Rabu, 29 Desember 2010

Surat Untuk Firman Utina

Tulisan sangat inspiratif dari novelis ES Ito ketika euforia sepakbola Tim Nasional "Garuda" pada pertandingan piala AFF 2010:

Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata "bisa" belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.

Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!

Sumber : www.itonesia.com

Selasa, 21 Desember 2010

Analisis Sistem Perencanaan Proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah

Kunjungan 15 anggota Komisi D DPRD Jawa Tengah ke Reaktor Serba Guna G.A. Siwabessy (RSG-GAS), Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) pada tanggal 11 November 2010 lalu memicu perdebatan kembali tentang rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah. Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah Drs. Lukman Setiabudi, MM yang juga merupakan pimpinan rombongan mengatakan bahwa kunjungan tersebut bertujuan untuk mengetahui ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir secara komprehensif dan meningkatkan pemahaman anggota komisi D DPRD Jateng tentang nuklir secara umum.
Ia menyebutkan di Jawa Tengah saat ini banyak provokator dan pihak tertentu yang memanfaatkan nuklir untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Saat berdiskusi tentang status rencana pembangunan PLTN dengan calon tapak di Semenanjung Muria, umumnya anggota komisi D menyayangkan mengapa opsi nuklir belum masuk ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah, namun demikian beberapa pihak mengungkapkan hal ini bisa saja dilakukan peninjauan kembali atau revisi (infonuklir, 2010). Apakah pembangunan PLTN di Semenanjung Muria harus dilanjutkan?
1. Sejarah Rencana Pembangunan PLTN di Indonesia
Di Indonesia, ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada tahun 1956 dalam bentuk pernyataan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di beberapa universitas di Bandung dan Yogyakarta. Meskipun demikian ide yang sudah mengkristal baru muncul pada tahun 1972 bersamaan dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Kemudian berlanjut dengan diselenggarakannya sebuah seminar di Karangkates, Jawa Timur pada tahun 1975 oleh BATAN dan Departemen PUTL, dimana salah satu hasilnya suatu keputusan bahwa PLTN akan dikembangkan di Indonesia. Pada saat itu juga sudah diusulkan 14 tempat yang memungkinkan di Pulau Jawa untuk digunakan sebagai lokasi PLTN, dan kemudian hanya 5 tempat yang dinyatakan sebagai lokasi yang potensial untuk pembangunan PLTN.
Empat belas lokasi yang diteliti BATAN bekerjasama dengan NIRA dari Italia adalah 11 lokasi di Pantai Utara Jawa dan 3 lokasi di pantai Selatan. Sebagian daerah pantai Utara adalah Pasuruan, Bondowoso, Lasem, Semenanjung Muria dan Tanjung Pujut di Jawa Barat. Sedangkan di bagian Selatan adalah Ujung Genteng, Pangandaran dan Malang Selatan. Pada tahun 1975, dihasilkan beberapa rekomendasi daerah pilihan yaitu 5 daerah di antara 14 daerah potensial di Jawa. Kemudian, Semenanjung Muria merupakan satu-satunya yang dianggap paling layak untuk calon tapak dibanding kawasan lainnya.
Mengingat situasi penyediaan energi konvensional termasuk listrik nasional di masa mendatang semakin tidak seimbang dengan kebutuhannya, maka opsi nuklir dalam perencanaan sistem energi nasional jangka panjang merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat mengurangi tekanan dalam masalah penyediaan energi khususnya listrik di Indonesia. Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan tersebut di atas maka diharapkan pernyataan dari semua pihak yang terkait dengan pembangunan energi nasional bahwa penggunaan energi nuklir di Indonesia sudah diperlukan, dan untuk itu perlu dimulai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sekitar tahun 2010, sehingga sudah dapat dioperasikan secara komersial pada sekitar tahun 2016.
Beberapa peraturan perundangan yang mendasari persiapan pembangunan PLTN adalah sebagai berikut:
a. PeraturanPresiden No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, nuklir termasuk dalam Energi Baru dan Terbarukan (EBT), khususnya pada kelompok lain-lain dan akan berkontribusi sebesar 2% dari energi primer atau ekivalen dengan 4% energi listrik nasional. PLTN I dan II diharapkan beroperasi pada tahun 2016 dan 2017. PLTN III dan IV beroperasi pada tahun 2023 dan 2024.
b. Undang-undang No 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 Bab IV.2.3. (2015-2019) “….Mulai dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat,…”
c. Inpres No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010 yang antara lain memuat sosialisasi pengembangan energi nuklir untuk mencapai pemahaman masyarakat yang utuh.
d. PeraturanPresiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 antara lain prioritas nasional dibidang energi alternatif: peningkatan pemanfaatan energi terbarukan termasuk energi alternatif geothermal sehingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014 dan dimulainya produksi coal bed methane untuk membangkitkan listrik pada 2011 disertai pemanfaatan potensi tenaga surya, microhydro, serta nuklir secara bertahap.
2. Pro dan Kontra Pembangunan PLTN di Semenanjung Muria
Menanggapi rencana pembangunan PLTN, terdapat dua kelompok yang berbeda yaitu satu pihak setuju atau pro dan pihak menolak atau kontra. Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Dr. Soedyartomo Soentono mengatakan, nuklir adalah energi masa depan. Sebagai misal, satu atom nuklir akan menghasilkan 200 juta elektron volt. Sementara, dalam setiap molekul batu bara hanya menghasilkan 23 elektron volt. Ada perbedaan hingga 100 juta kali lipat. Sebagai bukti efisiensi itu, saat ini di dunia telah beroperasi kurang lebih 438 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), dan 31 lagi dalam masa konstruksi. Dari sejumlah PLTN tersebut, daya listrik yang dihasilkan dapat menyumbang sekitar 18 % produksi listrik dunia, bahkan di 13 negara antara 30-80 % listriknya diproduksi dari PLTN. Dan, di antara negara-negara yang mengoperasikan reaktor untuk PLTN, Amerika adalah negara yang mengoperasikan PLTN paling banyak, yaitu sekitar 104 unit (per tahun 2001). Dari sejumlah reaktor tersebut mampu menyumbang 19,83 % listrik yang dibutuhkan Amerika. Negara yang memanfaatkan listrik dari tenaga nuklir paling besar adalah Perancis. Perancis memenuhi kebutuhan listriknya sebesar 76,4 % dari PLTN. Di antara negara dunia yang secara kontroversial melaksanakan kebijakan mengoperasikan PLTN adalah Jepang. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1945 negara ini adalah satu-satunya negara yang mengalami musibah ledakan bom atom yang dijatuhkan Sekutu pada Perang Dunia II. Namun dalam perkembangan selanjutnya, Jepang justru menjadi negara yang paling gigih dalam memanfaatkan reaktor untuk daya listrik. Bahkan boleh dikatakan tekonologi reaktornya paling maju dan aman (Utami, 2006).
Sastrawijaya (2009) menyatakan bahwa nuklir dapat membantu secara berkelanjutan kebutuhan energi. PLTN juga dinilai secara kompetitif terhadap PLTBatubara maupun PLTGas. Selain ramah lingkungan, PLTN juga mengurangi laju pemanasan global, efek rumah kaca dan lain-lainnya. Ketakutan di Indonesia disebabkab mimpi buruk akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki, juga tragedi Chernobyl tahun 1986. Padahal probabilitas katastrofi akibat nuklir ini sangat rendah, yang lebih parah adalah ketidakpercayaan terhadap kemampuan para insinyur Indonesia sendiri. Tidak demikian halnya dengan rakyat Vietnam dan Thailand yang percaya penuh kepada para ahlinya sendiri. PLTN di Vietnam akan selesai pada tahun 2020. Selanjutnya Sastrawijaya menyarankan agar sosialisasi yang baik dan menyeluruh akan menyadarkan masyarakat yang anti nuklir.
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara, Jawa Tengah pada bulan September 2007 mengeluarkan fatwa haram atas rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Zaini (2007) mengemukakan bahwa fatwa haram tersebut harus dipahami yaitu fatwa dikeluarkan setelah mereka mempertimbangkan manfaat dan mudarat proyek PTLN Muria. Menurut kajian dan analisis mereka, manfaat yang akan diperoleh proyek itu lebih kecil daripada bahaya atau mudarat yang akan diperoleh.
Pengamat nuklir dari Universitas Indonesia (UI) Iwan Kurniawan menilai Indonesia tidak akan mampu menjadikan PLTN sebagai sumber listrik alternatif. Sebab, Indonesia tidak memiliki dan menguasai teknologi pengayaan uranium untuk dijadikan sumber energi pengganti listrik. Indonesia memang memiliki cadangan uranium di Kalimantan, tapi tidak bisa dipakai karena butuh proses. Proses ini sangat bergantung pada teknologi impor dari negara maju, dan Indonesia tidak menguasai teknologi ini. Untuk itu, Indonesia sebaiknya memanfaatkan sumber daya energi alternatif lainnya yang berlimpah. Sumber daya itu di antaranya gas, batu bara, panas bumi, dan energi terbarukan. Bahkan limbah-limbah pertanian bisa dijadikan energi listrik. Apalagi, menurut perhitungannya, tidak ada PLTN yang biayanya murah. Negara-negara maju memang ada yang menggunakan PLTN sebagai sumber energi listrik, karena mereka tidak memiliki sumber energi alternatif (Kurniawan, 2007).
Asmara (2010) menyatakan bahwa secara garis besar, masyarakat yang menolak kehadiran PLTN dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
 Kelompok pertama adalah masyarakat awam yang bagi mereka nuklir menimbulkan rasa takut karena kurang faham terhadap sifat atau karakter nuklir. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa budayawan, politikus, tokoh agama dan beberapa masyarakat umum lainnya.
 Kelompok kedua adalah masyarakat yang sedikit faham tentang nuklir, tetapi menyangsikan kemampuan orang Indonesia dalam mengoperasikan PLTN dengan aman. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa LSM dan kalangan akademisi.
 Kelompok ketiga adalah masyarakat yang cukup faham tentang nuklir tetapi menolak kehadiran PLTN karena melihat PLTN dari kacamata berbeda sehingga memiliki argumen yang berbeda pula. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa pejabat dan mantan pejabat pemerintah yang pernah berhubungan dengan masalah energi, listrik dan nuklir.
Dari hasil studi dinyatakan bahwa pihak yang menolak kehadiran PLTN cenderung memiliki pertimbangan yang lebih besar terhadap aspek sosio kultural, politik, ekonomi, dan lingkungan dengan sedikit pertimbangan teknis. Sedangkan pihak yang menerima PLTN sebagian besar pertimbangannya berdasarkan sisi teknis dan implementasi pembangunan semata serta dianggap kurang mengakomodasi pertimbangan sosial, kultural, ekonomi dan politik.
3. Penyelesaian Pro dan Kontra Melalui Debat Publik Serta Perhatian Terhadap Aspek Sosial Masyarakat
Menanggapi adanya perbedaan dua kelompok antara yang pro dan kontra, menimbulkan wacana tentang perlunya debat publik untuk mempertemukan antara pihak yang pro dan kontra. Wacana tentang debat publik awalnya digulirkan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS waktu itu, Ginandjar Kartasasmita pada pertengahan tahun 1995 dalam dengar pendapat dengan Komisi X DPR. Ginandjar menyatakan bahwa proyek pembangunan PLTN Jepara, Jawa Tengah sebaiknya segera diforumkan dalam debat publik. Pernyatan ini secara implisit menyiratkan bahwa PLTN Jepara memenuhi kriteria sebagai proyek pembangunan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pembahasan terbuka, menurutnya, akan meningkatkan kualitas kebijaksanaan dan menjamin diperolehnya dukungan masyarakat. BAPPENAS memang telah memenuhi janjinya dengan menggelar dialog terbuka tentang peran dan fungsi perencanaan dalam era globalisasi pada akhir Agustus 1995.
Namun demikian, forum ini masih terbatas dikalangan para pakar yang terseleksi. Jika debat publik PLTN dilaksanakan, ia tidak saja menjadi debat publik (umum) yang pertama tetapi juga membuka lembaran baru dalam khasanah perencanaan pembangunan di negeri kita. Proyek-proyek sekaliber PLTN, Jembatan Madura, Kawasan Industri Madura, reklamasi Teluk Jakarta, PLTU (Pusat Listrik Tenaga Uap) Jepara, Terminal Terpadu Manggarai, Kereta Api Bawah Tanah (subway) seyogyanya juga masuk daftar yang harus diforumkan dalam debat (Hadi, 2001).
Dalam hal debat publik, seharusnya kita belajar dari pemerintah Denmark yang melakukan debat publik dan memutuskan untuk menolak pendirian PLTN dinegaranya pada tahun 1985. Mereka memutuskan menempuh kebijakan efisiensi energi dan mencari energi yang terbarukan. Selain itu Denmark memberlakukan penggunaan pajak, maka energi dibuat relatif mahal dan mendorong orang untuk berhemat dalam kehidupan sehari-hari. Bensin premium di Denmark pada tahun 2008 sekitar 2,4 dolar per liter. Yang lebih penting dari itu, Denmark mempunyai pajak CO2 yang diberlakukan pada pertengahan 1990-an untuk mendorong efisiensi, bahkan walaupun negeri itu baru menemukan cadangan minyak di lepas pantai mereka. Dan Denmark yang sejak awal telah berkonsentrasi pada energi matahari dan angin, sekarang memasok 16% total kebutuhan energi dan sekarang merupakan pengekspor teknologi penghasil energi terbarukan seperti turbin angin (sepertiga dari total turbin angin terrestrial di dunia berasal dari Denmark). Selain itu Denmark memiliki industri paling inovatif dalam pembuatan enzim-enzim untuk mengubah biomassa menjadi bahan bakar. Pada tahun 1973 Denmark mengimpor 99% energi dari Timur Tengah, sekarang menjadi 0% (Friedman, 2009).
Selanjutnya Hadi (2007) mengusulkan bahwa keberlanjutan sebuah proyek sangat bergantung kepada tingkat penerimaan masyarakat (social acceptance). Perlu dipahami bahwa polemik tentang PLTN berkaitan dengan reaktor dan keluaran limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Dengan dua isu utama itu dampak sosial yang muncul sebagai akibat pembangunan PLTN bukan hanya bersifat standar atau baku seperti terciptanya kesempatan kerja, kesempatan berusaha, timbulnya gangguan kenyamanan karena kemacetan lalu lintas, bising, getaran, debu, melainkan juga daampak yang bersifat spesifik seperti rasa cemas, khawatir dan takut yang besarnya tidak mudah dikuantifikasi. Dalam terminologi dampak sosial, dampak yang demikian itu disebut perceived impact atau dampak yang dipersepsikan.
Berbeda dengan dampak standar yang bersifat tangible dan mudah diukur, dampak persepsi muncul karena adanya pandangan masyarakat terhadap proyek yang berhubungan dengan risiko yang mungkin timbul. Dalam konteks PLTN, persepsi itu terbentuk karena kekhawatiran masyarakat terhadap potensi kecelakaan, kebocoraan atau kesalahan operasi. Dampak – dampak seperti itu kemudian bisa mewujud dalam bentuk rasa was-was, takut, dan cemas yang kemudian diekspresikan dalam sikap penolakan yang kadang disertai dengan tindakan kekerasan.
Radiasi yang berasal dari bahan radioaktif dapat menimbulkan kontaminasi terhadap manusia dan biosfernya. Prosedur dan standar keselamatan PLTN yang dilakukan di beberapa negara untuk mengelola potensi bahaya PLTN selama ini memang ditujukan untuk memberikan perlindungan lingkungan. Namun demikian, terjadinya kasus-kasus kebocoran dan kecelakaan PLTN mengundang pertanyaan sekelompok masyarakat yang kritis dan skeptik tentang efektivitas prosedur dan keselamatan tersebut.
Keandalan PLTN berkembang menjadi isu kritis yang menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Armour (1988), pakar studi dampak sosial dari Kanada, mencatat sebab utama munculnya penggalangan warga Amerika Serikat dan Kanada untuk menolak kehadiran proyek nuklir adalah karena ketidakmampuan teknologi didalam menanggulangi konsekuensi sosial dan ekologis. Kondisi tersebut akan menyebabkan setiap proyek yang dianggap akan mengusik keselamatan masyarakat dan lingkungan ditentang habis-habisan. Gerakan semacam itu disebut sebagai sindrom NIMBY (Not in My Back Yard atau jangan letakkan proyek itu disekitar pemukiman saya). Suka atau tidak, fasilitas pembangkit tenaga nuklir dalam kamus masyarakat lokal di Amerika Utara (AS dan Kanada) masuk dalam kategori NIMBY. Di Indonesia, sindrom NIMBY telah merasuki sanubari masyarakat terhadap proyek TPA sampah dan di beberapa tempat untuk proyek jaringan transmisi.
Selama ini, pemrakarsa PLTN selalu memaparkan keandalan teknologinya yang menjamin keamanan dan keselamatan. Namun demikian, rasanya masih sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak akan memikul risiko. Dampak sosial yang sifatnya spesifik memang sulit dikuantifikasi. Keuntungan-keuntungan yang mungkin diraup oleh masyarakat luas oleh kehadiran proyek (dalam bentuk penyediaan energi dan kesempatan kerja), belum mampu menghilangkan kekhawatiran atau derita yang mungkin akan dialami oleh masyarakat disekitar proyek. Kelompok-kelompok masyarakat yang senantiasa dihinggapi kekhawatiran itu layak mendapat perhatian sepadan. Mengutip pandangan Finsterbusch (1989) dan Cernea (1991), dua pakar sosial dari Amerika Serikat, keputusan publik yang hanya mendasarkan pada hasil pembobotan akan menimbulkan ketidakadilan dan mengabaikan demokrasi serta kesederajatan.
4. Alternatif Pemecahan Masalah
Pola perencanaan proyek pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara merupakan contoh perencanaan pembangunan yang sentralis yang menjadi ciri dari perencanaan sinoptik (kategori Hudson) dan tipe perencanaan analisis kebijakan (kategori Friedman). Kearifan lokal dan input masyarakat diabaikan sama sekali. Akibatnya adalah bahwa model perencanaan itu dalam implementasinya tidak sustainable (Hadi, 2010).
Dari penjelasan tentang teori perencanaan yang dituliskan Hadi (2001), nampak bahwa semua teori perencanaan memandang perlunya unsur pemenuhan kebutuhan material dan non material. Namun demikian tidak satupun yang menganggap penting adanya prinsip pelestarian fungsi lingkungan dan keadilan antar generasi atau keadilan masa depan. Arus utama teori perencanaan selama ini banyak didominasi oleh teori analisis kebijakan yang notabene tidak mempunyai concern terhadap konservasi lingkungan, pengurangan konsumsi maupun partisipatori demokrasi.
Strategi tetesan ke bawah (trickle down effect) melalui pembangunan proyek mega ternyata tidak mampu memercik pada penduduk lokal/sekitar. Dampak sosial memang tidak bisa diukur dengan perhitungan matematis misalnya hilangnya pekerjaan di sektor perkebunan/pertanian lebih kecil dibanding kesempatan kerja yang muncul dari kehadiran industri/proyek. Michael Cernea (1991), sosiolog yang pernah bekerja pada Bank Dunia, memandang bahwa perhitungan kuantitatif akan menghilangkan unsur keadilan (fairness). Nampak bahwa dalam konteks etika pengambilan keputusaan, prinsip utilitarianism (prinsip yang mengutamakan the greatest benefit for the greatest number) menghilangkan rasa keadilan (Hadi, 2010).
Pemberian informasi kepada publik, baik sisi positif maupun sisi negatif dari adanya PLTN, termasuk jika dibandingkan dengan berbagai jenis pembangkit lainnya, sehingga rencana pembangunan PLTN mendapatkan tingkat penerimaan yang tinggi dari masyarakat. Sebab, basis dari penerimaan publik adalah seberapa jauh publik mendapatkan informasi yang akurat tentang berbagai aspek terkait dengan pengoperasian sebuah PLTN. Untuk itu perlu desain program sosialisasi PLTN dalam rangka penerimaan masyarakat (public acceptance), berupa program informasi dan edukasi serta program rekayasa sosial (social engineering) dan program pengembangan masyarakat (community development).
Berkaitan dengan rencana pembangunan PLTN di Indonesia, dapat diberikan rekomendasi yaitu langkah dasar yang harus dilakukan pemerintah adalah pembatalan pembangunan PLTN di Semenanjung Muria karena mempertimbangkan kuatnya penolakan masyarakat lokal atas rencana tersebut, selanjutnya memperbaiki kebijakan nasional di bidang ketahanan energi nasional (termasuk mereview kontrak kerjasama eksplorasi minyak dan gas bumi) serta mengembangkan sumber energi yang terbarukan didalam negeri.
Akhirnya, ada baiknya kita menyimak pendapat Yoshihiko Wada, PhD khusus mengenai pembangunan PLTN, dalam Ecological Economics Approach to Sustainability: Ecological Footprint menyatakan bahwa berdasarkan analisis biaya Prolonged Impact Management (PIM), PLTN akan membutuhkan biaya PIM sekitar 16 kali lebih besar dibandingkan jumlah energi yang dihasilkan. Biaya dampak manajemen berkepanjangan (PIM) yang harus ditanggung oleh generasi mendatang disebabkan oleh penanganan limbah radioaktif dan berbagai limbah yang dihasilkan dari dekomisioning reaktor dan fasilitas terkait lainnya. Limbah radioaktif memiliki keaktifan 100 juta kali lebih besar daripada bahan radioaktif yang belum digunakan pada berat yang sama. Meskipun teknologi nuklir sementara ini dapat mengurangi emisi CO2. Namun, teknologi ini memperburuk hubungan di antara para penduduk dalam suatu masyarakat, antara generasi sekarang dan mendatang, penduduk perkotaan dan penduduk di daerah yang terkena dampak dekat reaktor serta manajemen dan pekerja yang dimasukkan ke dalam risiko kesehatan. Hal-hal tersebut menimbulkan masalah keadilan antar-generasi yang merupakan kriteria penting untuk keberlanjutan. Konsep keberlanjutan mensyaratkan bahwa masyarakat menjadi lebih menyatu, tak tersekat-sekat dan stabil.
Referensi:
Asmara, Feri Adhi, 2010, Analisis Persepsi dan Tingkat Penerimaan Masyarakat Sekitar Muria Terhadap Kebijakan Pembangunan PLTN di Jepara dengan Metode PLS (Partial Least Square), Skripsi Program Studi Statistika, Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Diponegoro, Semarang.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2005, Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025.
Friedman, Thomas. L, 2009, Hot, Flat, and Crowded, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hadi, Sudharto. P, 2001, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hadi, Sudharto. P, 27 Februari 2007, Mengapa Masyarakat Menolak PLTN?, Suara Merdeka, Semarang.
Hadi, Sudharto. P, 27 April 2008, Amunisi Penentang PLTN, Suara Merdeka, Semarang.
Hadi, Sudharto. P, 6 Januari 2009, Nasib Lingkungan di Tahun 2009, Suara Merdeka, Semarang.
Hadi, Sudharto. P, 2009, Manusia & Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Kurniawan, Iwan, 2 Maret 2007, Para Ahli Tolak PLTN, Radar Kudus, Kudus.
Mudzakir, Abdul Kohar, 12 Desember 2009, Pembangunan PLTN Muria, Demi Listrik atau Gengsi?, Harian Joglo Semar, Semarang.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Rahman, Mudjib, 13 September 2007, Energi Murah Dilabel Haram, GATRA, Jakarta.
Sastrawijaya, A. Tresna, 2009, Pencemaran Lingkungan, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Syaifullah, Muhammad & Jamil, M. Mukhsin, 2008, Conflict of Nuclear Power Plan in Jepara, Walisongo Mediation Centre (WMC) IAIN Walisongo, Semarang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
Utami, Sukowati, 26 Februari 2006, Begawan Nuklir Indonesia, Majalah Forum, Jakarta.
Zaini, Akhmad, 5 September 2007, Memahami Fatwa Haram PLTN Muria, Indo Pos, Jakarta.

Senin, 13 Desember 2010

Hot, Flat, and Crowded

Bumi menjadi panas (Hot) karena kemajuan teknologi telah mempercepat laju peningkatan emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfer yang menghambat pelepasan hawa panas dari bumi ke ruang angkasa.

Bumi menjadi Rata (Flat) karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi memungkinkan siapa pun, di mana pun, dapat saling berhubungan dan saling bersaing dalam segala hal dengan mudah sehingga seolah-olah bumi seperti berada di atas pinggan yang datar.

Bumi menjadi Penuh Sesak (Crowded) karena penduduk yang makin banyak, akibat keberhasilan upaya menekan angka kematian, dan industrialisasi, bertumpuk di kawasan perkotaan dan sekitarnya tanpa upaya yang seimbang dalam pembenahan sarana dan prasarana.

Tiga paragraf diatas menggambarkan keadaan bumi kita pada saat ini, kita sedang memasuki "Zaman Energi-Iklim" (Energy-Climate Era).Sesungguhnya konvergensi pemanasan bumi, perataan bumi dan penuh sesaknya bumi merupakan masalah paling penting dalam dunia yang kita tinggali dewasa ini. Istilah sederhananya untuk konvergensi ini adalah Hot, Flat, dan Crowded serta istilah untuk babak sejarah yang dilahirkan oleh konvergensi ini adalah Zaman Energi-Iklim.
Lima masalah pokok yang secara dramatis diperparah oleh dunia yang panas, rata dan penuh sesak adalah : meningkatnya permintaan atas pasokan energi dan sumber daya alam yang makin langka; perpindahan besar-besaran kekayaan ke negara-negara kaya minyak dan petrodiktator mereka; terganggunya perubahan iklim; kemiskinan energi, yang dengan tajam membagi dunia ke dalam kelompok yang memiliki listrik dan tidak memiliki listrik; serta percepatan luar biasa penurunan keragaman hayati, sewaktu tumbuhan dan hewan punah dengan laju yang memecahkan rekor.Masalah-masalah tersebut serta bagaimana mengelolanya akan mendefinisikan Zaman Energi-Iklim. Karena masalah tersebut bukan masalah biasa, jika tidak dikelola dengan baik dan tepat, dapat menimbulkan gangguan-gangguan yang serentak, tidak linear, tak terbalikkan, yang mungkin mempengaruhi beberapa generasi mendatang sekaligus.
Marilah kita mulai dengan memeriksa motor penggerak zaman baru ini-konvergensi panas, rata, dan penuh sesak-diawali dengan penuh sesak (crowded).
Pada tahun 2008, tercatat jumlah penduduk bumi adalah sebesar 6,7 milyar. Pada pertengahan abad mendatang, 2050, taksiran terbaik untuk populasi dunia adalah lebih dari 9 miliar. Itu sama dengan kenaikan 40 hingga 45%, tetapi sebagian besar pertumbuhan itu hampir pasti terjadi di negara-negara yang paling tidak mampu menanggungnya, dan itu akan menciptakan sebuah situasi yang mungkin memicu instabilitas dan ekstremisme-tidak hanya dikawasan itu, tetapi sampai keluar. Banyak negara miskin, rapuh, dengan pemerintahan yang sulit berjalan baik, dengan penduduk yang akan berkembang cepat seperti Afganistan, Liberia, Nigeria dan Republik Rakyat Kongo. Selanjutnya, sebagai akibat ledakan populasi tadi, sebagian besar akan terdiri atas orang muda. Apabila kebebasan dasar dan kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi, mereka dapat dengan mudah tertarik untuk melibatkan diri dalam kejahatan, kerusuhan sosial, dan ekstremisme.
Bagaimana dengan rata (Flat)?
Yang dimaksud rata adalah sebuah perpaduan antara peristiwa-peristiwa teknologi, pasar, dan geopilitik pada akhir abad kedua puluh telah meratakan lapangan bermain ekonomi dunia sedemikian sehingga memungkinkan lebih banyak orang daripada sebelumnya untuk ambil bagian dalam ekonomi global, dalam kasus yang terbaik, bisa masuk ke kelas menengah. Perataan ini merupakan produk beberapa faktor yaitu penemuan dan penyebarluasan komputer pribadi.Begitu karya seseorang telah berwujud digital, ia dapat dibentuk dalam lebih banyak cara dan didistribusikan ke lebih banyak tempat. Faktor kedua adalah kelahiran Internet, World Wide Web dan Web Browser, seperangkat alat yang memungkinkan tiap orang mengirimkan data digital masing-masing ke mana pun di dunia secara gratis dan dengan mudah menampilkan atau mengakses content tersebut melalui halaman-halaman Web. Faktor ketiga adalah revolusi diam-diam dalam bidang piranti lunak atau protokol transmisi, the work flow revolution (revolusi aliran kerja) karena membuat komputer dan piranti lunak setiap orang dapat diopearsikan secara bergantian. Faktor perata besar dalam bidang geopolitik adalah keruntuhan Komunisme dan Tembok Berlin. Kegagalan Uni Soviet dan tirai besinya tak ubahnya seperti hilangnya sebuah penghalang jalan fisik dan politik yang besar di arena bermain ekonomi dunia. Akibat keruntuhan tersebut, ekonomi pasar menjadi norma dalam hampir setiap negara didunia, sehingga bahkan negara seperti Kuba dan Korea Utara mulai ambil bagian dalam kapitalisme.
Gabungan antara semua faktor diatas maka akan diperoleh sebuah pasar dunia yang betul-betul tanpa hambatan. Di arena dunia yang serba terbuka ini, jutaan konsumen dan produsen batu dapat membeli atau menjual barang-barang atau jasa mereka dan bisa berkolaborasi dengan lebih banyak orang di lebih banyak tempat untuk lebih banyak hal dengan jauh lebih mudah untuk biaya yang lebih sedikit daripada sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan dunia yang rata.
Terakhir adalah panas (hot), kesepakatan umum dikalangan pakar iklim adalah bumi telah menghangat sampai rata-rata 0,8 deraajat Celcius diatas temperatur tahun 1750, dengan kenaikan paling cepat terjadi sejak tahun 1970. Perubahan di benua dan ketinggian yang berbedaa telah jauh lebih besar daripada sekedar rata-rata ini. Pada tahun 2007, kadar CO2 di atmosfer adalah 384 ppm menurut volume dan tampaknya terus naik dengan laju 2 ppm per tahun. Kisah zaman Energi-Iklim tidak hanya berhenti dengan tuntasnya badai panas, rata dan penuh sesak. Konvergensi pemanasan global, perataan bumi, dan penuh sesaknya bumi mengantarkan kita kepada lima masalah besar yang telah disebutkan diatas.

Kamis, 11 November 2010

Kearifan Lokal Suku Samin di Kabupaten Pati – Jawa Tengah

PT Semen Gresik berencana berekspansi modal (sekitar 40% saham asing) ke Kabupaten Pati-Jawa Tengah sekitar pertengahan 2008. Pabrik besar akan didirikan tepatnya di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang merupakan kawasan pertanian. Tidak seperti warga lain yang biasanya menyukai bila tanah miliknya dibeli pemodal besar karena akan dihargai mahal, warga setempat anehnya menolak. Konon, penolakan warga ini dilatarbelakangi oleh sebuah pandangan hidup yang kita kenal dengan Ajaran Samin. Penolakan warga ini berbuntut panjang hingga sampai ke meja para wakil rakyat di Komisi VII DPR.
Untuk menjaring aspirasi warga dan mengetahui latar belakang penolakan tersebut Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf mengadakan dialog dengan Komunitas Samin atau dikenal sebagai para Sedulur Sikep dan perwakilan dari tujuh desa yang bakal terkena dampak langsung pembangunan pabrik semen. Desa-desa itu diantaranya Desa Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe Gunung. Singkatnya, pertemuan digelar di rumah sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno yang usianya sudah mencapai 100 tahun, di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, 27 km selatan pusat pemerintahan Kabupaten Pati, tanggal 7 September 2008 lalu. Hasil pertemuan itu adalah Sonny Keraf meminta kepada Menteri ESDM serta Menteri Negara Lingkungan Hidup menurunkan tim ke Sukolilo bersama-sama lembaga riset untuk mengetahui serta menyelami inspirasi warga setempat.
Kenapa warga menolak pembangunan pabrik semen? Ini berkaitan dengan keinginan warga Sedulur Sikep agar apa yang ada selama ini tidak berubah termasuk pola hidup sederhana yang sudah turun temurun termasuk keseimbangan ekologis yang sudah terjaga. Sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno, mengungkapkan alasan penolakan warga bahwa selama ini bidang pertanian merupakan sumber penghasilan dan kehidupan mereka. Akhirnya perjuangan mereka membuahkan hasil, pada tanggal 26 Juli 2009, Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo memutuskan membatalkan rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati.
Itulah gambaran singkat bagaimana warga Sedulur Sikep. Masih banyak keunikan lain apabila kita menyelami pola pikir dan pandangan hidup mereka. Dulu, jaman kolonial, para Sedulur Sikep dicap sebagai subversif oleh Pemerintah Kolonial karena menolak membayar pajak dan sistem pendidikan Belanda. Mereka mengembangkan siasat linguistik yang khas untuk melawan sehingga diolok-olok dengan julukan Wong Samin. Kini oleh para pemodal PT.Semen Gresik para Sedulur Sikep ini difitnah dan dicap sebagai provokator karena menolak pembangunan pabrik semen. Padahal para Sedulur Sikep Komunitas Samin ini adalah perintis siasat perlawanan active non violence orisinil yang khas Indonesia melawan penjajahan.
Bagi warga Sedulur Sikep apabila nanti Pabrik Semen Gresik jadi didirikan di wilayahnya, maka akan muncul dampak lingkungan yang mengancam kawasan Gunung Kendeng yang selama ini menjadi sumber ekologi (air, gua, hewan, tanaman) serta mengancam mata pencaharian bertani. Selain itu pegunungan kapur tersebut juga memiliki makna budaya dan sejarah bagi masyarakat sedulur sikep yang memiliki ekologi kultural nya sangat berelasi dengan lingkungan (gunung). Peran pegunungan secara kultural bagi masyarakat Sedulur Sikep dan masyarakat lokal lainnya di wilayah Sukolilo, Pati, memiliki ikatan kesadaran simbolis yang terdapat dalam situs-situs kebudayaan yang banyak terdapat di pegunungan Kendeng. Kesadaran masyarakat lokal di wilayah Sukolilo yang mengikat dengan pegunungan Kendengan diantaranya Watu Payung yang merupakan simbolisasi dari sejarah pewayangan Dewi Kunti, dimana beberapa situs narasi pewayangan tersebut terartikulasikan dalam beberapa relief alam yang terdapat di pegunungan Kendeng.
Di sekitar situs Watu Payung juga terdapat banyak narasi yang berhubungan dengan kisah pewayangan seperti kisah tentang cakar kuku bima, dan lain sebagainya. Kemudian di sekitar Watu Payung di pegunungan Kendeng juga terdapat Watu Kembar yang berisikan tentang kisah Hanoman yang sedang menaiki puncak gunung sambil bermain bintang dilangit, kemudian dewa marah lalu pindahkannya puncak gunung dan kemudian runtuhannya jatuh menjadi Watu Kembar. Selain kisah pewayangan juga terdapat situs yang memiliki kaitannya dengan Angling Dharma di sekitar lereng pegunungan Kendeng Sukolilo, kemudian ada Gua Jolotundo yang memiliki korelasi dengan kisah Laut Selatan Jawa. Kemudian ke arah Kayen juga terdapat makam Syeh Jangkung yang dianggap sebagai salah satu tokoh lokal dalam mitologi masyarakat lokal di wilayah Pati.
Beberapa situs yang ada di pegunungan Kendeng saat ini, masih diyakini oleh para penduduk sebagai bagian dari kesadaran simbolisnya, hal ini terlihat masih banyak peziarah atau para pengunjung yang datang sebagai bagian dari bentuk kesadaran kultural dan spiritualitas. Kekuatan simbolik situs-situs kebudayaan yang ada di wilayah pegunungan Kendeng memiliki ikatan kultural tidak hanya seputar Sukolilo Pati, hal ini terlihat banyaknya peziarah dan para pengunjung yang hadir di beberapa situs Watu Payung dan lain sebagianya berasal dari wilayah Demak, Jepara, dan sekitarnya.
Kesemua kisah mitologi lokal diatas sangat memiliki basis material pada wilayah pegunungan Kendeng di wilayah Sukolilo Pati. Sebagai proses antara yang natural dengan yang kultural, mitologi lokal ini memang berasal dari tradisi tutur (lisan) yang memiliki kekuatan identitas bagi banyak entitas masyarakat. Dalam prespektif ekologi sosial, mitologi lokal tersebut mereduksi alam menjadi bahasa masyarakat (kebudayaan) yang berbasis lokalitas. sehingga menjadikan lingkungan (pegunungan) bukan saja memiliki kekuatan ekologi pertanian (mata pencaharian), namun juga terdapat kekuatan budaya yang menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Sedulur Sikep dari bahasa Jawa berarti Sahabat Sikep adalah kelompok masyarakat yang berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Samin. Komunitas masyarakat yang disebut Sedulur Sikep ini terbanyak ditemukan di daerah daerah dan kota antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Samin Surosentiko adalah pencetus gerakan sosial ini. Dia lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang bernafaskan wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826. Samin wafat dalam pengasingan (ia diasingkan oleh Belanda) di kota Padang, Sumatera Barat pada tahun 1914.
Kyai Samin sejak dini gemar bertapa brata, prihatin, suka mengalah dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas banyaknya nasib rakyat yang sengsara akibat kebijakan Belanda melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarakat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata sami-sami amin yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika dia melakukan langkah yang berani untuk membiayai masyarakat miskin dengan caranya sendiri.
Bisa disimpulkan, gerakan sosial ini muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Informasi Singkat Pemberlakuan REACH di Eropa

Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang diiringi oleh makin majunya ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi maka mendorong peningkatan penggunaan bahan kimia di hampir semua aktivitas kehidupan, khususnya lini manufaktur. Penggunaan bahan kimia tersebut bertujuan untuk menghasilkan produk-produk kebutuhan manusia, mulai dari produk perawatan rumah tangga, perawatan kulit dan tubuh hingga produk-produk yang digunakan untuk keperluan manufaktur.
Berikut adalah gambaran pertumbuhan penggunaan bahan kimia berdasarkan informasi yang dijabarkan dalam Statistical Handbook, Chemicals Manufacturers Association, Inc., 10th Ed., 1999 dan http://en.wikipedia.org.

GTahun Nilai Produk Kimia
1970 US$ 171.3 milyar
1980 US$ 712.6 milyar
1990 US$ 1.232.1 milyar
2000 US$ 1.503.2 milyar
2008 US$ 3.000 milyar

Berdasarkan serangkaian penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa meningkatnya penggunaan bahan kimia berbanding lurus dengan tingkat bahaya yang dihasilkan baik bagi manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Dampak bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia bersifat irreversible.
Berdasarkan penelitian tersebut maka masyarakat Uni Eropa menerapkan kebijakan tentang penggunaan bahan kimia yang terkandung dalam setiap produk. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan tentang pengelolaan bahan kimia adalah REACH, yang merupakan kepanjangan dari Registration, Evaluation, Authorisation, and Restriction of Chemical Substances. Regulasi tersebut tertuang dalam keputusan parlemen Eropa EC 1907/2006 tentang REACH.
Berbeda dengan faktor hambatan teknis yang ditetapkan dalam TBT WTO (Technical Barrier to Trade–World Trade Organisation), REACH merupakan regulasi manajemen keselamatan bahan kimia yang berlaku bagi legal entity yang berasal dan berkedudukan di Uni Eropa. Tanggung jawab tersebut melibatkan para pemasok bagi para pelaku usaha tersebut, baik yang berasal dari Uni Eropa maupun yang berasal dari luar Uni Eropa.
PEMBERLAKUAN REACH
Sesuai dengan kepanjangannya, REACH terdiri atas 4 tahap utama sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Program Kerja REACH
REGISTRATION

Tahap Registration merupakan tahap dimana senyawa kimia yang terkandung dalam produk-produk yang akan dikirim ke pasar Uni Eropa diinformasikan ke agensi yang telah ditunjuk, yakni ECHA (European Chemical Agency). Agensi ini berkedudukan di Helsinki, Filandia dan memiliki kantor perwakilan di negara-negara Uni Eropa. Terkait dengan tahap Registration, tugas agensi adalah mengecek bahwa pelaku usaha telah mengisi dengan lengkap dokumen-dokumen teknis yang dipersyaratkan dan membayar sejumlah biaya yang telah ditetapkan.
Mengingat REACH merupakan aturan baru, maka pelaksanakan registrasi (Registration Phase) dibagi menjadi 2 tahap, yakni fase pre-registrasi (Pre-Registration) dan fase registrasi (Registration). Adapun keseluruhan dari tahapan registrasi dapat diterangkan sebagai berikut.
Tahap Registrasi dalam REACH
1. PRE-REGISTRATION
Fase Pre-registrasi merupakan fase awal dari pemberlakuan REACH. Fase ini dimulai sejak 1 Juni 2008 dan berakhir pada tanggal 30 November 2008.
Selama fase Pre-Registrasi, para pelaku usaha dapat menginformasikan bahan-bahan kimia yang digunakan dan terkandung di dalam produknya sebelum memasuki pasar Uni Eropa. Bagi industri dalam negeri, informasi tentang bahan kimia yang digunakan tersebut dapat dilakukan dengan cara menghubungi rekanan atau importir yang berkedudukan di Uni Eropa atau dapat juga menghubungi legal entity yang dapat mewakili perusahaannya. Perwakilan tersebut dikenal dengan istilah Only Representative, OR.
Pada fase Pre-Registrasi tidak ada beban pembiayaan. Apabila pihak pelaku usaha, baik dari Uni Eropa (UE) maupun non-UE, telah menginformasikan bahan-bahan kimia yang digunakannya maka dapat langsung memasuki pasar UNi Eropa.
2. REGISTRATION
Pada prinsipnya, proses registrasi mewajibkan seluruh senyawa kimia yang diperdagangkan di pasar Uni Eropa didaftarkan terlebih dahulu dengan mengacu pada jumlah akumulasi transaksi minimal sebesar 1 ton per tahun untuk setiap substance yang terlibat. Setelah proses evaluasi dan otorisasi, barulah ditentukan senyawa mana saja yang perlu didaftarkan sehubungan dengan pelaksanaan program REACH.
Nilai transaksi minimal 1 ton per tahun tidak berlaku untuk senyawa atau bahan kimia yang dikatregorikan sebagai SVHC (substance of very high concern).
Senyawa yang perlu diregistrasi adalah senyawa-senyawa kimia yang telah tercatat dalam EINECS (European Inventory for Existing Commercial Chemical Substances), yang selanjutnya dikenal dengan istilah Existing Substance atau Phase-in Substance. Sedangkan senyawa-senyawa yang berada di luar daftar EINECS, yang dikategorikan sebagai New Substances atau Non Phase-in Substances, harus dilakukan pengujian dan analisis toxicology dan non-toxicology oleh laboratorium yang memiliki sertifikasi GLP (Good Laboratory Practice) sebelum dilakukan registrasi dalam program REACH.
Pihak yang wajib melakukan registrasi dalam regulasi REACH adalah pihak industri manufaktur (manufacturer), importir, dan Only Representative (OR) yang berkedudukan di negara Uni Eropa.
Apabila melibatkan material kimia ataupun produk yang mengandung senyawa kimia, maka ketiga pihak tersebut wajib menyediakan data informasi manajemen keselamatan kimia dengan cara meminta pemasoknya (supplier) untuk menyediakan informasi tersebut.
Pihak pemasok non-UE dapat bekerja sama dengan rekanan mereka (importir) di wilayah Uni Eropa untuk meregistrasi senyawa kimia yang akan ditransaksikan. Selain itu, pihak pemasok tersebut dapat meregistrasi melalui badan independen yang berkedudukan di Eropa atau lebih dikenal dengan istilah OR (the Only Representative). Khusus tentang OR, lembaga perwakilan tersebut berkewajiban membantu industri di luar komunitas Uni Eropa untuk melakukan berbagai kegiatan yang berkenaan dengan persyaratan registrasi senyawa kimia, khususnya terhadap senyawa-senyawa yang dikategorikan sebagai New Substances.
Berikut adalah rentang volume bahan kimia yang dikenal dengan istilah tonnage band dan menjadi dasar pembayaran pada fase Registrasi.

Rentang Tonnage Band
No Rentang Tonnage Band
1 1 – 10 ton per tahun
2 10 -100 ton per tahun
3 100 – 1.000 ton per tahun
4 Lebih dari 1.000 ton per tahun

Besarnya nilai yang harus dibayar oleh pelaku usaha terkait dengan bahan kimia yang digunakan harus disesuaikan dengan ketetapan pembiayaan yang telah diharmonisasikan dalam regulasi EC 340/2008 tentang Biaya dan Beban yang harus Dibayarkan ke European Chemical Agency (ECHA).

DOKUMEN DAN DISTRIBUSI INFORMASI
Pihak yang ditunjuk oleh pemasok-pemasok di luar komunitas Uni Eropa berkewajiban untuk membantu rekanannya di Uni Eropa untuk menyiapkan data-data yang diperlukan sehingga lengkap dan terpenuhi seluruh apek yang dipersyaratkan di dalam regulasi REACH. Selanjutnya informasi manejemen keselamatan tersebut dikirim ke ECHA (European Chemical Agency), yakni sebuah agensi resmi yang ditunjuk oleh masyarakat komunitas Eropa sebagai pusat aktivitas untuk melaksanakan dan menerapkan program REACH. Sesuai dengan fungsinya, badan tersebut tidak akan menerima informasi manejemen keselamatan apabila tidak lengkap.
Informasi manajemen keselamatan senyawa kimia harus dilaporkan setiap tahunnya. Hal tersebut mengacu kepada diwajibkannya informasi tentang rencana total ekportasi per tahun tentang pengiriman senyawa kimia dengan mengacu kepada standar rentang tonnage yang telah ditetapkan.
Perubahan atau pembaharuan mekanisme transaksi perdagangan produk yang mengandung bahan kimia untuk memasuki pasar Uni Eropa akan mempengaruhi rantai pasok secara keseluruhan dan berdampak pada beban dan pembiayaan yang nantinya dikeluarkan.

EVALUASI (EVALUATION)
Apabila seluruh data tentang informasi manajemen keselamatan senyawa kimia telah diterima, selanjutnya komisi-komisi yang berkompeten di ECHA akan melakukan evaluasi terhadap informasi tersebut.
Proses evaluasi terdiri atas 2 (dua) kelompok kerja yang berbeda, yakni:
1. Evaluasi Dokumen tentang Informasi Manajemen Keselamatan
 Kegiatan evaluasi ini melakukan pengecekan kualitatif terhadap dokumen-dokumen yang masuk dengan mengacu kepada regulasi yang telah ditetapkan
 Selain itu, kegiatan evaluasi ini juga melakukan pemeriksaan terhadap proposal pengujian yang bertujuan untuk mencegah pengujian yang tidak penting dengan melibatkan hewan (to prevent unnecessary animal testing). Apabila diperlukan pihak ECHA akan mengundang pihak ketiga untuk memperkenalkan informasi guna menghindari pengujian dengan menggunakan hewan-hewan vertebrata.

2. Evaluasi terhadap Senyawa
Evaluasi terhadap senyawa dilakukan oleh ECHA untuk mengklafikasikan kemungkinan-kemungkinan bahaya yang mempengaruhi kesehatan manusia dan lingkungan dengan meminta informasi mendalam dari industri dan masyarakat luas.
OTORISASI (AUTHORIZATION)
Otorisasi merupakan mekanisme yang dilaksanakan oleh ECHA untuk menentukan apakah senyawa-senyawa yang masuk ke dalam kategori SVHC (Substances of Very High Concern) dapat ditempatkan di pasar-pasar Uni Eropa. Selain itu juga kegiatan ini menetapkan persyaratan penggunaan senyawa-senyawa tersebut.
Senyawa-senyawa tersebut memiliki sifat beracun (hazardous properties) yang perlu mendapatkan perhatian khusus guna diatur secara terpusat melalui mekanisme yang memastikan bahwa resiko-resiko yang berkenaan dengan penggunaannya di lapangan telah dipahami, dipertimbangkan, dan diputuskan oleh komunitas Uni Eropa. Hal ini dipandang perlu mengingat seriusnya dampak senyawa-senyawa tersebut bagi manusia dan lingkungan.
ECHA akan mengumumkan daftar senyawa-senyawa yang memiliki kriteria tersebut di atas dan merefleksikannya ke dalam rencana kerja jangka panjang yang melibatkan masukkan dari pihak-pihak yang berkompeten.
PEMBATASAN (RESTRICTION)
Prosedur pembatasan (restriction) memungkinkan untuk meregulasi komunitas Uni Eropa secara luas yang berhubungan dengan kondisi manufaktur, penempatan senyawa kimia tertentu di pasar dimana diketahui terdapat resiko yang tidak dapat diterima dan berpengaruh terhadap lingkungan, ataupun berkenaan dengan aktivitas tertentu.
Setiap aktivitas yang menggunakan senyawa kimia tertentu tidak dibatasi sejauh regulasi yang ditetapkan oleh ECHA tidak mencantumkan batasan-batasan tentang penggunaan senyawa tersebut. Namun apabila ECHA telah menetapkan batasan-batasan penggunaannya, maka pemanfaatan senyawa tersebut harus tunduk pada regulasi yang telah ditetapkan tersebut.

SUBSTANCE OF VERY HIGH CONCERN (SVHC)
Substance of Very High Concern (SVHC) secara berangsur-angsur akan termasuk dalam Annex XIV Regulasi REACH. Ketika termasuk dalam Annex tersebut, mereka tidak dapat ditempatkan dalam pasar atau digunakan, kecuali perusahaan sudah digaransi dengan otorisasi.
SVHC terdiri atas:
 Karsinogenik, mutagenik, atau toksik terhadap reproduksi (CMR) yang diklasifikasikan dalam kategori 1 dan 2
 Persisten, Bioakumulatif, dan Toksik (PBT) atau sangat Persisten dan sangat Bioakumulatif (vPvB) sesuai dengan kriteria yang terdapat dalam Annex XIII dalam Regulasi REACH, dan/atau
 Substance yang diidentifikasi secara kasus per kasus melalui pendekatan ilmiah yang menyebabkan pengaruh yang serius terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup atau tingkat bahayanya ekivalen dengan jenis substance di atas, misalnya menggangu endokrin
Substance ini memiliki sifat bahaya yang menuntut perhatian tinggi. Hal ini penting untuk mengatur penggunaan substance tersebut karena pengaruh bahayanya sangat serius dan irreversible terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Tidak ada batasan tonnase yang harus dicapai untuk substance yang akan menjadi subjek otorisasi.
ECHA telah mengeluarkan daftar substance yang akan menjadi kandidat dalam proses otorisasi, yang kesemuanya merupakan substance dengan kategori SVHC. Kemungkinan daftar ini akan terus bertambah, oleh karena itu disarankan untuk terus memperbaharui daftar substance yang menjadi kandidat dalam proses otorisasi dengan secara teratur mengunjungi situs ECHA. Berikut ini merupakan daftar substance yang menjadi kandidat dalam proses otorisasi:

Daftar Substance yang Termasuk Dalam Kandidat Otorisasi
Substance name CAS Number Date of Inclusion Reason for Inclusion Decision Number
Triethyl arsenate 427-700-2 28 October 2008 Carcinogenic (article 57a) ED/67/2008
Anthracene 204-371-1 28 October 2008 PBT (article 57d) ED/67/2008
4,4'- Diaminodiphenylmethane (MDA) 202-974-4 28 October 2008 Carcinogenic (article 57a) ED/67/2008
Dibutyl phthalate (DBP) 201-557-4 28 October 2008 Toxic for reproduction (article 57c) ED/67/2008
Cobalt dichloride 231-589-4 28 October 2008 Carcinogenic (article 57a) ED/67/2008
Diarsenic pentaoxide 215-116-9 28 October 2008 Carcinogenic (article 57a) ED/67/2008
Diarsenic trioxide 251-481-4 28 October 2008 Carcinogenic (article 57a) ED/67/2008
Sodium dichromate 234-190-3 (7789-12-0 dan 10588-01-9) 28 October 2008 Carcinogenic, mutagenic and toxic to reproduction (articles 57a, 57b and 57c) ED/67/2008
5-tert-butyl-2,4,6-trinitro-m-xylene (musk xylene) 201-329-4 28 October 2008 vPvB (article 57e) ED/67/2008
Bis(2-ethylhexyl)phthalate
(DEHP) 204-211-0 28 October 2008 Toxic to reproduction (article 57c) ED/67/2008
Hexabromocyclododecane (HBCDD) and all major diastereoisomers identified:
Alpha-hexabromocyclododecane
Beta-hexabromocyclododecane
Gamma-hexabromocyclododecane 247-148-4 dan 221-695-9
134237-50-6

134237-51-7

134237-52-8 28 October 2008 PBT (article 57d) ED/67/2008
Alkanes, C10-13, chloro (Short Chain Chlorinated Paraffins) 287-476-5 28 October 2008 PBT and vPvB (article 57d - e) ED/67/2008
Bis(tributyltin)oxide (TBTO) 200-268-0 28 October 2008 PBT (article 57d) ED/67/2008
Lead hydrogen arsenate 232-064-2 28 October 2008 Carcinogenic and Toxic to reproduction (articles 57a and c) ED/67/2008
Benzyl butyl phthalate (BBP) 201-622-7 28 October 2008 Toxic to reproduction (article 57c) ED/67/2008

Kriteria untuk identifikasi substance dengan kategori SVHC terdapat dalam Annex XIII dari Regulasi REACH. Identifikasi SVHC dalam article bertujuan untuk menghitung jumlah SVHC yang terkandung dalam article. Hal ini Penting untuk melakukan identifikasi SVHC pada article karena pada tanggal 1 Juni 2011 merupakan awal dari dilakukannya notifikasi SVHC dalam article.
Jika terdapat substance dengan kategori SVHC maka pihak industri menyediakan:
 Chemical Safety Report meliputi resiko yang berhubungan dengan sifat bahaya substance tersebut yang menyebabkan substance tersebut menjadi subjek dalam sistem otorisasi
 Analisis yang memungkinkan alternatif penggantian substance dengan subtituen lain yang lebih aman, termasuk teknologi yang tepat, informasi mengenai riset dan pengembangan yang direncanakan ataupun sudah dalam tahap proses dalam mengembangkan beberapa alternatif penggantian substance yang tergolong SVHC tersebut. Selain analisis tersebut juga dibuatkan analisis sosial- ekonomi jika belum ada alternatif yang tepat untuk penggantian substance tersebut.
Selain itu, dalam Annex XV dari Regulasi REACH untuk substance dengan kategori SVHC dipersyaratkan adanya dossier. Adapun dossier tersebut terdiri atas 3 bagian, yaitu:
1. Dossier untuk harmonisasi klasifikasi dan penandaan untuk substance dengan kategori CMR, sensitisasi pernafasan, dan efek lainnya. Dossier ini terdiri atas tiga bagian utama, yaitu:
a) Proposal. Proposal harus mencakup identitas substance yang bersangkutan dan harmonisasi klasifikasi dan penandaan yang diajukan.
b) Justifikasi. Suatu perbandingan dari informasi yang tersedia dengan kriteria CMR, sensitisasi pernafasan dan efek lain yang dipelajari secara kasus per kasus dalam Directive 67/548/EEC sesuai dengan bagian-bagian yang relevan dari Annex I yang harus dilengkapi dan didokumentasikan dalam format yang sudah ditetapkan dalam B dari Chemical Safety Report.
c) Justifikasi untuk efek lainnya di tingkat komunitas. Justifikasi ini harus disediakan, hal ini terkait dengan adanya kebutuhan untuk tindakan yang ditunjukkan pada tingkat komunitas.
2. Dossier untuk Identifikasi suatu substance sebagai CMR, PBT, vPvB atau resikonya setara dengan Artikel 59 dari regulasi REACH. Bagian dossier ini terdiri atas 3 bagian utama, yaitu:
a) Proposal. Proposal harus mencakup identitas substance yang bersangkutan, dan ringkasan bahwa substance diidentifikasi sebagai CMR menurut artikel 57 (a), (b), atau (c), atau diidentifikasi sebagai PBT menurut artikel 57 (d), atau diidentifikasi sebagai vPvB menurut artikel 57 (f).
b) Justifikasi. Suatu perbandingan informasi yang tersedia dengan kriteria dalam Annex XIII untuk PBT sesuai dengan artikel 57 (d), dan vPvB menurut artikel 57 (e), atau assessment terhadap bahaya dan perbandingan dengan artikel 57 (f), sesuai dengan bagian yang relevan dari bagian 1 sampai 4 dari Annex I dari Regulasi REACH yang harus dilengkapi. Bagian ini harus didokumentasikan dalam format yang ditetapkan dalam bagian B dari Chemical Safety Report dalam Annex I.
c) Informasi Mengenai Paparan, Substance Alternatif, dan Resiko. Informasi penggunaan substance, informasi paparan, dan informasi substance alternatif serta teknologi yang digunakan harus disediakan.
3. Dossier untuk pembatasan. Bagian dossier ini terdiri atas 3 bagian utama, yaitu:
a) Proposal. Proposal harus mencakup identitas substance dan pembatasan yang diusulkan untuk manufaktur, penempatan di pasar, penggunaan, dan ringkasan justifikasi.
b) Informasi tentang Bahaya dan Resiko. Resiko yang akan dihadapi harus dijelaskan yang didasarkan pada assessment terhadap bahaya dan resiko yang sesuai dengan bagian-bagian yang relevan pada Annex I dan harus didokumentasikan dalam format yang ditetapkan pada Bagian B dari Chemical Safety Report.
c) Informasi tentang Alternatif. Pada bagian ini harus disediakan informasi alternatif substance dan teknik alternatif yang meliputi:
- Informasi tentang resiko bagi kesehatan manusia dan lingkungan terkait dengan manufaktur ataupun penggunaan dari alternatif substance.
- Ketersediaan alternative substance.
- Kelayakan teknis dan kelayakan ekonomis.
d) Justifikasi untuk pembatasan di tingkat komunitas. Justifikasi harus disediakan untuk:
- Tindakan yang diperlukan pada masyarakat luas,
- Pembatasan yang tepat oleh masyarakat luas akan dinilai dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
(i) Keefketifan: pembatasan harus ditargetkan untuk efek atau paparan yang dapat menimbulkan resiko dapat diidentifikasi, mampu mengurangi resiko tersebut ke ke tingkat yang dapat diterima dalam jangka waktu yang wajar.
(ii) Praktis: pembatasan harus dapat diimplementasikan, dapat dilaksanakan, dan dapat dikelola.
(iii) Dapat dipantau: Pembatasan harus dapat memantau hasil implementasi pembatasan yang diusulkan.
e) Penilaiaan Sosial-Ekonomi. Dampak Sosial-ekonomi dari pembatasan yang diusulkan dapat dianalisis dengan mengacu pada Annex XVI dari Regulasi REACH. Untuk tujuan ini, manfaat terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dari pembatasan yang diusulkan dapat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh produsen, importer, pengguna hilir, distributor, konsumen, dan masyarakat secara keseluruhan.

PENGARUH REACH TERHADAP INDUSTRI KIMIA HULU NASIONAL
REACH merupakan regulasi manajemen keselamatan bahan kimia terharmonisasi dan secara otomatis patuh (comply) terhadap regulasi keselamatan terharmonisasi lainnya yang berlaku di wilayah Uni Eropa. Tidak seperti aturan TBT WTO, REACH berlaku umum di wilayah Uni Eropa namun pelaksanaan dan sanksi yang akan diterapkan nantinya diserahkan ke tiap-tiap negara (country-to-country based) yang menerapkan regulasi REACH.
Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah Uni Eropa merupakan kelompok negara yang sangat memperhatikan konsumen pengguna produk-produk manufaktur di wilayahnya. Berdasarkan hal tersebut, meski REACH diberlakukan secara umum di wilayah Uni Eropa dan penerapan pelaksanaannya diserahkan ke masing-masing negara namun persyaratan teknis terhadap produk yang akan memasuki wilayah Uni Eropa pada akhirnya ditentukan oleh konsumen (voice of customer).
Contoh dari penerapan manajemen keselamatan REACH yang berfokus kepada suara konsumen (voice of customer) adalah dipersyaratkannya uji kandungan phthalate dalam produk boneka oleh sejumlah konsumen di Uni Eropa. Meski tidak berlaku di seluruh konsumen, namun pengujian kandungan phatalate akan menjadi beban tersendiri bagi pihak industri dalam negeri. Kondisi yang sama juga terjadi pada produsen furnitur berbasis rotan.
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh para produsen di wilayah Cirebon, persyaratan yang ditetapkan oleh konsumen furnitur rotan di Uni Eropa menyebabkan turunnya kinerja ekspor produk tersebut dari rata-rata sekitar 120 kontainer per bulan menjadi 30 kontainer per bulan.

PERUBAHAN LINI INDUSTRI
REACH menetapkan bahwa senyawa kimia yang terkandung di dalam produk yang berada di wilayah Uni Eropa harus dapat diketahui nilai dan mata rantai pasoknya. Hal tersebut terkait dengan adanya mekanisme pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh setiap pelaku usaha yang menjadikan Uni Eropa sebagai orientasi pasarnya.
Persyaratan tersebut pada akhirnya mendorong industri-indsutri nasional untuk lebih mempersiapkan diri jika menjadikan Uni Eropa sebagai target pasarnya baik untuk saat ini maupun di masa mendatang. Oleh karenanya, industri dalam negeri hendaknya melakukan serangkaian langkah sebagaimana diuraikan di bawah sebelum memasuki pasar Uni Eropa :
 Melakukan analisis mendalam tentang dampak pemberlakuan REACH bagi tujuan pasar dan orientasinya di masa kini dan masa mendatang, termasuk di dalamnya melakukan analisis mendalam tentang pasar dan etika bisnis yang terkait;
 Analisis terhadap investasi secara menyeluruh yang harus dikeluarkan sehubungan dengan pemenuhan aspek teknis dalam REACH dan persyaratan konsumen di negara tujuan;
 Memahami aliran rantai pasokan dari setiap bahan baku yang digunakan, mulai dari supplier hingga dokumen teknis yang diperlukan;
 Memahami persyaratan pembuatan dokumen teknis, khususnya bagi industri nasional yang menghasilkan produk-produk yang dikategorikan sebagai substance (senyawa kimia) ataupun preparation (mixture di dalam GHS), dimana dasar pembuatannya dapat dilihat pada sejumlah peraturan yang telah diterbitkan, antara lain :
- Peraturan Menteri Perdagangan No. 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya jo. Peraturan Menteri Perdagangan no. 4 tahun 2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya ;
- Peraturan Menteri Perindustrian no. 24 tahun 2006 tentang Pengawasan Produksi dan Penggunaan Bahan Berbahaya untuk Industri ; dan
- Peraturan Menteri Perindustrian no. 87/M-IND/PER/9/2009 tentang Sistem Harmonisasi Global Klasifikasi dan Label pada Bahan Kimia.
 Pemahaman secara menyeluruh tentang prinsip dasar Manajemen Keselamatan Bahan Kimia dan menerapkan di lini industrinya.
Pemahaman dan penerapan manajemen keselamatan yang merupakan dampak dari pemberlakuan REACH menuntut pemerintah untuk melakukan pembinaan lebih di lini industri. Sejumlah kesiapan yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut antara lain :
 Menyediakan alat pengawasan dan pemantauan tentang manajemen rantai pasok berskala nasional dengan melibatkan partisipasi aktif sektor yang dibinanya;
 Melakukan sosialisasi dan pembinaan secara konsisten tentang manajemen keselamatan kimia;
 Melakukan koordinasi dengan departemen teknis terkait lainnya mengingat luasnya cakupan sektor terkait dengan pemberlakuan REACH di Uni Eropa;
 Melakukan pembaharuan informasi secara aktif tentang pemberlakuan manajemen keselamatan kimia, baik yang berlaku di Uni Eropa maupun di negara-negara tujuan ekspor lainnya serta ketentuan yang dikeluarkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).

DAMPAK POSITIF REACH BAGI INDUSTRI NASIONAL
Pengamatan sepintas terhadap REACH bagi industri nasional tampaknya sangat memberatkan sektor industri dalam negeri. Persiapan dan pemahaman teknis yang mendalam tentang regulasi REACH dan persyaratan teknis, beban pembiayaan yang telah ditetapkan, dan keterkaitan dengan regulasi manajemen keselamatan bahan kimia lainnya menambah berat beban industri nasional di tengah-tengah krisis finansial global yang kini tengah melanda.
Pendalaman terhadap informasi yang diperoleh dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pemberlakuan REACH dapat memberikan dampak positif bagi industri nasional, khususnya sehubungan dengan peningkatan kinerja ekspor dan daya saing produk-produk nasional.
Berdasarkan informasi dari http://ec.europa.eu/consumers/safety/rapex/index_en.htm tentang produk berbahaya, diketahui bahwa sejumlah produk dari negara China, Malaysia, dan negara lainnya dikembalikan (re-ekspor) karena tidak memenuhi persyaratan teknis baik yang ditetapkan dalam regulasi REACH maupun regulasi manajemen keselamatan lainnya. Kondisi memberikan gambaran bahwa pada saat ini terjadi kekosongan pasar di Uni Eropa akibat pemberlakuan sejumlah regulasi, termasuk REACH di dalamnya.
Sedangkan untuk meraih posisi kosong tersebut, industri-industri nasional harus memenuhi persyaratan dan ketetapan yang diatur dalam regulasi REACH.
Berdasarkan uraian di atas, pemberlakuan REACH terhadap produk-produk yang mengandung bahan kimia di wilayah Uni Eropa dapat mempengaruhi kinerja dan daya saing produk-produk nasional di pasar domestik dan internasional. Meski sepintas tampak menambah beban industri, pemenuhan persyaratan teknis yang ditetapkan dalam REACH dapat berpotensi untuk mengambil alih kekosongan pasar akibat re-ekspor sejumlah produk dari negara-negara tetangga.
Selain itu, pemberlakuan REACH di lini industri dalam negeri dapat meningkatkan kualitas hidup bangsa karena faktor K3LM diperhatikan dengan ketat oleh sektor industri nasional.
Oleh karenanya, pemberlakuan REACH hendaknya disikapi dengan bijak oleh pihak-pihak yang terkait, yakni pemerintah, sektor industri, dan masyarakat guna menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi nasional saat ini.
(Sumber : Adri Yudha Wibawa, ST-PT. Surveyor Indonesia)

Aku Jatuh Cinta Pada Ilmu Kimia

Ketika pertama kali belajar tentang ilmu kimia, aku begitu terpesona dengan konsep atom Bohr. Pada tahun 1913 Niels Bohr mencoba menjelaskan model atom Bohr melalui konsep elektron yang mengikuti orbit mengelilingi inti atom yang mengandung proton dan neutron. Menurut Bohr, hanya terdapat orbit dalam jumlah tertentu, dan perbedaan antar orbit satu dengan yang lain adalah jarak orbit dari inti atom. Keberadaan elektron baik di orbit yang rendah maupun yang tinggi sepenuhnya tergantung oleh tingkatan energi elektron. Sehingga elektron di orbit yang rendah akan memiliki energi yang lebih kecil daripada elektron di orbit yang lebih tinggi.Menurutku, model atom Bohr merupakan salah satu pintu untuk menguak semua misteri kehidupan alam raya.
Sangat menakjubkan untuk lebih lanjut mengenal unsur, ikatan antar unsur, kalori, molaritas, elektrolisa dan masih banyak lainnya. Berjalannya waktu, rasa takjubku itu makin menjadi ingin mengenalnya lebih jauh. Dasar-dasar ilmu kimia tersebut kemudian berkolaborasi secara sinergis dengan ilmu fisika dan matematika, ditambah sentuhan ilmu biologi dan ilmu ekonomi terciptalah fenomena thermodinamika, kimia fisika, mikrobiologi, biokimia, heat transfer phenomena, anorganic chemicals, organic chemicals. Berderet-deret kemudian memberikan daya cipta reaktor, destilasi, kompresor, pompa, fermentor, filter, membran technology dirangkai melalui basis konsep proses sehingga menciptakan mesin industri yang disebut sebagai pabrik kimia.
Kemanfaatan ilmu kimia telah mendasari kehidupan umat manusia dalam menjalani kehidupannya dan memenuhi kebutuhannya. Tidak ada satupun benda dialam raya yang terlepas dari kaitan ilmu kimia. Bukan mencerminkan sebuah arogansi, namun ingin menyampaikan pesan alamiah tentang inti dari eksistensi keilmuan itu sendiri.
Namun pada perkembangannya, penerapan ilmu pengetahuan yang saling bersinergi ini mulai dimainkan dengan perpolitikan perdagangan internasional, biang pencemaran lingkungan dan lainnya. We'll see...

Senin, 18 Oktober 2010

Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH

Setelah Perang Dunia II, dominasi kapitalisme tidak lagi diwujudkan dalam penjajahan fisik, tetapi diwujudkan dalam penjajahan non fisik. Di bidang ekonomi, dibentuklah lembaga-lembaga ekonomi yang pada hakekatnya akan mengendalikan negara-negara yang baru merdeka. Lembaga-lembaga ekonomi yang dimaksud alah World Bank yang dibentuk pada tahun 1946, International Monetary Fund (IMF) yang dibentuk pada tahun 1947, General Agreement Tarrif and Trade (GATT) yang dibentuk pada tahun 1947.
Di bidang sosial, muali dilakukan rekayasa sosial melalui penyusunan teori-teori yang dapat menarik dan dapat diaplikasikan di negara-negara Dunia Ketiga, namun tetap dapat melanggengkan kapitalisme itu sendiri. Salah satu teori sosial yang kemudian diintroduksikan ke negara-negara berkembang dan yang baru merdeka adalah teori modernisasi atau teori pembangunan yang dikembangkan di Amerika Serikat sejak tahun 1948.
Diintroduksikannya teori modernisasi ke negara-negara Dunia Ketiga, karena menurut Negara Barat, negara Dunia Ketiga merupakan negara yang masih dalam proses modernisasi, khususnya dalam proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi itu diharapkan dapat berjalan menurut proses atau tahap-tahap tertentu, yang juga pernah dialami leh negara-negara maju.
Teori modernisasi mengidealkan suatu wahana untuk mencapai modernisasi melalui sistem kapitalisme, sehingga pembangunan harus didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konstruksi teori modernisasi, sebenarnya peran negara telah dikurangi seminimal mungkin karena sesuai dengan paham kapitalisme yang sangat meminimalkan peran negara dalam urusan-urusan ekonomi masyarakat dan mengedepankan peran swasta. Penerapan teori modernisasi dalam kebiajkan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara-negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan mutinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan.
Besarnya peran korporasi multinasional di era global sekarang merupakan implementasi konsep good governance ala negara-negara Barat sejak awal globalisasi pada tahun 1990-an. Dalam konsep ini kekuasaan negara dibuat lebih terbatas demi kepentingan pasar. Kekuasaan lebih besar dialihkan kepada korporasi multinasional untuk berpartisipasi dalam pasar bebas dunia. Maka korporasi multinasional semakin didesak oleh negaranya untuk menancapkan dominasinya di wilayah manapun.
Hasil penelitian Jed Greer dan Kenny Bruno (1999) yang dibukukan dalam The Reality Behind Corporate Environmentalisme, menyimpulkan bahwa sejak masa 1990-an korporasi-korporasi multinasional telah berhasil meraih pengaruh atas berbagai urusan internasional. Korporasi-korporasi multinasional yang semakin menguasai ekonomi dunia berusaha melestarikan dan memperluas pasar mereka dengan menampilkan diri seperti pelindung dan pelestari lingkungan dan pemimpin penghapusan kemiskinan.
Namum laporan Sekjen PBB pada Pembukaan Konferensi Dunia Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg pada tahun 2002 yang lalu menyatakan antara 1992-2002 terjadi kekosongan pelaksanaan Agenda 21. Kondisi lingkungan justru semakin buruk. Agenda 21 adalah dokumen yang berisi rencana-rencana aksi yang disepakati negara-negara didunia termasuk Indonesia dalam KTT Bumi 1992 untuk mengimplementasikan konsep Pembangunan Berkelanjutan di abad 21. Di sisi lain, Era 1992-2002 aalah era paham globalisasi sedang mendunia, dimana aktor non negara seperti korporasi multinasional semakin didayagunakan sebagai kepanjangan tangan negara-negara pemilik kapital. Laporan Sekjen PBB tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa dominannya peran korporasi multinasional dalam ekonomi dunia tidak paralel dengan membaiknya kondisi lingkungan. Maka benar bila dikatakan, globalisasi dengan segala implikasinya dapat merubah tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Quo Vadis Pembangunan Berkelanjutan Bagian 2

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH

Pandangan Amerika Serikat tentang penjabaran good governance yang dapat menjamin pelaksanaan konsep Pembangunan Berkelanjutan (yang mengarah ke arah Corporate Globalization) tersebut sangat berbeda dengan pandangan negara-negara Dunia Ketiga. Good governance yang dapat menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan menurut pandangan negara-negara Dunia Ketiga (yang dinyatakan dalam Pertemuan Komite Persiapan (PrepCom) IV KTT mengenai Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Bali Mei 2002, adalah pemerintahan yang mampu bertanggungjawab dan dipercaya (accountable), transparan, membuka partisiapsi yang luas bagi masyarakat dan menjalankan penegakan hukum secara efektif. Akan tetapi sesuai dengan pesan sebagaimana tertuang dalam Agenda 21, dibukanya partisipasi yang luas bagi masyarakat, tetap mengedepankan kemitraan, dan peduli terhadap masalah kemiskinan. Dalam artian ini, maka pemerintah memang harus membatasi campur tangannya kepada rakyat, tetapi bukan supaya kekuatan ekonomi dialihkan kepada swasta atau bahkan perusahaan multinasional.
Dari Pertemuan PrepCom IV KTT WSSD di Bali Mei 2002, terlihat bahwa WSSD yang diadakan kemudian tidak dapat diharapkan akan membawa dampak signifikan untuk dapat membawa dunia menuju arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Perbedaan pandangan tentang penjabaran konsep good governance untuk menjamin pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan tersebut diatas, jelas mempengaruhi hasil KTT WSSD yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan 26 Agustus- 4 September 2002. Konferensi yang diselenggarakan oleh PBB ini sebenarnya bertujuan untuk meninjau kembali pencapaian yang telah dilakukan negara-negara sejak KTT Bumi 1992. Dalam Konferensi WSSD tersebut ditinjau kembali apa partisipasi negara-negara atau sejauhmana negara-negara telah mengimplementasikan Agenda 21 sebagai hasil kesepakatan dalam KTT Bumi 1992. Laporan akhir yang dikeluarkan Heinrich Boll Foundation tentang World Summit 2002 Johannesburg antara lain menyatakan :
a. WSSD berakhir pada tanggal 4 September 2002. Beberapa pemerintah negara menilai Konferensi ini cukup berhasil, sementara hampir sebagian besar Civil Society Group sangat kecewa dengan hasil KTT ini khususnya menyangkut masalah kerangka waktu yang tidak tegas, serta pendanaan untuk mengimplementasikan Agenda 21.
b. Pemerintah negara-negara menambahkan sedikit target dari target yang telah disusun dalam KTT Rio 1992, namun tidak klarifikasi lebih tegas dan jelas tentang bagaimana mencapai dan pendanaan untuk mencapai target tersebut.
c. Dalam WSSD, negara-negara Dunia Ketiga (Kelompok G-77 ditambah China) meminta negara-negara maju untuk lebih memberi perhatian pada kaitan antara pembangunan dengan kemiskinan yang terjadi di Dunia Ketiga.
Dalam pandangan negara-negara Dunia Ketiga (Kelompok G-77 ditambah China) masalah pembangunan daan kemiskinan apabila tidak diatasi akan menghambat implementasi Pembangunan Berkelanjutan. Dalam pandangan negara-negara Dunia Ketiga untuk mengatasi masalah ini negara-negara maju harus memberikan bantuan untuk menjamin Pembangunan Berkelanjutan. Akan tetapi Amerika Serikat, Canada, Australia, Selandia Baru, Jepang dan beberapa negara anggota Uni Eropa lebih memfokuskan pada pengembangan pembangunan sebagai hasil pertumbuhan ekonomi mereka serta mementingkan pergerakan modal (the mobilisation of capital).
Dari laporan ini tampak bahwa konsep Pembangunan Berkelanjutan yang awalnya merupakan konsep yang bersifat universal (sehingga disepakati menjadi agenda bersama global) pada perkembangannya menjadi konsep yang implementasinya tidak mudah karena adanya perbedaan pandangan antara negara maju dengan negara Dunia Ketiga dalam menjabarkan konsep good governance untuk menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan, sementara konsep good governance yang dinyatakan oleh Amerika Serikat dalam WSSD (WSSD dijadikan kondisionalitas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga dalam WSSD tersebut).
Rendahnya komitmen pemerintah negara-negara maju (AS, Canada, Australia, New Zealand, Jepang dan beberapa anggota Uni Eropa) ditunjukkan dengan tidak tegasnya target serta batasan waktu yang jelas bagi pelaksanaan berbagai komitmen. Kuatnya agenda perdagangan bebas dan dominasi kapitalisme ditunjukkan dari sikap negara maju yang lebih memberi perhatian berdasarkan kepentingannya yaitu ekspansi pasar (pergerakan modal). Jelas untuk pergerakan modal ini peran korporasi internasional lebih dikedepankan. Berdasarkan hal ini, maka dalam batas tertentu WSSD 2002 tidak dapat diharapkan akan membawa dunia menuju arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan.

Quo Vadis Pembangunan Berkelanjutan Bagian 1

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH

Mansour Fakih, aktivis dari INSIST (Institute for Social Transformation, Yogyakarta) menyatakan bahwa lingkungan alam yang kemudian disebut sebagai "sumber daya alam" telah menjadi faktor penting dalam perkembangan kapitalisme, dari abad sembilan belas hingga sekarang. Dengan kata-kata yang lebih jelas dikatakannya, sesungguhnya persoalan lingkungan telah tumbuh seiring dengan perkembangan kapitalisme sejak abad kesembilan belas. Kapitalisme telah memotivasi masyarakat dan negara-negara Eropa Barat pada masa itu untuk melakukan ekspansi wilayah ke wilayah-wilayah seberang laut. Ekspansi ini dilakukan untuk menguasai sumber daya alam di wilayah tersebut, sehingga terjamin pasokan bahan baku untuk pengembangan industri. Akan tetapi kemudian disadari bahwa akibat pengembalian sumber daya alam itu, sumber daya alam menjadi sangat terbatas, padahal dalam kapitalisme kebutuhan untuk mencari keuntungan tidak akan terbatas. Lingkungan perlu dilestarikan karena hanya melalui pelestarian tersebut terjamin pula keajegan pasokan bahan baku industri sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung.
Konsep pembangunan berkelanjutan secara kronologi dirumuskan melalui proses yang panjang. Dimulai dari Konferensi Stockholm 1972 yang secara formal melibatkan banyak negara termasuk negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia, Sudan, Arab Saudi, Columbia, India, Zimbabwe, Brazilia, dan China. Keterlibatan secara intensif dari negara-negara tersebut tentu mewarnai konsep Pembangunan Berkelanjutan serta Action Plan yang disusun kemudian. Pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janiero, Brazil. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dibahas kembali oleh lebih dari 179 negara termasuk Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Sekali lagi secara formal, keterlibatan secara intensif dari negara-negara tersebut tentu mewarnai konsep Pembangunan Berkelanjutan serta Action Plan yang disusun kemudian.
Berdasarkan hal itu, benarlah bahwa konsep Pembangunan Berkelanjutan merupakan konsep yang universal sehingga menjadi agenda bersama meskipun action antar negara berbeda. Dengan demikian, benar bila dikatakan bahwa Sustainable Development bukan diterima secara taken for granted karena negara-negara Dunia Ketiga secara formal ikut andil dalam perundingan-perundingan guna penyusunan konsep Pembangunan Berkelanjutan. Dengan mendasarkan pada Agenda 21 menjabarkan bahwa Pembangunan Berkelanjutan menghendaki adanya perlindungan dan pemihakan bagi penduduk miskin, masyarakat lokal, demokrasi, transparansi dan perlindungan lingkungan hidup.
Akan tetapi, perkembangan kemudian, dalam Pertemuan Komite Persiapan (PrepCom) IV KTT mengenai Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) di Bali Mei 2002, terdapat perbedaan pandangan antara negara Barat dengan Dunia Ketiga tentang bagaimana konsep Pembangunan Berkelanjutan itu harus diimplementasikan. Wakil Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Urusan Masalah Global menyatakan bahwa Amerika Serikat memiliki pandangan bahwa Pembangunan Berkelanjutan harus dimulai dari konsep menentukan nasib sendiri yang kemudian didukung dengan kebijakan dalam negeri yang efektif. Cara terbaik untuk melaksanakan kebijakan negara yang efektif adalah melalui pembinaan kemitraan antara swasta dengan publik di tingkat lokal, nasional dan level internasional.
Dalam pandangan Amerika Serikat, dengan cara ini Pembangunan Berkelanjutan diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi negara sedang berkembang dan negara maju. masih dalam pandangan Amerika Serikat dan juga Kanada, Australia dan Selandia Baru, basis utama konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah masyarakat yang dapat menentukan dirinya sendiri, yang disiapkan untuk berpartisipasi dalam perdagangan bebas multilateral dan itu semua mensyaratkan adanya good governance (kepemerintahan yang baik). Good governance menurut Amerika Serikat, adalah pemerintahan yang memiliki institusi-institusi demokratis serta sistem hukum yang independen termasuk didalamnya partisipasi semua anggota masyarakat. Good governance dalam konsep Amerika Serikat adalah kekuasaan pemerintah yang lebih terbatas demi pasar. Kekuasaan yang lebih besar harus dialihkan kepada korporasi-korporasi multinasional (multinational corporations/MNC).
Pandangan Amerika Serikat yang didukung beberapa negara maju tersebut menunjukkan bahwa good governance yang dapat menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah kekuasaan pemerintah yang lebih terbatas demi kepentingan pasar, dan kekuasaan yang lebih besar harus diserahkan kepada swasta (dalam hal ini korporasi nasional maupun multinasional). Konsep inilah yang kemudian dinyatakan oleh Amerika Serikat dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg pada bulan September 2002 dan dijadikan kondisionalitas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga dalam WSSD.

Rabu, 13 Oktober 2010

Kegagalan Teori Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan Di Dunia Ketiga 3

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH

Akan tetapi didalam perkembangannya, sedikit sekali resolusi-resolusi hasil kesepakatan dalam Konferensi Stockholm yang dapat diimplementasikan. Di sisi lain, kebutuhan pembangunan dan ekonomi terus melaju untuk memenuhi kebutuhan manusia yang kian meningkat dan tidak mengenal batas, seiring dengan bertambahnya jumlah manusia di dunia. Konvergensi antara meningkatnya kebutuhan pembangunan dan ekonomi dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia mengakibatkan penggunaan sumber daya alam makin meningkat. Seiring dengan itu, maka ragam atau jenis kerusakan lingkungan sesudah adanya Konferensi Stockholm 1972 semakin banyak dan tidak dapat lagi diatasi dengan menggunakan instrumen hukum internasional yang diberlakukan untuk kasus-kasus kerusakan lingkungan yang "baru" tersebut.
Kerusakan-kerusakan lingkungan "baru" antara lain :
(a) Pelubangan lapisan ozon; (b) Pemanasan global; (c) Berkurangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan yang "baru" ini sifatnya global dan penyebabnya pun bersifat global, maka penanganannya akan efektif kalau dilakukan secara global, maka penanganannya akan efektif kalau dilakukan secara global pula. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan konsep-konsep pengelolaan lingkungan yang dapat digunakan untuk mengurangi kerusakan lingkungan sekaligus menjamin keberlangsungan pembangunan. Untuk keperluan penyusunan konsep itu, PBB membentuk World Commission on Environment and Development (WCED) untuk melakukan penelitian dan pengkajian tentang penyelarasan perlindungan lingkungan dan pembangunan. hasil penelitian dan pengkajian WCED (Only One Earth) itu selanjutnya disusun dalam sebuah laporan yang berjudul Our Common Future pada tahun 1987. Didalam Our Common Future ini dimunculkan konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Di dalam laporannya ini, WCED mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai : "Pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi kemapuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka".
Sesuai dengan definisinya maka oleh Experts Group dari WCED dikatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan bersifat jangka panjang antar generasi.

Kegagalan Teori Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan di Dunia Ketiga 2

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX.Adji Samekto, SH, MH

Berbagai kerusakan lingkungan bersifat lintas batas negara kemudian muncul di dunia seperti perusakan lapisan ozon, terjadinya pemanasan global, berkurangnya keragaman hayati, terjadinya hujan asam, dan juga kerusakan-kerusakan lingkungan yang bersifat lokal. Terjadinya kerusakan lingkungan di negara-negara Dunia Ketiga merupakan ancaman bagi negara kapitalis karena berarti terancamnya pasokan bahan baku atau bahan mentah, yang sebenarnya harus dijaga kenerlanjutannya. Edith Brown Weiss, menyatakan bahwa secara garis besar ada tiga tindakan generasi dulu dan sekarang yang sangat merugikan generasi mendatang di bidang lingkungan yaitu:
Pertama, konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya berkualitas, membuat generasi mendatang harus membayar lebih mahal untuk dapat mengonsumsi sumber daya alam yang sama;
Kedua, pemakaian sumber daya alam yang saat ini belum diketahui manfaat terbaiknya secara berlebihan, sangat merugikan kepentingan generasi mendatang, karena mereka harus membayar inefisiensi dalam penggunaan sumber daya alam tersebut oleh generasi dulu dan sekarang membuat generasi mendatang tidak memiliki keragaman sumber daya alam yang tinggi.
Untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam (yang akan menjamin keberlanjutan bahan baku) inilah World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 merumuskan konsep yang kemudian kita kenal dengan sebutan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development.Didalam laporannya yang berjudul Our Common Future, WCED mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai : "Pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya".
Sebenarnya ide tentang (konsep) Pembangunan Berkelanjutan bukan sesuatu yang muncul begitu saja pada tahun 1987. Konsep ini sesungguhnya secara implisit telah ada di masyarakat tradisional di berbagai bangsa sejak masa lalu. Untuk pertama kalinyaa negara-negara didunia merumuskan pengertian Pembangunan Berkelanjutan didalam 1972 Stockholm UN Conference on Human Environment, yang kemudia dituangkan dalam Prinsip II Deklarasi Stockholm sebagai berikut:
"The natural resources of the earth, including the air, water, land, flora and fauna and especially representative samples of natural ecosystem, must be safeguarded for the benefit of present and future generations through careful planning or management, as appropriate".
Jadi, prinsip II Deklarasi Stockholm menyatakan bahwa sumber daya alam harus diselamatkan demi keuntungan (kesejahteraan) generasi kini dan mendatang melalui perencanaan atau pengelolaan yang secermat mungkin. Daud Silalahi menyatakan, pentingnya Deklarasi Stockholm 1972 bagi negara-negara yang terlibat dalam Konferensi dapat dilihat dari penilaian negara-negara peserta yang menyatakan bahwa Deklarasi Stockholm merupakan a first step in developing international environmental law. Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm 1972, PBB membentuk World Concervation Union yang bertugas menyusun Rencana Aksi (Action Plan) Lingkungan Hidup Manusia. Rencana Aksi tersebut disusun berdasarkan pengelompokkan semua rekomendasi dan tindakan-tindakan yang dapat diterima oleh Konferensi, selanjutnya diadakan identifikasi program yang bersifat lintas batas guna kepentingan perlindungan lingkungan. Untuk melaksanakan program itu, PBB membentuk United Nations Environmental Development (UNED) berkedudukan di Nairobi, Kenya.

Senin, 11 Oktober 2010

Antara Pembangunan Berkelanjutan dengan Keberlanjutan Ekologi

Sejarah lahirnya prinsip pembangunan berkelanjutan ditandai dengan terbentuknya World Commmission on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan) pada tahun 1984, yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, selanjutnyaa komisi ini lazim pula disebut dengan Komisi Brundtland. Komisi ini bertugas untuk menganalisis dan member saran bagi proses pembangunan berkelanjutan, yang laporannya terangkum dalam buku Our Common Future, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Hari Depan Kita Bersama”. Komisi ini terdiri dari 9 orang mewakili negara maju dan 14 orang mewakili negara berkembang. Salah satu anggotanya adalah Emil Salim dari Indonesia, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992, PBB melakukan konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil atau yang lebih popular dengan Konferensi Tingki Tinggi Bumi di Rio (KTT Rio). Salah satu isu yang sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio adalah prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Pengertian dari Sustainable Development menurut Komisi Brundtland adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya, dalam bahasa Inggris terumuskan berupa : if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Istilah pembangunan berkelanjutan kini telah menjadi konsep yang bersifat subtle infiltration, mulai dari perjanjian-perjanjian internasional, dalam implementasi nasional dan peraturan perundang-undangan.
Setelah lebih dari sepuluh tahun lalu, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan global, banyak ahli lingkungan hidup mulai menyadari bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kegagalan disisi para pejuang lingkungan hidup. Kesepakatan politik yang dicapai pada KTT Bumi tahun 1992 adalah sebuah kemunduran atau kegagalan dalam negosiasi dari pihak pembela lingkungan hidup. Dengan diterimanya paradigma tersebut, yang menang adalah para ekonom dan pembela ideologi developmentalisme. Semua delegasi berkumpul untuk mengakui adanya krisis lingkungan hidup, tetapi justru berakhir dengan mengenaskan sakralnya pembangunan.
Sebagai sebuah agenda politik, paradigma ini merupakan hasil kompromi politik dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Akan tetapi, didalam keberhasilannya sebagai sebuah kompromi, para pejuang lingkungan hidup tidak sadar bahwa denagn menerima paradigma tersebut kita semua kembali menegaskan bahwa yang utama adalah pembangunan ekonomi dengan sasaran utama pertumbuhan ekonomi.
Hasilnya, lebih dari sepuluh tahun berselang tetap saja pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang diutamakan, sedangkan aspek sosial-budaya dan lingkungan hidup ditinggalkan dan diabaikan begitu saja. Karena, watak developmentalisme tidak kita tinggalkan sama sekali, malah justru diafirmasi dengan paradigma pembangunan berkelanjutan itu. Dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dikonservasi dan yang diberlanjutkan adalah pembangunan itu sendiri dan bukan alam atau ekologi.
Ada beberapa kelemahan utama dari paradigma pembangunan berkelanjutan, yaitu :
a. Tidak ada sebuah titik kurun waktu yang jelas dan terukur yang menjadi sasaran pembangunan berkelanjutan, hanya berupa komitmen sehingga sulit untuk diukur kapan tercapainya;
b. Asumsi paradigma pembangunan berkelanjutan didasarkan pada cara pandang yang sangat antroposentris, cara pandang yang menganggap alam sekedar sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia. Sehingga yang dilestarikan bukan alam yang nasibnya justru menjadi keprihatinan dan agenda internasional, melainkan memperluas kepentingan manusia auntuk memperoleh kemakmuran;
c. Asumsi yang ada dibalik paradigma ini adalah manusia bisa menentukan daya dukung ekosistem lokal dan regional. Padahal alam mempunyai kekayaan dan kompleksitas yang rumit jauh melampui kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia;
d. Paradigma pembangunan berkelanjutan bertumpu pada ideologi materialisme yang tak diuji secara kritis tetapi diterima begitu saja sebagai benar. Konsekuensinya, semua aspek kehidupan yang lain ditempatkan dibawah imperative ekonomi. Dengan demikian, bisa ditebak bahwa aspek-aspek lain, termasuk sosial-budaya dan lingkungan hidup, dikorbankan demi imperative ekonomi.
Sebagai gantinya, seorang ekolog Arne Naess menawarkaan konsep keberlanjtan ekologi. Tolok ukur keberhasilan dan kemajuan masyarakat tidak algi berdasarkan kemajuan material. Yang menjadi tolok ukur adalah kualitas kehidupan yang dicapai dengan menjamin kehidupan ekologis, soisal budaya dan ekonomi secara proporsional. Gaya hidup yang dibangun tidak lagi gaya hidup yang didasarkan pada produksi dan konsumsi yang berlebihan naun “simple in means, but reach in ends,” bukan having more tapi being more.
Baik pembangunan berkelanjutan maupun keberlanjutan ekologi adalah dua alternative yang bisa dipilih untuk diterapkan oleh masing-masing negara, termasuk Indonesia. Kedua alternative itu mempunyai sasaran sama yaitu integrasi ketiga aspek, yaitu aspek pembangunan ekonomi, aspek pelestarian sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Bedanya, paradigma pembangunan berkelanjutan memusatkan perhatian secara proporsional kedua aspek lain, sementara paradigma berkelanjutan ekologi mengutamakan pelestarian ekologi dengan tetap menjamin kualitas kehidupan ekonomi dan sosial budaya bagi masyarakat setempat.
Dalam arti itu, sejauh ketiga aspek itu bisa diintegrasikan dengan baik, paradigma peembangunan berkelanjutan atau paradigma keberlanjutan ekologi harus konsekuen dilaksanakan sesuai dengan komitmen untuk menjamin ketiga aspek tersebut secara proporsional. Memang, untuk menghindari jebakan ideologi developmentalisme, paradigma keberlanjutan ekologi tentu lebih menarik. Sejauh paradigma ini bisa diterapkan secara konsekuen dan dengan kesabaran tinggi, hasilnya akan lebih berkelanjutan. Dalam paradigma keberlanjutan ekologi, kita melestarikan ekologi dan sosial budaya masyarakat demi menjamin kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan paradigma ini, rakyat sendiri yang mengembangkan kemampuan ekonominya sesuai dengan kondisi yang dihadapi, khususnya kondisi lingkungan dan sosial budaya. Dalam rangka itu, mereka akan lebih terdorong untuk menjaga lingkungan karena sadar bahwa kehidupan ekonomi sangat tergantung dari sejauhmana mereka menjaga lingkungan.
Referensi:
1. Our Common Future, Brundtland Commision
2. Etika Lingkungan, Sony Kerraf

Jumat, 08 Oktober 2010

Kegagalan Teori Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan Dunia Ketiga 1

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX.Adji Samekto, SH, MH

A. Kegagalan Teori Modernisasi Di Dunia Ketiga
Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya pelaung bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan. Pertanyaan yang harus dijawab mengapa hal itu bisa terjadi?
Untuk menjelaskannya maka diuraikan hal-hal sebagai berikut:
Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga,  termasuk Indonesia ternyata menunjukkan hal yang berlawanan. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat dalam pertumbuhannya di masa lalu, di negara-negara Dunia Ketiga justru menimbulkan dominasinya peran negara dan juga kerusakan lingkungan. Hal ini terjadi karena ada perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat (abad 18 dan 19) proses industrialisasi membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan yang besar dari negara. Sedangkan modernisasi di negara-negara Dunia Ketiga membutuhkan modal yang sangat besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.
Makin terlambat suatu negara melakukan proses industrialisasi, makin diperlukan campur tangan negara. Oleh karenanya mau tidak mau negara harus terlibat dalam proses pembangunan ekonomi. Keterlibatan negara dalam proses pembangunan ekonomi inilah yang kemudian mendorong negara untuk terjun langsung dalam proses-proses ekonomi, seperti melakukan akumulasi modal, emndirikan perusahaan-perusahaan negara, mendorong terciptanya dunia usaha serta campur tangan dalam regulasi di bidang industri dan perdagangan.
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa adanya kenyataan yang berlawanan antara negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat dengan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) dalam menerapkan teori modernisasi atau teori pembangunan tersebut. Jika modernisasi Eropa Barat dan Amerika Serikat yang banyak berperan adalah aktor-aktor non negara maka sebaliknya di negara-negara Dunia Ketiga modernisasi berasal dari peran negara yang sangat besar, bukan masyarakat. Bila modernisasi di Eropa berdampak pada demokratisasi politik, maka sebaliknya yang terjadi di Dunia Ketiga justru menciptakan pemerintahan yang dominan, yang akhirnya menempatkan pembangunan sebagai ideologi.
Dalam hubungan tersebut di atas, terjadilah kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dengan penguasa (negara) dan pengusaha, sehingga muncul "koalisi kepentingan". Untuk kepentingan-kepentingan kelanggenan koalisi inilah maka rakyat dan lingkungan hidup akan mudah dikorbankan. Penguasa negara berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi yang diperoleh karena kewenangannya, sedangkan kekuatan kapitalisme global (yang direpresentasikan oleh korporasi multinasional) berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang terus menerus diperbesar demi kepentingan akumulasi modal. Dalam kerangka ini maka pembuatan peraturan lingkungan ditingkat nasional tidak akan banyak melibatkan peran masyarakat. Padahal mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sesungguhnya tidak sekedar menyangkut prosedur, tetapi juga keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) yaitu masyarakat, LSM dan organisasi profesi.
Pada awal sampai akhir tahun 1990-an, di Indonesia telah disusun dana atau telah diratifikasi perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Perlindungan Keanekaragaman Hayati; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya dikatakannya, apabila dicermati dari substansi perundang-undangan tersebut, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :
a). Peran pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state based resource management);
b). Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (indigenous property rights) yang belum diakui secara utuh;
c). Partisipasi masyarakat (public participation) dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas;
d). Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.
Teori modernisasi di dalam implementasinya di Indonesia masih memberikan peran yang dominan bagi pemerintah (negara). Dominasi tersebut bisa memunculkan bias, sehingga peran masyarakat selaku stakeholder dalam masalah lingkungan menjadi tidak diakui. Terjadilanh kemudian kerusakan lingkungan di Indonesia yang umumnya juga di neagra-negara Dunia Ketiga, karena Dunia Ketiga telah dijadikan sebagai pemasok bahan baku/raw maaterial sebagai bagian dari rangkaian proses-proses perdagangan multilateral.
Hal ini sebenarnya merupakan tuntutan yang sesuai dengan ajaran kapitalisme bahwa ada tiga faktor utama dalam produksi yaitu sumber daya manusia, teknologi dan sumber daya alam. Oleh karena itu, sumber daya alam bisa dieksploitasi secara besar-besaran hanya untuk kepentingan maksimalisasi laba.