Rabu, 06 April 2011

Sindrom Not In My Back Yard Terkait Rencana Pembangunan PLTN

Polemik tentang PLTN, sebagai sistem pembangkit listrik melalui konversi energi nuklir menjadi energi listrik, berkaitan dengan keselamatan reaktor dan keluaran limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah beracun (B3). Dengan dua isu utama itu dampak sosial yang muncul sebagai akibat pembangunan PLTN bukan hanya bersifat standar atau baku seperti terciptanya kesempatan kerja, kesempatan berusaha, timbulnya gangguan kenyamanan karena kemacetan lalu lintas, bising, getaran, debu, melainkan juga dampak yang bersifat spesifik seperti rasa cemas, khawatir dan takut yang besarnya tidak mudah dikuantifikasi. Dalam terminologi dampak sosial, dampak yang demikian itu disebut perceived impact atau dampak yang dipersepsikan.
Berbeda dengan dampak standar yang bersifat tangible dan mudah diukur, dampak persepsi muncul karena adanya pandangan masyarakat terhadeap proyek yang berhubungan dengan resiko yang mungkin timbul. Dalam konteks PLTN, persepsi itu terbentuk karena kekhawatiran masyarakat terhadap potensi kecelakaan, kebocoran atau kesalahan operasi. Dampak-dampak seperti itu kemudian bisa mewujud dalam bentuk rasa was-was, takut, dan cemas yang kemudian diekspresikan dalam sikap penolakan yang kadang disertai dengan tindakan kekerasan.
Persepsi masyarakat tersebut tumbuh karena pengetahuan terhadap proyek sejenis di tempat lain. Kasus penolakan masyarakat disertai kekerasan terhadap proyek sejenis TPST (tempat pengolahan sampah terpadu) di Bojong, Jawa Barat, dipicu oleh kenyataan akan buruknya pengolahan sampah di tempat lain seperti di Bantargebang, Bekasi, Sukolilo, Surabaya, dan di tempat-tempat lain. Dalam pandangan masyarakat, yang namanya tempat pengolahan akhir (TPA) sampah identik dengan kumuh, bau, debu, lalat, ceceran sampah dan kontaminasi air tanah. Berbagai dampak tersebut ditengarai menjadi penyebab menurunnya nilai properti (rumah dan tanah).
Bagaimana dengan PLTN? Trauma nuklir yang menghinggapi masyarakat berawal dari kenyataan bahwa pemanfaatan energi nuklir adalah untuk keperluan perang. Penggunaan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki Jepang pada Agustus 1945 untuk mengakhiri Perang Dunia II, membentuk persepsi masyarakat tentang pemanfaatan nuklir yang destruktif dan tidak manusiawi.
Citra menakutkan itu diperburuk oleh beberapa peristiwa kebocoran, seperti di Chernobyl dan Three Mile Island. Malapetaka di kedua tempat itu selalu menjadi referensi masyarakat lokal untuk menolak kehadiran PLTN. Hal demikian terjadi pada waktu masyarakat lokal di Warman, Saskatchawan, Kanada, menolak rencana pembangunan penyulingan uranium. Sikap penduduk yang didokumentasikan dalam buku Why People Say No itu didasari oleh peristiwa kebocoran di Three Mite Island dan di Port Hope, Ontario, Kanada. Buku itu menyebutkan bahwa hasil penyulingan uranium yang dipergunakan sebagai bahan bakar pembangkit nuklir ternyata sama bahayanya dengan pembangkit tenaga nuklir.
Isu kedua yang memicu masyarakat untuk menolak kehadiran PLTN adalah tentang limbah radioaktif. Dalam operasinya, PLTN akan menghasilkan limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah khusus berbahaya. Sebagaimana dikemukakan Sasongko (2006), penumpukan bahan radioaktif hasil belahan dan bahan-bahan radioaktif pada sistem pendingin berpotensi tersebar keluar jika terjadi kebocoran/ kecelakaan reaktor. Radiasi yang berasal dari bahan radioaktif dapat menimbulkan kontaminasi terhadap manusia dan biosfernya. Prosedur dan standar keselamatan PLTN yang dilakukan di beberapa negara untuk mengelola potensi bahaya PLTN selama ini memang ditujukan untuk memberikan perlindungan lingkungan. Namun demikian, terjadinya kasus-kasus kebocoran dan kecelakaan PLTN mengundang pertanyaan sekelompok masyarakat yang kritis dan skeptis tentang efektivitas prosedur dan keselamatan tersebut.
Keandalan PLTN berkembang menjadi isu kritis yang menimbulkan kekawatiran masyarakat. Armour (1988), pakar studi dampak sosial dari Kanada, mencatat sebab utama munculnya penggalangan warga Amerika Serikat dan Kanada untuk menolak kehadiran proyek nuklir adalah karena ketidakmampuan teknologi di dalam menanggulangi konsekuensi sosial dan ekologis.Kondisi tersebut akan menyebabkan setiap proyek yang dianggap akan mengusik keselamatan masyarakat dan lingkungan ditentang habis-habisan. Gerakan semacam itu disebut sebagai sindrom NIMBY (Not In My Back Yard atau jangan letakkan proyek itu di sekitar permukiman saya). Suka atau idak, fasilitas pembangkit tenaga nuklir dalam kamus masyarakat lokal di Amerika Utara (AS dan Kanada) masuk dalam kategori NIMBY. Di Indonesia, sindrom NIMBY telah merasuki sanubari masyarakat terhadap proyek TPA sampah dan di beberapa tempat untuk proyek jaringan transmisi.
Selama ini, pemprakarsa PLTN selalu memaparkan keandalan teknologinya yang menjamin keamanan dan keselamatan. Namun demikian, rasanya masih sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak akan memikul resiko. Dampak sosial yang sifatnya spesifik memang sulit dikuantifikasi. Keuntungan-keuntungan yang mungkin diraup oleh masyarakat luas oleh kehadiran proyek (dalam bentuk penyediaan energi dan kesempatan kerja), belum mampu menghilangkan kekhawatiran atau derita yang mungkin akan dialami oleh masyarakat di sekitar proyek. Kelompok-kelompok masyarakat yang senantiasa dihinggapi kekhawatiran itu layak mendapat perhatian sepadan. 
Mengutip pandangan Finsterbusch (1989) dan Cernea (1991), dua pakar sosial dari Amerika Serikat, keputusan publik yang hanya mendasarkan pada hasil pembobotan akan menimbulkan ketidakadilan dan mengabaikan demokrasi serta kesederajatan.

Resiko Ekonomi Pembangunan PLTN

Hampir setiap orang mengetahui resiko kecelakaan dan bahaya radiasi zat radio aktif dari sebuah reaktor nuklir pembangkit listrik. Padahal, selain resiko kecelakaan, resiko ekonomi PLTN juga perlu menjadi pertimbangan, mengingat dana APBN yang terbatas dan kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih. Setidaknya ada tiga resiko ekonomi PLTN yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, resiko eskalasi biaya dan penundaan penyelesaian konstruksi. Sudah menjadi "tradisi" industri nuklir, perkiraan biaya konstruksi biasanya kecil di awal, tetapi kemudian membengkak seiring berjalannya proyek.
Pada banyak kasus, biaya pembangunan PLTN bisa membengkak dua hingga empat kali lipat dari perkiraan semula, seperti yang pernah dialami Brasil, Argentina, India, Ceko, Inggris, dan Amerika Serikat. Ini bukan berarti negara-negara lain tidak mengalami hal serupa mengingat data biaya konstruksi sering kali tidak dibuka kepada publik.
Molornya masa konstruksi juga merupakan problem klasik dalam proyek PLTN. Data Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tahun 2006 menunjukkan, dari sekitar 30 negara yang memiliki PLTN, separuhnya pernah mengalami penundaan penyelesaian konstruksi lebih dari 10 tahun. Jumlah itu belum termasuk beberapa proyek PLTN yang dihentikan di tengah jalan, seperti yang terjadi di Argentina, Bulgaria, dan Romania.
Karena PLTN adalah investasi padat modal, pembengkakan biaya dan keterlambatan konstruksi akan berpengaruh besar terhadap kenaikan biaya pembangkitan yang pada akhirnya akan menjadi beban masyarakat sebagai konsumen. Bagi Indonesia, penundaan jadwal pengoperasian sebuah pembangkit juga berarti merupakan gangguan terhadap pasokan listrik nasional yang kondisinya sudah kritis. Resiko pembengkakan biaya konstruksi mungkin bisa dihindari jika proyek dilakukan dengan menggunakan skema putar kunci (turnkey). Yang menjadi pertanyaan, mungkinkah mendapatkan harga jual listrik yang murah dengan skema tersebut?
Kedua, resiko kinerja pembangkit yang di bawah harapan. Resiko ini dapat berupa faktor kapasitas yang rendah atau umur ekonomis yang lebih pendek dari yang direncanakan. Mengacu pada data IAEA, setidaknya ada 15 negara yang memiliki kapasitas akumulatif PLTN kurang dari 75 %. Faktor kapasitas akumulatif PLTN-PLTN di Armenia, Brasil, Bulgaria, India, Lituania, dan Pakistan bahkan kurang dari 60 %. Padahal, sebagai penyangga beban dasar, PLTN umumnya didesain agar beroperasi dengan faktor kapasitas tidak kurang dari 80 % untuk mencapai syarat keekonomian yang diharapkan.
Sebuah PLTN diharapkan memiliki umur ekonomis hingga 40 tahun. Namun, tidak jarang dijumpai sebuah PLTN harus ditutup jauh lebih awal dari umur yang direncanakan karena berbagai masalah. Data IAEA menunjukkan, hingga akhir tahun 2005, ada 51 reaktor daya yang ditutup secara permanen sebelum usianya genap 20 tahun.
Ketiga, resiko tanggung jawab jangka panjang. Resiko ini terkait dengan ketidakpastian biaya dekomisioning dan penyimpanan akhir limbah nuklir. Karena dana dekomisioning dikumpulkan dari setiap kWh listrik yang dibangkitkan PLTN dengan metode discounted cash flow, selalu muncul kemungkinan dana tersebut tidak cukup di kemudian hari. Kemungkinan itu bisa disebabkan oleh eskalasi biaya yang tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini bisa terjadi mengingat menghitung biaya dekomisioning ibarat meramal masa depan, penuh ketidakpastian. Nilai tukar mata uang, tingkat inflasi, eskalasi upah buruh dan material selama 40 tahun ke depan harus diperkirakan dengan cermat. Sampai-sampai Ian Jackson (seorang konsultan senior industri nuklir Inggris) mengatakan bahwa menghitung biaya dekomisioning lebih pantas disebut seni ketimbang sains (Paying for Nuclear Clean-up: An Unofficial Market Guide, 2006).
Kekurangan dana dekomisioning dapat juga disebabkan oleh dana tidak terkumpul sesuai dengan yang direncanakan. Hal ini bisa terjadi akibat kesalahan pengelolaan dana, kinerja pembangkit yang di bawah harapan, atau dana dikorupsi di tengah jalan. Pengalaman Inggris adalah salah satu contoh nyata bahwa biaya dekomisioning selalu lebih besar daripada yang diperkirakan dan dana yang dikumpulkan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Selama beberapa tahun terakhir perkiraan biaya dekomisioning di negara tersebut membengkak hingga beberapa kali lipat. Saat ini jumlah tanggungan biaya dekomisioning diperkirakan tidak kurang dari 140 miliar dollar AS (BBC, 30 Maret 2006). Padahal, dana yang telah dikumpulkan dari industri nuklir jauh dari mencukupi. Konsekuensinya, kekurangan dana harus ditanggung publik hingga beberapa generasi yang akan datang.
Semua resiko ekonomi yang telah diuraikan itu adalah sifat "bawaan" industri nuklir. Di samping itu, ada pula resiko ekonomi yang muncul akibat fluktuasi harga bahan bakar nuklir. Selama empat tahun terakhir, harga uranium sudah melambung sepuluh kali lipat. Harga pengayaan bahan bakar (enrichment) naik 30 %, sementara harga konversi melonjak hingga dua kali lipat. Uranium tidak hanya mahal, pasarnya pun tidak transparan sehingga sewaktu-waktu bisa bergejolak. Yang lebih mengkhawatirkan, produksi uranium dunia saat ini hanya mampu memenuhi 67% kebutuhan dunia. Sisanya diperoleh dari konversi senjata nuklir yang ada di Amerika Serikat dan Rusia.
Bagi Indonesia, yang relatif miskin akan cadangan uranium, gejolak harga uranium merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan sebelum membangun PLTN. Data di buku Uranium Resources, Production and Demand terbitan Nuclear Energy Agency tahun 2006 menyebutkan sumber daya uranium Indonesia hanya 6.000 ton. Itu pun termasuk jenis kadar rendah dengan biaya eksploitasi yang tinggi. Jumlah sebesar itu bahkan belum tentu cukup untuk menghidupi daur hidup satu unit PLTN.
Resiko ekonomi PLTN tidak hanya relevan bagi negara yang masih baru dalam pengembangan energi nuklir. Rekam jejak PLTN di Amerika Serikat, yang selama ini menjadi salah satu kiblat teknologi nuklir dunia, membuktikan bahwa di negara tersebut resiko ekonomi PLTN masih menjadi masalah yang nyata.
Nathan Hultman (peneliti senior di Universitas Georgetown) dan Daniel Kammen (profesor di Universitas California) menemukan fakta bahwa 16 % PLTN yang pernah atau masih beroperasi di negara tersebut tidak memenuhi syarat keekonomian yang wajar, dengan biaya pembangkitan di atas 8 sen per kWh (Environmental Science, 2007). Dalam kaitannya dengan rencana pembangunan PLTN pertama di Indonesia, semua resiko ekonomi itu perlu dipertimbangkan dengan saksama dan dikomunikasikan kepada masyarakat. Pemerintah juga perlu menjelaskan kepada publik bagaimana pertanggungan resiko ekonomi tersebut nantinya akan didistribusikan di antara vendor, operator/pemilik PLTN, dan masyarakat.
Akhirnya, ada baiknya kita menyimak pendapat Yoshihiko Wada, PhD khusus mengenai pembangunan PLTN, dalam Ecological Economics Approach to Sustainability: Ecological Footprint menyatakan bahwa berdasarkan analisis biaya Prolonged Impact Management (PIM), PLTN akan membutuhkan biaya PIM sekitar 16 kali lebih besar dibandingkan jumlah energi yang dihasilkan. Biaya dampak manajemen berkepanjangan (PIM) yang harus ditanggung oleh generasi mendatang disebabkan oleh penanganan limbah radioaktif dan berbagai limbah yang dihasilkan dari dekomisioning reaktor dan fasilitas terkait lainnya. Limbah radioaktif memiliki keaktifan 100 juta kali lebih besar daripada bahan radioaktif yang belum digunakan pada berat yang sama.