya murah. Negara-negara maju memang ada yang menggunakan PLTN sebagai sumber energi listrik, karena mereka tidak memiliki sumber energi alternatif (Kurniawan, 2007).
Asmara (2010) menyatakan bahwa secara garis besar, masyarakat yang menolak kehadiran PLTN dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
 Kelompok pertama adalah masyarakat awam yang bagi mereka nuklir menimbulkan rasa takut karena kurang faham terhadap sifat atau karakter nuklir. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa budayawan, politikus, tokoh agama dan beberapa masyarakat umum lainnya.
 Kelompok kedua adalah masyarakat yang sedikit faham tentang nuklir, tetapi menyangsikan kemampuan orang Indonesia dalam mengoperasikan PLTN dengan aman. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa LSM dan kalangan akademisi.
 Kelompok ketiga adalah masyarakat yang cukup faham tentang nuklir tetapi menolak kehadiran PLTN karena melihat PLTN dari kacamata berbeda sehingga memiliki argumen yang berbeda pula. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa pejabat dan mantan pejabat pemerintah yang pernah berhubungan dengan masalah energi, listrik dan nuklir.
Dari hasil studi dinyatakan bahwa pihak yang menolak kehadiran PLTN cenderung memiliki pertimbangan yang lebih besar terhadap aspek sosio kultural, politik, ekonomi, dan lingkungan dengan sedikit pertimbangan teknis. Sedangkan pihak yang menerima PLTN sebagian besar pertimbangannya berdasarkan sisi teknis dan implementasi pembangunan semata serta dianggap kurang mengakomodasi pertimbangan sosial, kultural, ekonomi dan politik.
3. Penyelesaian Pro dan Kontra Melalui Debat Publik Serta Perhatian Terhadap Aspek Sosial Masyarakat
Menanggapi adanya perbedaan dua kelompok antara yang pro dan kontra, menimbulkan wacana tentang perlunya debat publik untuk mempertemukan antara pihak yang pro dan kontra. Wacana tentang debat publik awalnya digulirkan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS waktu itu, Ginandjar Kartasasmita pada pertengahan tahun 1995 dalam dengar pendapat dengan Komisi X DPR. Ginandjar menyatakan bahwa proyek pembangunan PLTN Jepara, Jawa Tengah sebaiknya segera diforumkan dalam debat publik. Pernyatan ini secara implisit menyiratkan bahwa PLTN Jepara memenuhi kriteria sebagai proyek pembangunan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pembahasan terbuka, menurutnya, akan meningkatkan kualitas kebijaksanaan dan menjamin diperolehnya dukungan masyarakat. BAPPENAS memang telah memenuhi janjinya dengan menggelar dialog terbuka tentang peran dan fungsi perencanaan dalam era globalisasi pada akhir Agustus 1995.
Namun demikian, forum ini masih terbatas dikalangan para pakar yang terseleksi. Jika debat publik PLTN dilaksanakan, ia tidak saja menjadi debat publik (umum) yang pertama tetapi juga membuka lembaran baru dalam khasanah perencanaan pembangunan di negeri kita. Proyek-proyek sekaliber PLTN, Jembatan Madura, Kawasan Industri Madura, reklamasi Teluk Jakarta, PLTU (Pusat Listrik Tenaga Uap) Jepara, Terminal Terpadu Manggarai, Kereta Api Bawah Tanah (subway) seyogyanya juga masuk daftar yang harus diforumkan dalam debat (Hadi, 2001).
Dalam hal debat publik, seharusnya kita belajar dari pemerintah Denmark yang melakukan debat publik dan memutuskan untuk menolak pendirian PLTN dinegaranya pada tahun 1985. Mereka memutuskan menempuh kebijakan efisiensi energi dan mencari energi yang terbarukan. Selain itu Denmark memberlakukan penggunaan pajak, maka energi dibuat relatif mahal dan mendorong orang untuk berhemat dalam kehidupan sehari-hari. Bensin premium di Denmark pada tahun 2008 sekitar 2,4 dolar per liter. Yang lebih penting dari itu, Denmark mempunyai pajak CO2 yang diberlakukan pada pertengahan 1990-an untuk mendorong efisiensi, bahkan walaupun negeri itu baru menemukan cadangan minyak di lepas pantai mereka. Dan Denmark yang sejak awal telah berkonsentrasi pada energi matahari dan angin, sekarang memasok 16% total kebutuhan energi dan sekarang merupakan pengekspor teknologi penghasil energi terbarukan seperti turbin angin (sepertiga dari total turbin angin terrestrial di dunia berasal dari Denmark). Selain itu Denmark memiliki industri paling inovatif dalam pembuatan enzim-enzim untuk mengubah biomassa menjadi bahan bakar. Pada tahun 1973 Denmark mengimpor 99% energi dari Timur Tengah, sekarang menjadi 0% (Friedman, 2009).
Selanjutnya Hadi (2007) mengusulkan bahwa keberlanjutan sebuah proyek sangat bergantung kepada tingkat penerimaan masyarakat (social acceptance). Perlu dipahami bahwa polemik tentang PLTN berkaitan dengan reaktor dan keluaran limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Dengan dua isu utama itu dampak sosial yang muncul sebagai akibat pembangunan PLTN bukan hanya bersifat standar atau baku seperti terciptanya kesempatan kerja, kesempatan berusaha, timbulnya gangguan kenyamanan karena kemacetan lalu lintas, bising, getaran, debu, melainkan juga daampak yang bersifat spesifik seperti rasa cemas, khawatir dan takut yang besarnya tidak mudah dikuantifikasi. Dalam terminologi dampak sosial, dampak yang demikian itu disebut perceived impact atau dampak yang dipersepsikan.
Berbeda dengan dampak standar yang bersifat tangible dan mudah diukur, dampak persepsi muncul karena adanya pandangan masyarakat terhadap proyek yang berhubungan dengan risiko yang mungkin timbul. Dalam konteks PLTN, persepsi itu terbentuk karena kekhawatiran masyarakat terhadap potensi kecelakaan, kebocoraan atau kesalahan operasi. Dampak – dampak seperti itu kemudian bisa mewujud dalam bentuk rasa was-was, takut, dan cemas yang kemudian diekspresikan dalam sikap penolakan yang kadang disertai dengan tindakan kekerasan.
Radiasi yang berasal dari bahan radioaktif dapat menimbulkan kontaminasi terhadap manusia dan biosfernya. Prosedur dan standar keselamatan PLTN yang dilakukan di beberapa negara untuk mengelola potensi bahaya PLTN selama ini memang ditujukan untuk memberikan perlindungan lingkungan. Namun demikian, terjadinya kasus-kasus kebocoran dan kecelakaan PLTN mengundang pertanyaan sekelompok masyarakat yang kritis dan skeptik tentang efektivitas prosedur dan keselamatan tersebut.
Keandalan PLTN berkembang menjadi isu kritis yang menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Armour (1988), pakar studi dampak sosial dari Kanada, mencatat sebab utama munculnya penggalangan warga Amerika Serikat dan Kanada untuk menolak kehadiran proyek nuklir adalah karena ketidakmampuan teknologi didalam menanggulangi konsekuensi sosial dan ekologis. Kondisi tersebut akan menyebabkan setiap proyek yang dianggap akan mengusik keselamatan masyarakat dan lingkungan ditentang habis-habisan. Gerakan semacam itu disebut sebagai sindrom NIMBY (Not in My Back Yard atau jangan letakkan proyek itu disekitar pemukiman saya). Suka atau tidak, fasilitas pembangkit tenaga nuklir dalam kamus masyarakat lokal di Amerika Utara (AS dan Kanada) masuk dalam kategori NIMBY. Di Indonesia, sindrom NIMBY telah merasuki sanubari masyarakat terhadap proyek TPA sampah dan di beberapa tempat untuk proyek jaringan transmisi.
Selama ini, pemrakarsa PLTN selalu memaparkan keandalan teknologinya yang menjamin keamanan dan keselamatan. Namun demikian, rasanya masih sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak akan memikul risiko. Dampak sosial yang sifatnya spesifik memang sulit dikuantifikasi. Keuntungan-keuntungan yang mungkin diraup oleh masyarakat luas oleh kehadiran proyek (dalam bentuk penyediaan energi dan kesempatan kerja), belum mampu menghilangkan kekhawatiran atau derita yang mungkin akan dialami oleh masyarakat disekitar proyek. Kelompok-kelompok masyarakat yang senantiasa dihinggapi kekhawatiran itu layak mendapat perhatian sepadan. Mengutip pandangan Finsterbusch (1989) dan Cernea (1991), dua pakar sosial dari Amerika Serikat, keputusan publik yang hanya mendasarkan pada hasil pembobotan akan menimbulkan ketidakadilan dan mengabaikan demokrasi serta kesederajatan.
4. Alternatif Pemecahan Masalah
Pola perencanaan proyek pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara merupakan contoh perencanaan pembangunan yang sentralis yang menjadi ciri dari perencanaan sinoptik (kategori Hudson) dan tipe perencanaan analisis kebijakan (kategori Friedman). Kearifan lokal dan input masyarakat diabaikan sama sekali. Akibatnya adalah bahwa model perencanaan itu dalam implementasinya tidak sustainable (Hadi, 2010).
Dari penjelasan tentang teori perencanaan yang dituliskan Hadi (2001), nampak bahwa semua teori perencanaan memandang perlunya unsur pemenuhan kebutuhan material dan non material. Namun demikian tidak satupun yang menganggap penting adanya prinsip pelestarian fungsi lingkungan dan keadilan antar generasi atau keadilan masa depan. Arus utama teori perencanaan selama ini banyak didominasi oleh teori analisis kebijakan yang notabene tidak mempunyai concern terhadap konservasi lingkungan, pengurangan konsumsi maupun partisipatori demokrasi.
Strategi tetesan ke bawah (trickle down effect) melalui pembangunan proyek mega ternyata tidak mampu memercik pada penduduk lokal/sekitar. Dampak sosial memang tidak bisa diukur dengan perhitungan matematis misalnya hilangnya pekerjaan di sektor perkebunan/pertanian lebih kecil dibanding kesempatan kerja yang muncul dari kehadiran industri/proyek. Michael Cernea (1991), sosiolog yang pernah bekerja pada Bank Dunia, memandang bahwa perhitungan kuantitatif akan menghilangkan unsur keadilan (fairness). Nampak bahwa dalam konteks etika pengambilan keputusaan, prinsip utilitarianism (prinsip yang mengutamakan the greatest benefit for the greatest number) menghilangkan rasa keadilan (Hadi, 2010).
Pemberian informasi kepada publik, baik sisi positif maupun sisi negatif dari adanya PLTN, termasuk jika dibandingkan dengan berbagai jenis pembangkit lainnya, sehingga rencana pembangunan PLTN mendapatkan tingkat penerimaan yang tinggi dari masyarakat. Sebab, basis dari penerimaan publik adalah seberapa jauh publik mendapatkan informasi yang akurat tentang berbagai aspek terkait dengan pengoperasian sebuah PLTN. Untuk itu perlu desain program sosialisasi PLTN dalam rangka penerimaan masyarakat (public acceptance), berupa program informasi dan edukasi serta program rekayasa sosial (social engineering) dan program pengembangan masyarakat (community development).
Berkaitan dengan rencana pembangunan PLTN di Indonesia, dapat diberikan rekomendasi yaitu langkah dasar yang harus dilakukan pemerintah adalah pembatalan pembangunan PLTN di Semenanjung Muria karena mempertimbangkan kuatnya penolakan masyarakat lokal atas rencana tersebut, selanjutnya memperbaiki kebijakan nasional di bidang ketahanan energi nasional (termasuk mereview kontrak kerjasama eksplorasi minyak dan gas bumi) serta mengembangkan sumber energi yang terbarukan didalam negeri.
Akhirnya, ada baiknya kita menyimak pendapat Yoshihiko Wada, PhD khusus mengenai pembangunan PLTN, dalam Ecological Economics Approach to Sustainability: Ecological Footprint menyatakan bahwa berdasarkan analisis biaya Prolonged Impact Management (PIM), PLTN akan membutuhkan biaya PIM sekitar 16 kali lebih besar dibandingkan jumlah energi yang dihasilkan. Biaya dampak manajemen berkepanjangan (PIM) yang harus ditanggung oleh generasi mendatang disebabkan oleh penanganan limbah radioaktif dan berbagai limbah yang dihasilkan dari dekomisioning reaktor dan fasilitas terkait lainnya. Limbah radioaktif memiliki keaktifan 100 juta kali lebih besar daripada bahan radioaktif yang belum digunakan pada berat yang sama. Meskipun teknologi nuklir sementara ini dapat mengurangi emisi CO2. Namun, teknologi ini memperburuk hubungan di antara para penduduk dalam suatu masyarakat, antara generasi sekarang dan mendatang, penduduk perkotaan dan penduduk di daerah yang terkena dampak dekat reaktor serta manajemen dan pekerja yang dimasukkan ke dalam risiko kesehatan. Hal-hal tersebut menimbulkan masalah keadilan antar-generasi yang merupakan kriteria penting untuk keberlanjutan. Konsep keberlanjutan mensyaratkan bahwa masyarakat menjadi lebih menyatu, tak tersekat-sekat dan stabil.
Referensi:
Asmara, Feri Adhi, 2010, Analisis Persepsi dan Tingkat Penerimaan Masyarakat Sekitar Muria Terhadap Kebijakan Pembangunan PLTN di Jepara dengan Metode PLS (Partial Least Square), Skripsi Program Studi Statistika, Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Diponegoro, Semarang.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2005, Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025.
Friedman, Thomas. L, 2009, Hot, Flat, and Crowded, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hadi, Sudharto. P, 2001, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hadi, Sudharto. P, 27 Februari 2007, Mengapa Masyarakat Menolak PLTN?, Suara Merdeka, Semarang.
Hadi, Sudharto. P, 27 April 2008, Amunisi Penentang PLTN, Suara Merdeka, Semarang.
Hadi, Sudharto. P, 6 Januari 2009, Nasib Lingkungan di Tahun 2009, Suara Merdeka, Semarang.
Hadi, Sudharto. P, 2009, Manusia & Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Kurniawan, Iwan, 2 Maret 2007, Para Ahli Tolak PLTN, Radar Kudus, Kudus.
Mudzakir, Abdul Kohar, 12 Desember 2009, Pembangunan PLTN Muria, Demi Listrik atau Gengsi?, Harian Joglo Semar, Semarang.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Rahman, Mudjib, 13 September 2007, Energi Murah Dilabel Haram, GATRA, Jakarta.
Sastrawijaya, A. Tresna, 2009, Pencemaran Lingkungan, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Syaifullah, Muhammad & Jamil, M. Mukhsin, 2008, Conflict of Nuclear Power Plan in Jepara, Walisongo Mediation Centre (WMC) IAIN Walisongo, Semarang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
Utami, Sukowati, 26 Februari 2006, Begawan Nuklir Indonesia, Majalah Forum, Jakarta.
Zaini, Akhmad, 5 September 2007, Memahami Fatwa Haram PLTN Muria, Indo Pos, Jakarta.