Minggu, 16 Januari 2011

Analisis Kebijakan Publik Konversi Minyak Tanah ke Liquid Petroleum Gas (LPG), Suatu Kebijakan Ceroboh yang Diambil Secara Utilitarianisme di Era Krisis Energi Global

Tahun 2007 hingga 2010 merupakan tahun dimana pemerintah gencar-gencarnya melakukan sosialisasi penggunanan gas Liquefied Petroleum Gas (LPG/elpiji) bagi konsumsi rumah tangga dan industri kecil sekaligus membagikan kompor gas beserta tabung gas elpiji yang berisi 3 kg secara gratis kepada masyarakat. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 (tiga) kilogram dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 21 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Penyediaan dan Pendistribusian LPG Tabung 3 Kg, menjadi dasar hukum kebijakan tersebut.
Program konversi minyak tanah ke LPG dipilih oleh Pemerintah sebagai solusi agar masyarakat dapat berhemat dalam pemakaian bahan bakar untuk sehari – hari. Hal ini disebabkan karena semakin melambungnya harga minyak di pasar dalam beberapa tahun terakhir. Harga komiditi tersebut diperkirakan akan terus naik di masa mendatang dan hal ini akan diiringi dengan berkurangnya suplai bahan bakar minyak. Dua tahun yang lalu misalnya, harga minyak dunia masih berkisar pada harga US $ 50 per barrel dan kini sudah mencapai US$ 70 per barrel. Padahal di Indonesia, bahan bakar minyak masih di subsidi (khususnya minyak tanah), maka dengan semakin mahalnya harga minyak di pasar dunia, subsidi yang dikucurkan Pemerintah pun akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena harga minyak tanah di Indonesia tidak bisa dinaikkan mengikuti harga pasar dunia. Padahal, sebagian minyak tanah yang dikonsumsi di dalam negeri masih diimpor dari negara lain.
Melihat keadaan tersebut maka LPG lantas dipilih karena produksi dan potensi kandungannya masih cukup besar di Indonesia. Untuk konsumsi domestik - sebatas sebagai bahan bakar rumah tangga, bukan termasuk sebagai bahan baku industri petrokimia - dipandang sudah lebih dari cukup sehingga sebagian masih bisa di ekspor dari segi ini, berdasarkan kesetaraan nilai kalori, subsidi LPG lebih rendah daripada minyak tanah. Pemerintah dapat menghemat subsidi hingga Rp. 15 – Rp. 20 trilyun jika program ini berhasil.
Dari segi biaya, menurut penelitian atas perhitungan keuntungan konsumen secara ekonomis yang dilakukan oleh PERTAMINA, pemakaian LPG juga jauh lebih hemat daripada minyak tanah dalam menghasilkan pembakaran. Dari hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa pengeluaran untuk membeli minyak tanah lebih besar jika dibandingkan dengan LPG (untuk tabung ukuran 3 kg). Biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli minyak tanah selama 1 bulan (30 hari) sebesar Rp. 75.000,00 sedangkan LPG dengan tabung 3 kg hanya Rp. 51.000,00, sehingga konsumen dapat menghemat biaya belanja rumah tangga dalam hal ini pengeluaran konsumsi bahan bakar sebesar Rp. 24.000,00. Disamping itu LPG sulit untuk dioplos dan disalahgunakan. Sedangkan dari segi kebersihan, LPG lebih bersih daripada minyak tanah karena pada saat pembakaran tidak menimbulkan jelaga, sehingga dapat mengurangi polusi udara. Dari paparan awal mengenai alasan Pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, nampak salah satu ciri etika pengambilan keputusan secara utilitarianisme yaitu keputusan dilakukan oleh para ahli yang dianggap memiliki kemampuan memberikan estimasi tentang dampak yang akan terjadi dan memiliki kemampuan menerapkan metodologi dengan baik.
Melihat kelebihan dan keuntungan dari penggunaan LPG tersebut maka pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang konversi minyak tanah ke LPG, sehingga pemerintah dapat menghemat APBN dan mengalokasikan anggaran dana APBN untuk hal lain. Tetapi dalam pelaksanaanya ternyata tidak semudah yang dikira di mana persoalan ini masih menemui banyak hambatan, yang diantaranya disebabkan karena masyarakat sudah terbiasa menggunakan minyak tanah, apalagi pemerintah terlalu mendadak dan tidak terencana secara komprehensif dalam memutuskan kebijakan publik tersebut.
Analisis berikut ini akan membahas pengambilan keputusan kebijakan publik yang dilakukan oleh Pemerintah mengenai konversi minyak tanah ke LPG dari sudut pandang etika pengambilan keputusan utilitarianisme.
1. Peran Penting Kebijakan Publik dalam Suatu Negara
Nugroho (2006) mengemukakan pendapat bahwa keunggulan setiap negara pada saat ini ditentukan oleh keunggulan kebijakan publiknya. Pendapat tersebut dilatarbelakangi kenyataan bahwa dalam konstelasi global, setiap negara bersaing untuk memenangkan kepentingan negaranya atas negara lain. Konflik perang hingga diplomasi menjadi bentuk nyatanya. Namun, diatas semuanya, wujud paling nyata dari persaingan tersebut adalah kebijakan-kebijakan publik dari negara-negara tersebut. Apakah dapat “didikte” atau “mandiri”- mandiri tidak berarti harus selalu berbeda, melainkan dapat mengadopsi dan mengadaptasi masukan dari negara lain sepanjang sesuai dengan kebutuhan nasionalnya. Ini adalah alasan utama yang pertama. Negara dengan kebijakan konyol juga akan bernasib konyol, dan menjadi bulan-bulanan dalam percaturan global, cepat atau lebih cepat lagi- karena hari ini, musibah sebagai akibat kebijakan publik yang buruk tidak pernah datang terlambat, selalu cepat.
Alasan utama yang kedua adalah karena hari ini, sejak globalisasi tidak dapat lagi diserahkan kepada “pasar”, kita tidak hanya memerlukan civil society yang kuat, tetapi juga negara yang kuat. Negara yang kuat tidak dicerminkan dari ketundukan rakyat kepada pemerintahnya, apalagi tunduk dengan ketakutan. Tetapi negara yang kuat dicerminkan oleh dari mampu-tidaknya negara membangun kebijakan publik yang excellent; yang menjadikan seluruh bagian negara menjadi unggul didalam persaingan global, sekaligus berlepas dari vandalisme global, mulai dari terorisme hingga AIDS.
Kebijakan publik merupakan jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Jika cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan) dan UUD 1945 (Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum dan tidak semata-mata kekuasaan), kebijakan publik adalah seluruh prasarana (jalan, jembatan, dan sebagainya) dan sarana (mobil, bahan bakar, dan sebagainya) untuk mencapai “tempat tujuan” tersebut.
Dari sini kita bisa meletakkan peran atau fungsi “kebijakan publik” sebagai “manajemen pencapaian tujuan nasional”. Dapat dirumuskan bahwa:
a. Kebijakan publik mudah dipahami karena maknanya adalah “hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional”.
b. Kebijakan publik mudah diukur karena ukurannya jelas, yakni sejauhmana kemajuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh.
Namun bukan berarti kebijakan publik mudah dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah dikendalikan karena kebijakan publik menyangkut faktor politik. Dan kita mengetahui, bahwa politik adalah art of possibility atau seni membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
2. Etika Pengambilan Keputusan Secara Utilitarianisme
Pengambilan keputusan merupakan suatu proses dimana seseorang atau sekelompok orang menghimpun, menilai dan mengevaluasi informasi untuk memutuskan sesuatu. Sebagai individu, setiap hari kita terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan sendiri dan keluarga. Kerumitan suatu pengambilan keputusan sangat tergantung pada jumlah orang dan siapa saja yang terlibat, ruang lingkup pengambilan keputusan, konsekuensi dari suatu pengambilan keputusan. Keputusan individu yang disebutkan memiliki lingkup yang kecil dan implikasinya terbatas. Sedang keputusan yang menyangkut banyak orang memiliki jaringan keterkaitan dan implikasi yang luas.
Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang dalam suatu organisasi akan rumit karena beberapa alasan. Pertama, pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan beragam. Kedua, cakupannya sangat luas. Ketiga, konsekuensi suatu keputusan akan berdampak luas dan multi dimensi. Pengambilan keputusan merupakan bagian dari perencanaan. Bagaimana keputusan diambil, siapa yang terlibat sangat tergantung pada visi dan orientasi para perencana. Etika pengambilan keputusan utilitarinisme yang diuraikan dibawah ini sebenarnya merupakan cerminan mayoritas/pada umumnya tipe perencanaan yang dianut oleh para perencana pembangunan di Indonesia.
Kelebihan :
• Prinsip utilitarianisme mendasarkan pada pemikiran bahwa nilai yang harus unggul dalam suatu masyarakat adalah dengan menciptakan kebahagiaan maksimal pada jumlah manusia yang banyak; the greatest possible happiness for the greatest number.
• Dengan kata lain keputusan tentang suatu kebijaksanaan harus bisa membuahkan the greatest net benefit.

Kekurangan :
• Prinsip utilitarianisme tidak dilakukan secara demokratik dimana para stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan) memperoleh kesempatan untuk menyuarakan aspirasinya.
• Keputusan dilakukan oleh para ahli yang dianggap memiliki kemampuan memberikan estimasi tentang dampak yang akan terjadi dan memiliki kemampuan menerapkan metodologi dengan baik.
• Prinsip utilitarianisme tidak saja mengorbankan demokrasi tetapi juga mengabaikan keadilan, kemerdekaan, hak dan kesederajatan.
• Menurut Cernea (1991) masyarakat yang terkena dampak tidak akan bisa dieliminasi penderitaannya dengan kebahagiaan/kesejahteraan atau dampak positif lainnya yang diraup oleh sebagian besar kelompok masyarakat lain.
• Dalam konteks etika pengambilan keputusan, prinsip utilitarianisme (prinsip yang mengutamakan the greatest possible happiness for the greatest number) menghilangkan rasa keadilan.
• Mengabaikan hak minoritas.
3. Bahaya Kemiskinan Energi
Andaikan saja Pemerintah kita memahami dan berkomitmen dengan baik terkait urgensi sebuah ketahanan energi nasional, mungkin kebijakan konversi minyak tanah ke LPG tidak akan pernah dilakukan dalam waktu singkat. Secara global, energi (dimana LPG menjadi salah satu jenisnya) memiliki peran penting dalam suatu pembangunan yang berpusat pada pembangunan manusianya (people centered development). Friedman (2009) mengulas tentang kemiskinan energi dan bahaya besar yang ditimbulkan olehnya. Friedman mengkritisi kemiskinan energi yang terjadi di Afrika. Energi di Afrika sesungguhnya adalah yatim piatu yang paling tua. Akan tetapi orang akan bertanya-tanya bagaimana bisa melepaskan Afrika dari cengkeraman kemiskinan, HIV/AIDS, air minum tercemar, dan malaria tanpa energi yang memadai untuk menyalakan lampu-lampu?
Menurut Bank Dunia, Negeri Belanda saat ini menghasilkan daya listrik per tahun sama banyak dengan seluruh Afrika sub-Sahara, kecuali Afrika Selatan: 20 gigawatt. Setiap sekitar dua minggu Cina menambahkan daya listrik sebesar 1 gigawatt, yang sama besar dengan penambahan daya listrik empat puluh tujuh negara Afrika sub-Sahara, kecuali Afrika Selatan, setiap tahun.
Akan tetapi kendati ada kesenjangan daya yang mengenaskan ini, masalah kemiskinan energi jarang diperbincangkan. Akses universal ke fasilitas listrik bahkan tidak termasuk salah satu diantara delapan sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) yang pernah ditetapkan PBB dan lembaga-lembaga pembangunan terkemuka dunia dalam tahun 2000. Sasaran-sasaran tersebut berkisar antara mengurangi kemiskinan ekstrem sampai separo hingga menyediakan pendidikan dasar universal, semuanya pada tahun 2015. Bagaimana kita bisa menghapus kemiskinan tanpa menghapus kemiskinan energi?
Setiap masalah didunia (baca: negara) berkembang juga mencakup masalah energi. Masalah pendidikan, selain kekurangan guru juga kekurangan energi. Masalah kesehatan di Afrika sub-Sahara, selain kekurangan dokter dan obat-obatan dalam lemari pendingin. Masalah pengangguran di pedesaan India, selain kekurangan keterampilan juga mencakup kekurangan investasi dan kekurangan energi yang diperlukan supaya pabrik-pabrik tetap berjalan. Kelemahan pertanian di Bangladesh, selain kekurangan benih, pupuk, dan bahan juga mencakup kekurangan energi untuk memompa air atau menjalankan peralatan. Kemiskinan energi menyebar ke setiap aspek eksistensi dan menyapu setiap harapan untuk keluar dari kemiskinan (ekonomi) dan memasuki abad kedua puluh satu.
4. Analisis Kebijakan Konversi Minyak Tanah ke LPG
Kebijakan konversi minyak tanah ke LPG dipandang sebagai salah satu contoh bentuk etika pengambilan keputusan utilitarianisme disebabkan oleh ada pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya penerapan kebijakan tersebut. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut dilakukan dengan tergesa-gesa hanya karena dipicu oleh kenaikan harga minyak bumi dunia. Program pengalihan pemakaian minyak tanah ke LPG yang selama ini dijalankan pemerintah dituding sebagai bentuk kebijakan pemerintah yang panik. Hal tersebut diungkapkan oleh Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dan anggota DPR dari F-PAN Tjatur Sapto Edi (Pos Kota, 31 Juli 2010).
Pemerintah dalam menganalisis persoalan terpaku pada perbandingan kenaikan harga minyak dunia dengan besarnya subsidi yang harus dikucurkan dalam penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Selanjutnya secara ceroboh dan tergesa-gesa memutuskan pengalihan ke LPG dengan pertimbangan-pertimbangan yang diarahkan agar nampak keuntungan secara nominal dari pengalihan tersebut.
Stakeholder terkait tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut. Sebagai contoh, pihak industri, industri petrokimia dan turunannya pasti tidak akan setuju dengan keputusan tersebut. Pernyataan bahwa LPG lantas dipilih karena produksi dan potensi kandungannya masih cukup besar di Indonesia sangat perlu untuk dipertanyakan. Ladang-ladang gas di Indonesia telah sejak lama dikuasai oleh modal asing dan terkontrak dalam waktu puluhan tahun untuk memenuhi kebutuhan gas nasional negara pemilik modal seperti Jepang dan Amerika. Industri petrokimia yang berbasis C-1 (rantai hidrokarbon jenis gas bumi) seperti pupuk menjerit karena kelangkaan bahan baku dan telah mengupayakan ekspansi industrinya ke negara-negara penghasil gas bumi di Timur Tengah, karena menurut data resmi Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa kebutuhan gas bumi telah mendudukkan Indonesia sebagai negara net importer (kekurangan pasokan didapatkan dari impor).
Sebagai contoh PT Pupuk Sriwidjaya terancam tutup karena kelangkaan pasokan gas bumi seiring dengan berakhirnya masa kontrak pasokan gas pada tahun 2012. LPG bagi industri petrokimia dunia merupakan barang yang sangat berharga karena memiliki value added dan multiplier effect yang sangat tinggi bagi kelangsungan industri hilirnya. Value added tersebut ditunjang oleh fakta bahwa gas bumi merupakan bahan bakar industri dan bahan baku industri petrokimia yang paling bersih dan efisien. Implikasi dari kasus tersebut adalah kelangkaan pupuk pertanian bagi pemenuhan pangan nasional serta terancamnya sebagian besar industri yang menggunakan gas bumi sebagai bahan bakarnya seperti industri baja, keramik, kaca lembaran, kimia dasar, kimia hulu, makanan dan minuman, tekstil, kertas dan lainnya. Selain itu, realita menunjukkan Indonesia masih kekurangan pasokan gas untuk menggerakan turbin pembangkit listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) sehingga harus mengimpor dari negara lain. Paparan tersebut membuktikan bahwa prinsip utilitarianisme tidak dilakukan secara demokratik dimana para stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan) memperoleh kesempatan untuk menyuarakan aspirasinya.
Kementerian ESDM menutup mata dan mengalihkan perhatian dari keruwetan ketahanan energi nasional, sangat ironis melihat kontradiksi kebijakan tersebut dengan realitas global dalam hal masalah energi pada saat ini yang merupakan prioritas utama dalam menunjang kelangsungan keterjaminan perikehidupan (perekonomian) mereka. Carut marut kebijakan energi nasional tidak pernah terpecahkan selama Pemerintah tidak mempunyai nyali untuk mereview kontrak-kontrak perusahaan asing yang melakukan eksplorasi gas dan minyak bumi sehingga jelas terpetakan potensi gas dan minyak bumi serta batubara nasional yang kita miliki dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dan keamanan nasional. Hal tersebut dilengkapi dengan implementasi kebijakan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang berjalan dengan setengah hati.
Kebijakan pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia memang terkesan setengah hati. Dua tahun lalu, saat harga minyak dunia melambung tinggi, pemerintah sempat mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Peraturan Menteri ESDM itu mengatur secara wajib/mandatori penggunaan BBN secara bertahap, yaitu mulai tahun 2008 sebesar 1%, dan seterusnya hingga 25% pada tahun 2025. Pelaku industri sempat berbondong-bondong masuk ke bisnis biofuel. Namun saat harga minyak kembali turun, kebijakan itu tak lagi efektif, dan para pengembang biofuel banyak yang gulung tikar.
Sebagaimana dikatakan Nugroho (2006) diatas, musibah sebagai akibat kebijakan publik yang buruk tidak pernah datang terlambat, selalu cepat. Hal tersebut dibuktikan dengan maraknya pemberitaan kecelakaan tabung gas LPG ditengah masyarakat yang menyebabkan kerugian material dan kematian. Hasil survei yang dilakukan Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Pertamina menyebutkan ledakan tabung gas LPG disebabkan oleh kerusakan tabung. BSN menemukan 66% kondisi tabung yang beredar tidak layak. Sedangkan PERTAMINA menyebutkan 46% dari sekitar 300 ledakan penyebabnya adalah rusaknya tabung elpiji 3 kg. Kelemahan tersebut diantisipasi secara lambat ditandai dengan upaya BSN melengkapi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang sudah ada di akhir tahun 2010, melalui penetapan 3 SNI baru yaitu SNI 7655:2010 tentang Rubber Seal; SNI ISO 10691:2010 tentang Prosedur Pengecekan Sebelum, Selama, dan Setelah Pengisian; dan SNI ISO 10464:2010 tentang Inspeksi dan Pengujian Berkala.
Selain itu, sebuah persoalan klasik berulang, bukan hanya kali ini saja rakyat kecil dikecewakan, tetapi hampir tiap program yang ditujukan bagi mereka seperti jaring pengaman sosial (JPS), bantuan langsung tunai (BLT), dan Askeskin selalu berakhir kelabu, tidak jarang semakin menimbulkan permasalahan baru di negeri ini. Tidak mulusnya program konversi, lebih karena transisi energi yang melibatkan banyak faktor ternyata oleh pemerintah dianggap mudah sekadar proses konversi bahan bakar yang dianggapnya dapat tuntas hanya dengan membagi-bagikan kompor serta tabung gas gratis kepada penduduk miskin.
Harusnya masyarakat miskin bisa meniti ke tangga energi yang lebih modern secara bertahap dan permanen. Program konversi energi harus simultan dengan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan daya beli masyarakat. Meski orang miskin mau membayar energi yang mereka konsumsi, kemampuan mereka amat terbatas, bersaing dengan kebutuhan primer lainnya yang tidak kalah penting. Sehingga harusnya subsidi atau jaring pengaman sosial tidak bisa serta-merta dihilangkan ketika mendorong transisi energi. Penataan kebijakan energi akan sukses manakala mempertimbangkan kompleksitas persoalan yang dihadapi kaum miskin.
Namun, yang sangat tidak tepat adalah kurun waktu program konversi minyak tersebut terlalu pendek, hanya 4 tahun dan membiarkan orang miskin hidup tanpa subsidi. Apalagi pembelian LPG tidak sama dengan membeli minyak tanah yang bisa dibeli per liter atau dicicil. Sedangkan pembelian LPG harus minimal 3 kg dan tidak bisa dicicil. Akibatnya masyarakat miskin yang tidak punya uang untuk membeli bahan bakar gas akan bertambah sulit kehidupannya. Fakta tersebut membuktikan bahwa dalam konteks etika pengambilan keputusan, prinsip utilitarianisme (prinsip yang mengutamakan the greatest possible happiness for the greatest number) menghilangkan rasa keadilan.
Kebijakan konversi energi dari minyak tanah ke gas yang menimbulkan banyak kontroversi tersebut, belakangan ini tidak lagi banyak diperbincangkan. Turunnya harga minyak mentah internasional karena krisis ekonomi global mengakibatkan isu kebijakannya seolah-olah menghilang begitu saja. Tetapi dari perspektif policy windows (jendela kebijakan), terlewatnya agenda kebijakan ini merupakan missing opportunity bagi upaya untuk mencari sumber energi alternatif bagi bangsa Indonesia yang jumlah penduduknya demikian besar. Indonesia jelas perlu energi alternatif yang lebih ramah lingkungan, murah, tetapi juga sekaligus efisien. Karena itu masalah energi mestinya tidak boleh terlewat begitu saja di tengah isu-isu politik yang panas seperti kasus Century atau mafia perpajakan dan peradilan di Indonesia.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Pengalaman di banyak negara, konversi energi memerlukan waktu yang sangat lama. Misalnya, di Amerika Serikat memerlukan waktu hampir 70 tahun sejak tahun 1850–1920. Sedangkan konversi energi di Brasil memerlukan waktu selama 44 tahun dari tahun 1960–2004 (UN Millenium Project, 2006). Hal tersebut seharusnya menjadi pengalaman berharga bagi Pemerintah yang berambisi mewujudkan konversi energi hanya dalam jangka waktu empat tahun. Selain itu, keberhasilan konversi ke gas elpiji di Brasil yang mencapai 98 persen pada 2004, salah satunya karena jaringan distribusi gas merata di seluruh pelosok negeri dengan harga subsidi yang sama di tiap wilayah.
Dalam mengambil sebuah keputusan publik, Pemerintah seharusnya turun dulu kebawah untuk mendengarkan suara rakyat. Apa saja yang dibutuhkan rakyat saat ini didengarkan dan diwujudkan. Rakyat tidak butuh tabung gas, namun rakyat hanya butuh kesejahteraan. Rakyat tidak butuh asumsi dan prakiraan, rakyat hanya butuh wujud konkret dan nyata yang memihak, kebijakan yang menyentuh segenap lapisan, manfaatnya terasa ke berbagai kalangan, inilah yang harus menjadi pedoman demi excellent feedback dari sebuah kebijakan.
Referensi :
Friedman, Thomas. L, 2009, Hot, Flat, and Crowded, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hadi, Sudharto. P, 2001, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Nugroho, Riant, 2006, Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang : Model-Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
Subarsono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wahab, Solichin Abdul, 2008, Analisis Kebijaksanaan: dari formulasi ke implementasi kebijaksanaan negara, PT Bumi Aksara, Jakarta.
____, 31 Juli 2010, Konversi Minyak Tanah ke Gas, Kebijakan Panik, Harian Pos Kota, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar