Polemik tentang PLTN, sebagai sistem pembangkit listrik melalui konversi energi nuklir menjadi energi listrik, berkaitan dengan keselamatan reaktor dan keluaran limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah beracun (B3). Dengan dua isu utama itu dampak sosial yang muncul sebagai akibat pembangunan PLTN bukan hanya bersifat standar atau baku seperti terciptanya kesempatan kerja, kesempatan berusaha, timbulnya gangguan kenyamanan karena kemacetan lalu lintas, bising, getaran, debu, melainkan juga dampak yang bersifat spesifik seperti rasa cemas, khawatir dan takut yang besarnya tidak mudah dikuantifikasi. Dalam terminologi dampak sosial, dampak yang demikian itu disebut perceived impact atau dampak yang dipersepsikan.
Berbeda dengan dampak standar yang bersifat tangible dan mudah diukur, dampak persepsi muncul karena adanya pandangan masyarakat terhadeap proyek yang berhubungan dengan resiko yang mungkin timbul. Dalam konteks PLTN, persepsi itu terbentuk karena kekhawatiran masyarakat terhadap potensi kecelakaan, kebocoran atau kesalahan operasi. Dampak-dampak seperti itu kemudian bisa mewujud dalam bentuk rasa was-was, takut, dan cemas yang kemudian diekspresikan dalam sikap penolakan yang kadang disertai dengan tindakan kekerasan.
Persepsi masyarakat tersebut tumbuh karena pengetahuan terhadap proyek sejenis di tempat lain. Kasus penolakan masyarakat disertai kekerasan terhadap proyek sejenis TPST (tempat pengolahan sampah terpadu) di Bojong, Jawa Barat, dipicu oleh kenyataan akan buruknya pengolahan sampah di tempat lain seperti di Bantargebang, Bekasi, Sukolilo, Surabaya, dan di tempat-tempat lain. Dalam pandangan masyarakat, yang namanya tempat pengolahan akhir (TPA) sampah identik dengan kumuh, bau, debu, lalat, ceceran sampah dan kontaminasi air tanah. Berbagai dampak tersebut ditengarai menjadi penyebab menurunnya nilai properti (rumah dan tanah).
Bagaimana dengan PLTN? Trauma nuklir yang menghinggapi masyarakat berawal dari kenyataan bahwa pemanfaatan energi nuklir adalah untuk keperluan perang. Penggunaan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki Jepang pada Agustus 1945 untuk mengakhiri Perang Dunia II, membentuk persepsi masyarakat tentang pemanfaatan nuklir yang destruktif dan tidak manusiawi.
Citra menakutkan itu diperburuk oleh beberapa peristiwa kebocoran, seperti di Chernobyl dan Three Mile Island. Malapetaka di kedua tempat itu selalu menjadi referensi masyarakat lokal untuk menolak kehadiran PLTN. Hal demikian terjadi pada waktu masyarakat lokal di Warman, Saskatchawan, Kanada, menolak rencana pembangunan penyulingan uranium. Sikap penduduk yang didokumentasikan dalam buku Why People Say No itu didasari oleh peristiwa kebocoran di Three Mite Island dan di Port Hope, Ontario, Kanada. Buku itu menyebutkan bahwa hasil penyulingan uranium yang dipergunakan sebagai bahan bakar pembangkit nuklir ternyata sama bahayanya dengan pembangkit tenaga nuklir.
Isu kedua yang memicu masyarakat untuk menolak kehadiran PLTN adalah tentang limbah radioaktif. Dalam operasinya, PLTN akan menghasilkan limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah khusus berbahaya. Sebagaimana dikemukakan Sasongko (2006), penumpukan bahan radioaktif hasil belahan dan bahan-bahan radioaktif pada sistem pendingin berpotensi tersebar keluar jika terjadi kebocoran/ kecelakaan reaktor. Radiasi yang berasal dari bahan radioaktif dapat menimbulkan kontaminasi terhadap manusia dan biosfernya. Prosedur dan standar keselamatan PLTN yang dilakukan di beberapa negara untuk mengelola potensi bahaya PLTN selama ini memang ditujukan untuk memberikan perlindungan lingkungan. Namun demikian, terjadinya kasus-kasus kebocoran dan kecelakaan PLTN mengundang pertanyaan sekelompok masyarakat yang kritis dan skeptis tentang efektivitas prosedur dan keselamatan tersebut.
Keandalan PLTN berkembang menjadi isu kritis yang menimbulkan kekawatiran masyarakat. Armour (1988), pakar studi dampak sosial dari Kanada, mencatat sebab utama munculnya penggalangan warga Amerika Serikat dan Kanada untuk menolak kehadiran proyek nuklir adalah karena ketidakmampuan teknologi di dalam menanggulangi konsekuensi sosial dan ekologis.Kondisi tersebut akan menyebabkan setiap proyek yang dianggap akan mengusik keselamatan masyarakat dan lingkungan ditentang habis-habisan. Gerakan semacam itu disebut sebagai sindrom NIMBY (Not In My Back Yard atau jangan letakkan proyek itu di sekitar permukiman saya). Suka atau idak, fasilitas pembangkit tenaga nuklir dalam kamus masyarakat lokal di Amerika Utara (AS dan Kanada) masuk dalam kategori NIMBY. Di Indonesia, sindrom NIMBY telah merasuki sanubari masyarakat terhadap proyek TPA sampah dan di beberapa tempat untuk proyek jaringan transmisi.
Selama ini, pemprakarsa PLTN selalu memaparkan keandalan teknologinya yang menjamin keamanan dan keselamatan. Namun demikian, rasanya masih sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak akan memikul resiko. Dampak sosial yang sifatnya spesifik memang sulit dikuantifikasi. Keuntungan-keuntungan yang mungkin diraup oleh masyarakat luas oleh kehadiran proyek (dalam bentuk penyediaan energi dan kesempatan kerja), belum mampu menghilangkan kekhawatiran atau derita yang mungkin akan dialami oleh masyarakat di sekitar proyek. Kelompok-kelompok masyarakat yang senantiasa dihinggapi kekhawatiran itu layak mendapat perhatian sepadan.
Mengutip pandangan Finsterbusch (1989) dan Cernea (1991), dua pakar sosial dari Amerika Serikat, keputusan publik yang hanya mendasarkan pada hasil pembobotan akan menimbulkan ketidakadilan dan mengabaikan demokrasi serta kesederajatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar