Kunjungan 15 anggota Komisi D DPRD Jawa Tengah ke Reaktor Serba Guna G.A. Siwabessy (RSG-GAS), Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) pada tanggal 11 November 2010 lalu memicu perdebatan kembali tentang rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah. Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah Drs. Lukman Setiabudi, MM yang juga merupakan pimpinan rombongan mengatakan bahwa kunjungan tersebut bertujuan untuk mengetahui ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir secara komprehensif dan meningkatkan pemahaman anggota komisi D DPRD Jateng tentang nuklir secara umum.
Ia menyebutkan di Jawa Tengah saat ini banyak provokator dan pihak tertentu yang memanfaatkan nuklir untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Saat berdiskusi tentang status rencana pembangunan PLTN dengan calon tapak di Semenanjung Muria, umumnya anggota komisi D menyayangkan mengapa opsi nuklir belum masuk ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah, namun demikian beberapa pihak mengungkapkan hal ini bisa saja dilakukan peninjauan kembali atau revisi (infonuklir, 2010). Apakah pembangunan PLTN di Semenanjung Muria harus dilanjutkan?
1. Sejarah Rencana Pembangunan PLTN di Indonesia
Di Indonesia, ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada tahun 1956 dalam bentuk pernyataan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di beberapa universitas di Bandung dan Yogyakarta. Meskipun demikian ide yang sudah mengkristal baru muncul pada tahun 1972 bersamaan dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Kemudian berlanjut dengan diselenggarakannya sebuah seminar di Karangkates, Jawa Timur pada tahun 1975 oleh BATAN dan Departemen PUTL, dimana salah satu hasilnya suatu keputusan bahwa PLTN akan dikembangkan di Indonesia. Pada saat itu juga sudah diusulkan 14 tempat yang memungkinkan di Pulau Jawa untuk digunakan sebagai lokasi PLTN, dan kemudian hanya 5 tempat yang dinyatakan sebagai lokasi yang potensial untuk pembangunan PLTN.
Empat belas lokasi yang diteliti BATAN bekerjasama dengan NIRA dari Italia adalah 11 lokasi di Pantai Utara Jawa dan 3 lokasi di pantai Selatan. Sebagian daerah pantai Utara adalah Pasuruan, Bondowoso, Lasem, Semenanjung Muria dan Tanjung Pujut di Jawa Barat. Sedangkan di bagian Selatan adalah Ujung Genteng, Pangandaran dan Malang Selatan. Pada tahun 1975, dihasilkan beberapa rekomendasi daerah pilihan yaitu 5 daerah di antara 14 daerah potensial di Jawa. Kemudian, Semenanjung Muria merupakan satu-satunya yang dianggap paling layak untuk calon tapak dibanding kawasan lainnya.
Mengingat situasi penyediaan energi konvensional termasuk listrik nasional di masa mendatang semakin tidak seimbang dengan kebutuhannya, maka opsi nuklir dalam perencanaan sistem energi nasional jangka panjang merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat mengurangi tekanan dalam masalah penyediaan energi khususnya listrik di Indonesia. Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan tersebut di atas maka diharapkan pernyataan dari semua pihak yang terkait dengan pembangunan energi nasional bahwa penggunaan energi nuklir di Indonesia sudah diperlukan, dan untuk itu perlu dimulai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sekitar tahun 2010, sehingga sudah dapat dioperasikan secara komersial pada sekitar tahun 2016.
Beberapa peraturan perundangan yang mendasari persiapan pembangunan PLTN adalah sebagai berikut:
a. PeraturanPresiden No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, nuklir termasuk dalam Energi Baru dan Terbarukan (EBT), khususnya pada kelompok lain-lain dan akan berkontribusi sebesar 2% dari energi primer atau ekivalen dengan 4% energi listrik nasional. PLTN I dan II diharapkan beroperasi pada tahun 2016 dan 2017. PLTN III dan IV beroperasi pada tahun 2023 dan 2024.
b. Undang-undang No 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 Bab IV.2.3. (2015-2019)
“….Mulai dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat,…”
c. Inpres No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010 yang antara lain memuat sosialisasi pengembangan energi nuklir untuk mencapai pemahaman masyarakat yang utuh.
d. PeraturanPresiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 antara lain prioritas nasional dibidang energi alternatif: peningkatan pemanfaatan energi terbarukan termasuk energi alternatif geothermal sehingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014 dan dimulainya produksi
coal bed methane untuk membangkitkan listrik pada 2011 disertai pemanfaatan potensi tenaga surya, microhydro, serta nuklir secara bertahap.
2. Pro dan Kontra Pembangunan PLTN di Semenanjung Muria
Menanggapi rencana pembangunan PLTN, terdapat dua kelompok yang berbeda yaitu satu pihak setuju atau pro dan pihak menolak atau kontra. Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Dr. Soedyartomo Soentono mengatakan, nuklir adalah energi masa depan. Sebagai misal, satu atom nuklir akan menghasilkan 200 juta elektron volt. Sementara, dalam setiap molekul batu bara hanya menghasilkan 23 elektron volt. Ada perbedaan hingga 100 juta kali lipat. Sebagai bukti efisiensi itu, saat ini di dunia telah beroperasi kurang lebih 438 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), dan 31 lagi dalam masa konstruksi. Dari sejumlah PLTN tersebut, daya listrik yang dihasilkan dapat menyumbang sekitar 18 % produksi listrik dunia, bahkan di 13 negara antara 30-80 % listriknya diproduksi dari PLTN. Dan, di antara negara-negara yang mengoperasikan reaktor untuk PLTN, Amerika adalah negara yang mengoperasikan PLTN paling banyak, yaitu sekitar 104 unit (per tahun 2001). Dari sejumlah reaktor tersebut mampu menyumbang 19,83 % listrik yang dibutuhkan Amerika. Negara yang memanfaatkan listrik dari tenaga nuklir paling besar adalah Perancis. Perancis memenuhi kebutuhan listriknya sebesar 76,4 % dari PLTN. Di antara negara dunia yang secara kontroversial melaksanakan kebijakan mengoperasikan PLTN adalah Jepang. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1945 negara ini adalah satu-satunya negara yang mengalami musibah ledakan bom atom yang dijatuhkan Sekutu pada Perang Dunia II. Namun dalam perkembangan selanjutnya, Jepang justru menjadi negara yang paling gigih dalam memanfaatkan reaktor untuk daya listrik. Bahkan boleh dikatakan tekonologi reaktornya paling maju dan aman (Utami, 2006).
Sastrawijaya (2009) menyatakan bahwa nuklir dapat membantu secara berkelanjutan kebutuhan energi. PLTN juga dinilai secara kompetitif terhadap PLTBatubara maupun PLTGas. Selain ramah lingkungan, PLTN juga mengurangi laju pemanasan global, efek rumah kaca dan lain-lainnya. Ketakutan di Indonesia disebabkab mimpi buruk akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki, juga tragedi Chernobyl tahun 1986. Padahal probabilitas katastrofi akibat nuklir ini sangat rendah, yang lebih parah adalah ketidakpercayaan terhadap kemampuan para insinyur Indonesia sendiri. Tidak demikian halnya dengan rakyat Vietnam dan Thailand yang percaya penuh kepada para ahlinya sendiri. PLTN di Vietnam akan selesai pada tahun 2020. Selanjutnya Sastrawijaya menyarankan agar sosialisasi yang baik dan menyeluruh akan menyadarkan masyarakat yang anti nuklir.
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara, Jawa Tengah pada bulan September 2007 mengeluarkan fatwa haram atas rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Zaini (2007) mengemukakan bahwa fatwa haram tersebut harus dipahami yaitu fatwa dikeluarkan setelah mereka mempertimbangkan manfaat dan mudarat proyek PTLN Muria. Menurut kajian dan analisis mereka, manfaat yang akan diperoleh proyek itu lebih kecil daripada bahaya atau mudarat yang akan diperoleh.
Pengamat nuklir dari Universitas Indonesia (UI) Iwan Kurniawan menilai Indonesia tidak akan mampu menjadikan PLTN sebagai sumber listrik alternatif. Sebab, Indonesia tidak memiliki dan menguasai teknologi pengayaan uranium untuk dijadikan sumber energi pengganti listrik. Indonesia memang memiliki cadangan uranium di Kalimantan, tapi tidak bisa dipakai karena butuh proses. Proses ini sangat bergantung pada teknologi impor dari negara maju, dan Indonesia tidak menguasai teknologi ini. Untuk itu, Indonesia sebaiknya memanfaatkan sumber daya energi alternatif lainnya yang berlimpah. Sumber daya itu di antaranya gas, batu bara, panas bumi, dan energi terbarukan. Bahkan limbah-limbah pertanian bisa dijadikan energi listrik. Apalagi, menurut perhitungannya, tidak ada PLTN yang biayanya murah. Negara-negara maju memang ada yang menggunakan PLTN sebagai sumber energi listrik, karena mereka tidak memiliki sumber energi alternatif (Kurniawan, 2007).
Asmara (2010) menyatakan bahwa secara garis besar, masyarakat yang menolak kehadiran PLTN dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Kelompok pertama adalah masyarakat awam yang bagi mereka nuklir menimbulkan rasa takut karena kurang faham terhadap sifat atau karakter nuklir. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa budayawan, politikus, tokoh agama dan beberapa masyarakat umum lainnya.
Kelompok kedua adalah masyarakat yang sedikit faham tentang nuklir, tetapi menyangsikan kemampuan orang Indonesia dalam mengoperasikan PLTN dengan aman. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa LSM dan kalangan akademisi.
Kelompok ketiga adalah masyarakat yang cukup faham tentang nuklir tetapi menolak kehadiran PLTN karena melihat PLTN dari kacamata berbeda sehingga memiliki argumen yang berbeda pula. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa pejabat dan mantan pejabat pemerintah yang pernah berhubungan dengan masalah energi, listrik dan nuklir.
Dari hasil studi dinyatakan bahwa pihak yang menolak kehadiran PLTN cenderung memiliki pertimbangan yang lebih besar terhadap aspek sosio kultural, politik, ekonomi, dan lingkungan dengan sedikit pertimbangan teknis. Sedangkan pihak yang menerima PLTN sebagian besar pertimbangannya berdasarkan sisi teknis dan implementasi pembangunan semata serta dianggap kurang mengakomodasi pertimbangan sosial, kultural, ekonomi dan politik.
3. Penyelesaian Pro dan Kontra Melalui Debat Publik Serta Perhatian Terhadap Aspek Sosial Masyarakat
Menanggapi adanya perbedaan dua kelompok antara yang pro dan kontra, menimbulkan wacana tentang perlunya debat publik untuk mempertemukan antara pihak yang pro dan kontra. Wacana tentang debat publik awalnya digulirkan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS waktu itu, Ginandjar Kartasasmita pada pertengahan tahun 1995 dalam dengar pendapat dengan Komisi X DPR. Ginandjar menyatakan bahwa proyek pembangunan PLTN Jepara, Jawa Tengah sebaiknya segera diforumkan dalam debat publik. Pernyatan ini secara implisit menyiratkan bahwa PLTN Jepara memenuhi kriteria sebagai proyek pembangunan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pembahasan terbuka, menurutnya, akan meningkatkan kualitas kebijaksanaan dan menjamin diperolehnya dukungan masyarakat. BAPPENAS memang telah memenuhi janjinya dengan menggelar dialog terbuka tentang peran dan fungsi perencanaan dalam era globalisasi pada akhir Agustus 1995.
Namun demikian, forum ini masih terbatas dikalangan para pakar yang terseleksi. Jika debat publik PLTN dilaksanakan, ia tidak saja menjadi debat publik (umum) yang pertama tetapi juga membuka lembaran baru dalam khasanah perencanaan pembangunan di negeri kita. Proyek-proyek sekaliber PLTN, Jembatan Madura, Kawasan Industri Madura, reklamasi Teluk Jakarta, PLTU (Pusat Listrik Tenaga Uap) Jepara, Terminal Terpadu Manggarai, Kereta Api Bawah Tanah (
subway) seyogyanya juga masuk daftar yang harus diforumkan dalam debat (Hadi, 2001).
Dalam hal debat publik, seharusnya kita belajar dari pemerintah Denmark yang melakukan debat publik dan memutuskan untuk menolak pendirian PLTN dinegaranya pada tahun 1985. Mereka memutuskan menempuh kebijakan efisiensi energi dan mencari energi yang terbarukan. Selain itu Denmark memberlakukan penggunaan pajak, maka energi dibuat relatif mahal dan mendorong orang untuk berhemat dalam kehidupan sehari-hari. Bensin premium di Denmark pada tahun 2008 sekitar 2,4 dolar per liter. Yang lebih penting dari itu, Denmark mempunyai pajak CO2 yang diberlakukan pada pertengahan 1990-an untuk mendorong efisiensi, bahkan walaupun negeri itu baru menemukan cadangan minyak di lepas pantai mereka. Dan Denmark yang sejak awal telah berkonsentrasi pada energi matahari dan angin, sekarang memasok 16% total kebutuhan energi dan sekarang merupakan pengekspor teknologi penghasil energi terbarukan seperti turbin angin (sepertiga dari total turbin angin terrestrial di dunia berasal dari Denmark). Selain itu Denmark memiliki industri paling inovatif dalam pembuatan enzim-enzim untuk mengubah biomassa menjadi bahan bakar. Pada tahun 1973 Denmark mengimpor 99% energi dari Timur Tengah, sekarang menjadi 0% (Friedman, 2009).
Selanjutnya Hadi (2007) mengusulkan bahwa keberlanjutan sebuah proyek sangat bergantung kepada tingkat penerimaan masyarakat (
social acceptance). Perlu dipahami bahwa polemik tentang PLTN berkaitan dengan reaktor dan keluaran limbah radioaktif yang termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Dengan dua isu utama itu dampak sosial yang muncul sebagai akibat pembangunan PLTN bukan hanya bersifat standar atau baku seperti terciptanya kesempatan kerja, kesempatan berusaha, timbulnya gangguan kenyamanan karena kemacetan lalu lintas, bising, getaran, debu, melainkan juga daampak yang bersifat spesifik seperti rasa cemas, khawatir dan takut yang besarnya tidak mudah dikuantifikasi. Dalam terminologi dampak sosial, dampak yang demikian itu disebut
perceived impact atau dampak yang dipersepsikan.
Berbeda dengan dampak standar yang bersifat tangible dan mudah diukur, dampak persepsi muncul karena adanya pandangan masyarakat terhadap proyek yang berhubungan dengan risiko yang mungkin timbul. Dalam konteks PLTN, persepsi itu terbentuk karena kekhawatiran masyarakat terhadap potensi kecelakaan, kebocoraan atau kesalahan operasi. Dampak – dampak seperti itu kemudian bisa mewujud dalam bentuk rasa was-was, takut, dan cemas yang kemudian diekspresikan dalam sikap penolakan yang kadang disertai dengan tindakan kekerasan.
Radiasi yang berasal dari bahan radioaktif dapat menimbulkan kontaminasi terhadap manusia dan biosfernya. Prosedur dan standar keselamatan PLTN yang dilakukan di beberapa negara untuk mengelola potensi bahaya PLTN selama ini memang ditujukan untuk memberikan perlindungan lingkungan. Namun demikian, terjadinya kasus-kasus kebocoran dan kecelakaan PLTN mengundang pertanyaan sekelompok masyarakat yang kritis dan skeptik tentang efektivitas prosedur dan keselamatan tersebut.
Keandalan PLTN berkembang menjadi isu kritis yang menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Armour (1988), pakar studi dampak sosial dari Kanada, mencatat sebab utama munculnya penggalangan warga Amerika Serikat dan Kanada untuk menolak kehadiran proyek nuklir adalah karena ketidakmampuan teknologi didalam menanggulangi konsekuensi sosial dan ekologis. Kondisi tersebut akan menyebabkan setiap proyek yang dianggap akan mengusik keselamatan masyarakat dan lingkungan ditentang habis-habisan. Gerakan semacam itu disebut sebagai sindrom NIMBY (
Not in My Back Yard atau jangan letakkan proyek itu disekitar pemukiman saya). Suka atau tidak, fasilitas pembangkit tenaga nuklir dalam kamus masyarakat lokal di Amerika Utara (AS dan Kanada) masuk dalam kategori NIMBY. Di Indonesia, sindrom NIMBY telah merasuki sanubari masyarakat terhadap proyek TPA sampah dan di beberapa tempat untuk proyek jaringan transmisi.
Selama ini, pemrakarsa PLTN selalu memaparkan keandalan teknologinya yang menjamin keamanan dan keselamatan. Namun demikian, rasanya masih sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak akan memikul risiko. Dampak sosial yang sifatnya spesifik memang sulit dikuantifikasi. Keuntungan-keuntungan yang mungkin diraup oleh masyarakat luas oleh kehadiran proyek (dalam bentuk penyediaan energi dan kesempatan kerja), belum mampu menghilangkan kekhawatiran atau derita yang mungkin akan dialami oleh masyarakat disekitar proyek. Kelompok-kelompok masyarakat yang senantiasa dihinggapi kekhawatiran itu layak mendapat perhatian sepadan. Mengutip pandangan Finsterbusch (1989) dan Cernea (1991), dua pakar sosial dari Amerika Serikat, keputusan publik yang hanya mendasarkan pada hasil pembobotan akan menimbulkan ketidakadilan dan mengabaikan demokrasi serta kesederajatan.
4. Alternatif Pemecahan Masalah
Pola perencanaan proyek pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara merupakan contoh perencanaan pembangunan yang sentralis yang menjadi ciri dari perencanaan sinoptik (kategori Hudson) dan tipe perencanaan analisis kebijakan (kategori Friedman). Kearifan lokal dan input masyarakat diabaikan sama sekali. Akibatnya adalah bahwa model perencanaan itu dalam implementasinya tidak sustainable (Hadi, 2010).
Dari penjelasan tentang teori perencanaan yang dituliskan Hadi (2001), nampak bahwa semua teori perencanaan memandang perlunya unsur pemenuhan kebutuhan material dan non material. Namun demikian tidak satupun yang menganggap penting adanya prinsip pelestarian fungsi lingkungan dan keadilan antar generasi atau keadilan masa depan. Arus utama teori perencanaan selama ini banyak didominasi oleh teori analisis kebijakan yang notabene tidak mempunyai concern terhadap konservasi lingkungan, pengurangan konsumsi maupun partisipatori demokrasi.
Strategi tetesan ke bawah (
trickle down effect) melalui pembangunan proyek mega ternyata tidak mampu memercik pada penduduk lokal/sekitar. Dampak sosial memang tidak bisa diukur dengan perhitungan matematis misalnya hilangnya pekerjaan di sektor perkebunan/pertanian lebih kecil dibanding kesempatan kerja yang muncul dari kehadiran industri/proyek. Michael Cernea (1991), sosiolog yang pernah bekerja pada Bank Dunia, memandang bahwa perhitungan kuantitatif akan menghilangkan unsur keadilan (
fairness). Nampak bahwa dalam konteks etika pengambilan keputusaan, prinsip utilitarianism (prinsip yang mengutamakan
the greatest benefit for the greatest number) menghilangkan rasa keadilan (Hadi, 2010).
Pemberian informasi kepada publik, baik sisi positif maupun sisi negatif dari adanya PLTN, termasuk jika dibandingkan dengan berbagai jenis pembangkit lainnya, sehingga rencana pembangunan PLTN mendapatkan tingkat penerimaan yang tinggi dari masyarakat. Sebab, basis dari penerimaan publik adalah seberapa jauh publik mendapatkan informasi yang akurat tentang berbagai aspek terkait dengan pengoperasian sebuah PLTN. Untuk itu perlu desain program sosialisasi PLTN dalam rangka penerimaan masyarakat (
public acceptance), berupa program informasi dan edukasi serta program rekayasa sosial (
social engineering) dan program pengembangan masyarakat (
community development).
Berkaitan dengan rencana pembangunan PLTN di Indonesia, dapat diberikan rekomendasi yaitu langkah dasar yang harus dilakukan pemerintah adalah pembatalan pembangunan PLTN di Semenanjung Muria karena mempertimbangkan kuatnya penolakan masyarakat lokal atas rencana tersebut, selanjutnya memperbaiki kebijakan nasional di bidang ketahanan energi nasional (termasuk mereview kontrak kerjasama eksplorasi minyak dan gas bumi) serta mengembangkan sumber energi yang terbarukan didalam negeri.
Akhirnya, ada baiknya kita menyimak pendapat Yoshihiko Wada, PhD khusus mengenai pembangunan PLTN, dalam
Ecological Economics Approach to Sustainability: Ecological Footprint menyatakan bahwa berdasarkan analisis biaya
Prolonged Impact Management (PIM), PLTN akan membutuhkan biaya PIM sekitar 16 kali lebih besar dibandingkan jumlah energi yang dihasilkan. Biaya dampak manajemen berkepanjangan (PIM) yang harus ditanggung oleh generasi mendatang disebabkan oleh penanganan limbah radioaktif dan berbagai limbah yang dihasilkan dari dekomisioning reaktor dan fasilitas terkait lainnya. Limbah radioaktif memiliki keaktifan 100 juta kali lebih besar daripada bahan radioaktif yang belum digunakan pada berat yang sama. Meskipun teknologi nuklir sementara ini dapat mengurangi emisi CO2. Namun, teknologi ini memperburuk hubungan di antara para penduduk dalam suatu masyarakat, antara generasi sekarang dan mendatang, penduduk perkotaan dan penduduk di daerah yang terkena dampak dekat reaktor serta manajemen dan pekerja yang dimasukkan ke dalam risiko kesehatan. Hal-hal tersebut menimbulkan masalah keadilan antar-generasi yang merupakan kriteria penting untuk keberlanjutan. Konsep keberlanjutan mensyaratkan bahwa masyarakat menjadi lebih menyatu, tak tersekat-sekat dan stabil.
Referensi:
Asmara, Feri Adhi, 2010,
Analisis Persepsi dan Tingkat Penerimaan Masyarakat Sekitar Muria Terhadap Kebijakan Pembangunan PLTN di Jepara dengan Metode PLS (Partial Least Square), Skripsi Program Studi Statistika, Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Diponegoro, Semarang.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2005,
Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025.
Friedman, Thomas. L, 2009,
Hot, Flat, and Crowded, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hadi, Sudharto. P, 2001,
Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hadi, Sudharto. P, 27 Februari 2007,
Mengapa Masyarakat Menolak PLTN?, Suara Merdeka, Semarang.
Hadi, Sudharto. P, 27 April 2008,
Amunisi Penentang PLTN, Suara Merdeka, Semarang.
Hadi, Sudharto. P, 6 Januari 2009,
Nasib Lingkungan di Tahun 2009, Suara Merdeka, Semarang.
Hadi, Sudharto. P, 2009,
Manusia & Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Kurniawan, Iwan, 2 Maret 2007,
Para Ahli Tolak PLTN, Radar Kudus, Kudus.
Mudzakir, Abdul Kohar, 12 Desember 2009,
Pembangunan PLTN Muria, Demi Listrik atau Gengsi?, Harian Joglo Semar, Semarang.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Rahman, Mudjib, 13 September 2007,
Energi Murah Dilabel Haram, GATRA, Jakarta.
Sastrawijaya, A. Tresna, 2009,
Pencemaran Lingkungan, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Syaifullah, Muhammad & Jamil, M. Mukhsin, 2008, C
onflict of Nuclear Power Plan in Jepara, Walisongo Mediation Centre (WMC) IAIN Walisongo, Semarang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
Utami, Sukowati, 26 Februari 2006,
Begawan Nuklir Indonesia, Majalah Forum, Jakarta.
Zaini, Akhmad, 5 September 2007,
Memahami Fatwa Haram PLTN Muria, Indo Pos, Jakarta.