Kamis, 11 November 2010

Kearifan Lokal Suku Samin di Kabupaten Pati – Jawa Tengah

PT Semen Gresik berencana berekspansi modal (sekitar 40% saham asing) ke Kabupaten Pati-Jawa Tengah sekitar pertengahan 2008. Pabrik besar akan didirikan tepatnya di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang merupakan kawasan pertanian. Tidak seperti warga lain yang biasanya menyukai bila tanah miliknya dibeli pemodal besar karena akan dihargai mahal, warga setempat anehnya menolak. Konon, penolakan warga ini dilatarbelakangi oleh sebuah pandangan hidup yang kita kenal dengan Ajaran Samin. Penolakan warga ini berbuntut panjang hingga sampai ke meja para wakil rakyat di Komisi VII DPR.
Untuk menjaring aspirasi warga dan mengetahui latar belakang penolakan tersebut Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf mengadakan dialog dengan Komunitas Samin atau dikenal sebagai para Sedulur Sikep dan perwakilan dari tujuh desa yang bakal terkena dampak langsung pembangunan pabrik semen. Desa-desa itu diantaranya Desa Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe Gunung. Singkatnya, pertemuan digelar di rumah sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno yang usianya sudah mencapai 100 tahun, di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, 27 km selatan pusat pemerintahan Kabupaten Pati, tanggal 7 September 2008 lalu. Hasil pertemuan itu adalah Sonny Keraf meminta kepada Menteri ESDM serta Menteri Negara Lingkungan Hidup menurunkan tim ke Sukolilo bersama-sama lembaga riset untuk mengetahui serta menyelami inspirasi warga setempat.
Kenapa warga menolak pembangunan pabrik semen? Ini berkaitan dengan keinginan warga Sedulur Sikep agar apa yang ada selama ini tidak berubah termasuk pola hidup sederhana yang sudah turun temurun termasuk keseimbangan ekologis yang sudah terjaga. Sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno, mengungkapkan alasan penolakan warga bahwa selama ini bidang pertanian merupakan sumber penghasilan dan kehidupan mereka. Akhirnya perjuangan mereka membuahkan hasil, pada tanggal 26 Juli 2009, Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo memutuskan membatalkan rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati.
Itulah gambaran singkat bagaimana warga Sedulur Sikep. Masih banyak keunikan lain apabila kita menyelami pola pikir dan pandangan hidup mereka. Dulu, jaman kolonial, para Sedulur Sikep dicap sebagai subversif oleh Pemerintah Kolonial karena menolak membayar pajak dan sistem pendidikan Belanda. Mereka mengembangkan siasat linguistik yang khas untuk melawan sehingga diolok-olok dengan julukan Wong Samin. Kini oleh para pemodal PT.Semen Gresik para Sedulur Sikep ini difitnah dan dicap sebagai provokator karena menolak pembangunan pabrik semen. Padahal para Sedulur Sikep Komunitas Samin ini adalah perintis siasat perlawanan active non violence orisinil yang khas Indonesia melawan penjajahan.
Bagi warga Sedulur Sikep apabila nanti Pabrik Semen Gresik jadi didirikan di wilayahnya, maka akan muncul dampak lingkungan yang mengancam kawasan Gunung Kendeng yang selama ini menjadi sumber ekologi (air, gua, hewan, tanaman) serta mengancam mata pencaharian bertani. Selain itu pegunungan kapur tersebut juga memiliki makna budaya dan sejarah bagi masyarakat sedulur sikep yang memiliki ekologi kultural nya sangat berelasi dengan lingkungan (gunung). Peran pegunungan secara kultural bagi masyarakat Sedulur Sikep dan masyarakat lokal lainnya di wilayah Sukolilo, Pati, memiliki ikatan kesadaran simbolis yang terdapat dalam situs-situs kebudayaan yang banyak terdapat di pegunungan Kendeng. Kesadaran masyarakat lokal di wilayah Sukolilo yang mengikat dengan pegunungan Kendengan diantaranya Watu Payung yang merupakan simbolisasi dari sejarah pewayangan Dewi Kunti, dimana beberapa situs narasi pewayangan tersebut terartikulasikan dalam beberapa relief alam yang terdapat di pegunungan Kendeng.
Di sekitar situs Watu Payung juga terdapat banyak narasi yang berhubungan dengan kisah pewayangan seperti kisah tentang cakar kuku bima, dan lain sebagainya. Kemudian di sekitar Watu Payung di pegunungan Kendeng juga terdapat Watu Kembar yang berisikan tentang kisah Hanoman yang sedang menaiki puncak gunung sambil bermain bintang dilangit, kemudian dewa marah lalu pindahkannya puncak gunung dan kemudian runtuhannya jatuh menjadi Watu Kembar. Selain kisah pewayangan juga terdapat situs yang memiliki kaitannya dengan Angling Dharma di sekitar lereng pegunungan Kendeng Sukolilo, kemudian ada Gua Jolotundo yang memiliki korelasi dengan kisah Laut Selatan Jawa. Kemudian ke arah Kayen juga terdapat makam Syeh Jangkung yang dianggap sebagai salah satu tokoh lokal dalam mitologi masyarakat lokal di wilayah Pati.
Beberapa situs yang ada di pegunungan Kendeng saat ini, masih diyakini oleh para penduduk sebagai bagian dari kesadaran simbolisnya, hal ini terlihat masih banyak peziarah atau para pengunjung yang datang sebagai bagian dari bentuk kesadaran kultural dan spiritualitas. Kekuatan simbolik situs-situs kebudayaan yang ada di wilayah pegunungan Kendeng memiliki ikatan kultural tidak hanya seputar Sukolilo Pati, hal ini terlihat banyaknya peziarah dan para pengunjung yang hadir di beberapa situs Watu Payung dan lain sebagianya berasal dari wilayah Demak, Jepara, dan sekitarnya.
Kesemua kisah mitologi lokal diatas sangat memiliki basis material pada wilayah pegunungan Kendeng di wilayah Sukolilo Pati. Sebagai proses antara yang natural dengan yang kultural, mitologi lokal ini memang berasal dari tradisi tutur (lisan) yang memiliki kekuatan identitas bagi banyak entitas masyarakat. Dalam prespektif ekologi sosial, mitologi lokal tersebut mereduksi alam menjadi bahasa masyarakat (kebudayaan) yang berbasis lokalitas. sehingga menjadikan lingkungan (pegunungan) bukan saja memiliki kekuatan ekologi pertanian (mata pencaharian), namun juga terdapat kekuatan budaya yang menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Sedulur Sikep dari bahasa Jawa berarti Sahabat Sikep adalah kelompok masyarakat yang berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Samin. Komunitas masyarakat yang disebut Sedulur Sikep ini terbanyak ditemukan di daerah daerah dan kota antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Samin Surosentiko adalah pencetus gerakan sosial ini. Dia lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang bernafaskan wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826. Samin wafat dalam pengasingan (ia diasingkan oleh Belanda) di kota Padang, Sumatera Barat pada tahun 1914.
Kyai Samin sejak dini gemar bertapa brata, prihatin, suka mengalah dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas banyaknya nasib rakyat yang sengsara akibat kebijakan Belanda melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarakat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata sami-sami amin yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika dia melakukan langkah yang berani untuk membiayai masyarakat miskin dengan caranya sendiri.
Bisa disimpulkan, gerakan sosial ini muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.