Bagaimana kita akan tahu kapan Afrika sebagai sebuah benua memiliki peluang untuk merangkak keluar dari kemiskinan? Banyak orang telah menggalang dana untuk meringankan beban utang negara-negara Afrika. Akan tetapi ada satu masalah di Afrika yang hampir tidak pernah tersorot, dan itu adalah Afrika sangat kekurangan cahaya. Jika melihat foto bumi pada malam hari dari satelit, akan terlihat titik-titik cahaya tampak berkelap kelip di banyak bagian di Eropa, Amerika, dan Asia, namun di sebagian besar Afrika yang ada adalah warna hitam legam.
Energi di Afrika sesungguhnya adalah yatim piatu yang paling tua. Akan tetapi orang akan bertanya-tanya bagaimana bisa melepaskan Afrika dari cengkeraman kemiskinan, HIV/AIDS, air minum tercemar, dan malaria tanpa energi yang memadai untuk menyalakan lampu-lampu?
Menurut Bank Dunia, Negeri Belanda saat ini menghasilkan daya listrik per tahun sama banyak dengan seluruh Afrika sub-Sahara, kecuali Afrika Selatan: 20 gigawatt. Setiap sekitar dua minggu Cina menambahkan daya listrik sebesar 1 gigawatt, yang sama besar dengan penambahan daya listrik empat puluh tujuh negara Afrika sub-Sahara, kecuali Afrika Selatan, setiap tahun.
Akan tetapi kendati ada kesenjangan daya yang mengenaskan ini, masalah kemiskinan energi jarang diperbincangkan. Akses universal ke fasilitas listrik bahkan tidak termasuk salah satu diantara delapan sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) yang pernah ditetapkan PBB dan lembaga-lembaga pembangunan terkemuka dunia dalam tahun 2000. Sasaran-sasaran tersebut berkisar antara mengurangi kemiskinan ekstrem sampai separo hingga menyediakan pendidikan dasar universal, semuanya pada tahun 2015. Bagaimana kita bisa menghapus kemiskinan tanpa menghapus kemiskinan energi?
Setiap masalah didunia (baca: negara) berkembang juga mencakup masalah energi. Masalah pendidikan, selain kekurangan guru juga kekurangan energi. Masalah kesehatan di Afrika sub-Sahara, selain kekurangan dokter dan obat-obatan dalam lemari pendingin. Masalah pengangguran di pedesaan India, selain kekurangan keterampilan juga mencakup kekurangan investasi dan kekurangan energi yang diperlukan supaya pabrik-pabrik tetap berjalan. Kelemahan pertanian di Bangladesh, selain kekurangan benih, pupuk, dan bahan juga mencakup kekurangan energi untuk memompa air atau menjalankan peralatan. Kemiskinan energi menyebar ke setiap aspek eksistensi dan menyapu setiap harapan untuk keluar dari kemiskinan (ekonomi) dan memasuki abad kedua puluh satu.
Sudah barang tentu, orang miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan sudah lama bertahan hidup dengan energi yang terbatas - kayu dan kotoran hewan untuk dibakar, hewan untuk membajak, air untuk berperahu. Dan selama seratus tahun atau lebih setelah menyebar di negara-negara industri, mereka masih menggunakan bentuk-bentuk energi tradisional, dan kalau mungkin ditambah dengan alat-alat menggunakan minyak tanah atau alat-alat bertenaga baterai atau bahkan mencantol listrik secara tidak sah dari jaringan listrik terdekat.
Akan tetapi menjadi kelompok miskin energi sekarang tidak seperti dimasa lampau - tidak di bumi yang panas, rata, dan penuh sesak. Rasanya seperti hukuman yang jauh lebih berat dan memicu kerawanan. Ketika bumi makin panas dan kita tidak mempunyai akses ke sumber daya listrik, kemampuan kita untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim berada di batas yang membahayakan.
Ketika bumi menjadi rata dan kita tidak mempunyai akses ke sumber daya listrik, kita tidak bisa menggunakan komputer, ponsel, atau internet - semua alat yang sekarang menjadi utama dalam perniagaan, pendidikan, kerja sama, dan inovasi yang mendunia. Ketika bumi menjadi penuh sesak dan kita tidak mempunyai akses ke sumber daya listrik, kemampuan kita untuk maju di desa menjadi terbatas dan kita lebih cenderung pindah ke kawasan yang sudah penuh sesak di sebuah kota besar macam Jakarta, Mumbai, Shanghai, atau Lagos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar