Senin, 18 Oktober 2010

Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH

Setelah Perang Dunia II, dominasi kapitalisme tidak lagi diwujudkan dalam penjajahan fisik, tetapi diwujudkan dalam penjajahan non fisik. Di bidang ekonomi, dibentuklah lembaga-lembaga ekonomi yang pada hakekatnya akan mengendalikan negara-negara yang baru merdeka. Lembaga-lembaga ekonomi yang dimaksud alah World Bank yang dibentuk pada tahun 1946, International Monetary Fund (IMF) yang dibentuk pada tahun 1947, General Agreement Tarrif and Trade (GATT) yang dibentuk pada tahun 1947.
Di bidang sosial, muali dilakukan rekayasa sosial melalui penyusunan teori-teori yang dapat menarik dan dapat diaplikasikan di negara-negara Dunia Ketiga, namun tetap dapat melanggengkan kapitalisme itu sendiri. Salah satu teori sosial yang kemudian diintroduksikan ke negara-negara berkembang dan yang baru merdeka adalah teori modernisasi atau teori pembangunan yang dikembangkan di Amerika Serikat sejak tahun 1948.
Diintroduksikannya teori modernisasi ke negara-negara Dunia Ketiga, karena menurut Negara Barat, negara Dunia Ketiga merupakan negara yang masih dalam proses modernisasi, khususnya dalam proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi itu diharapkan dapat berjalan menurut proses atau tahap-tahap tertentu, yang juga pernah dialami leh negara-negara maju.
Teori modernisasi mengidealkan suatu wahana untuk mencapai modernisasi melalui sistem kapitalisme, sehingga pembangunan harus didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konstruksi teori modernisasi, sebenarnya peran negara telah dikurangi seminimal mungkin karena sesuai dengan paham kapitalisme yang sangat meminimalkan peran negara dalam urusan-urusan ekonomi masyarakat dan mengedepankan peran swasta. Penerapan teori modernisasi dalam kebiajkan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara-negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan mutinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan.
Besarnya peran korporasi multinasional di era global sekarang merupakan implementasi konsep good governance ala negara-negara Barat sejak awal globalisasi pada tahun 1990-an. Dalam konsep ini kekuasaan negara dibuat lebih terbatas demi kepentingan pasar. Kekuasaan lebih besar dialihkan kepada korporasi multinasional untuk berpartisipasi dalam pasar bebas dunia. Maka korporasi multinasional semakin didesak oleh negaranya untuk menancapkan dominasinya di wilayah manapun.
Hasil penelitian Jed Greer dan Kenny Bruno (1999) yang dibukukan dalam The Reality Behind Corporate Environmentalisme, menyimpulkan bahwa sejak masa 1990-an korporasi-korporasi multinasional telah berhasil meraih pengaruh atas berbagai urusan internasional. Korporasi-korporasi multinasional yang semakin menguasai ekonomi dunia berusaha melestarikan dan memperluas pasar mereka dengan menampilkan diri seperti pelindung dan pelestari lingkungan dan pemimpin penghapusan kemiskinan.
Namum laporan Sekjen PBB pada Pembukaan Konferensi Dunia Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg pada tahun 2002 yang lalu menyatakan antara 1992-2002 terjadi kekosongan pelaksanaan Agenda 21. Kondisi lingkungan justru semakin buruk. Agenda 21 adalah dokumen yang berisi rencana-rencana aksi yang disepakati negara-negara didunia termasuk Indonesia dalam KTT Bumi 1992 untuk mengimplementasikan konsep Pembangunan Berkelanjutan di abad 21. Di sisi lain, Era 1992-2002 aalah era paham globalisasi sedang mendunia, dimana aktor non negara seperti korporasi multinasional semakin didayagunakan sebagai kepanjangan tangan negara-negara pemilik kapital. Laporan Sekjen PBB tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa dominannya peran korporasi multinasional dalam ekonomi dunia tidak paralel dengan membaiknya kondisi lingkungan. Maka benar bila dikatakan, globalisasi dengan segala implikasinya dapat merubah tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Quo Vadis Pembangunan Berkelanjutan Bagian 2

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH

Pandangan Amerika Serikat tentang penjabaran good governance yang dapat menjamin pelaksanaan konsep Pembangunan Berkelanjutan (yang mengarah ke arah Corporate Globalization) tersebut sangat berbeda dengan pandangan negara-negara Dunia Ketiga. Good governance yang dapat menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan menurut pandangan negara-negara Dunia Ketiga (yang dinyatakan dalam Pertemuan Komite Persiapan (PrepCom) IV KTT mengenai Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Bali Mei 2002, adalah pemerintahan yang mampu bertanggungjawab dan dipercaya (accountable), transparan, membuka partisiapsi yang luas bagi masyarakat dan menjalankan penegakan hukum secara efektif. Akan tetapi sesuai dengan pesan sebagaimana tertuang dalam Agenda 21, dibukanya partisipasi yang luas bagi masyarakat, tetap mengedepankan kemitraan, dan peduli terhadap masalah kemiskinan. Dalam artian ini, maka pemerintah memang harus membatasi campur tangannya kepada rakyat, tetapi bukan supaya kekuatan ekonomi dialihkan kepada swasta atau bahkan perusahaan multinasional.
Dari Pertemuan PrepCom IV KTT WSSD di Bali Mei 2002, terlihat bahwa WSSD yang diadakan kemudian tidak dapat diharapkan akan membawa dampak signifikan untuk dapat membawa dunia menuju arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Perbedaan pandangan tentang penjabaran konsep good governance untuk menjamin pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan tersebut diatas, jelas mempengaruhi hasil KTT WSSD yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan 26 Agustus- 4 September 2002. Konferensi yang diselenggarakan oleh PBB ini sebenarnya bertujuan untuk meninjau kembali pencapaian yang telah dilakukan negara-negara sejak KTT Bumi 1992. Dalam Konferensi WSSD tersebut ditinjau kembali apa partisipasi negara-negara atau sejauhmana negara-negara telah mengimplementasikan Agenda 21 sebagai hasil kesepakatan dalam KTT Bumi 1992. Laporan akhir yang dikeluarkan Heinrich Boll Foundation tentang World Summit 2002 Johannesburg antara lain menyatakan :
a. WSSD berakhir pada tanggal 4 September 2002. Beberapa pemerintah negara menilai Konferensi ini cukup berhasil, sementara hampir sebagian besar Civil Society Group sangat kecewa dengan hasil KTT ini khususnya menyangkut masalah kerangka waktu yang tidak tegas, serta pendanaan untuk mengimplementasikan Agenda 21.
b. Pemerintah negara-negara menambahkan sedikit target dari target yang telah disusun dalam KTT Rio 1992, namun tidak klarifikasi lebih tegas dan jelas tentang bagaimana mencapai dan pendanaan untuk mencapai target tersebut.
c. Dalam WSSD, negara-negara Dunia Ketiga (Kelompok G-77 ditambah China) meminta negara-negara maju untuk lebih memberi perhatian pada kaitan antara pembangunan dengan kemiskinan yang terjadi di Dunia Ketiga.
Dalam pandangan negara-negara Dunia Ketiga (Kelompok G-77 ditambah China) masalah pembangunan daan kemiskinan apabila tidak diatasi akan menghambat implementasi Pembangunan Berkelanjutan. Dalam pandangan negara-negara Dunia Ketiga untuk mengatasi masalah ini negara-negara maju harus memberikan bantuan untuk menjamin Pembangunan Berkelanjutan. Akan tetapi Amerika Serikat, Canada, Australia, Selandia Baru, Jepang dan beberapa negara anggota Uni Eropa lebih memfokuskan pada pengembangan pembangunan sebagai hasil pertumbuhan ekonomi mereka serta mementingkan pergerakan modal (the mobilisation of capital).
Dari laporan ini tampak bahwa konsep Pembangunan Berkelanjutan yang awalnya merupakan konsep yang bersifat universal (sehingga disepakati menjadi agenda bersama global) pada perkembangannya menjadi konsep yang implementasinya tidak mudah karena adanya perbedaan pandangan antara negara maju dengan negara Dunia Ketiga dalam menjabarkan konsep good governance untuk menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan, sementara konsep good governance yang dinyatakan oleh Amerika Serikat dalam WSSD (WSSD dijadikan kondisionalitas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga dalam WSSD tersebut).
Rendahnya komitmen pemerintah negara-negara maju (AS, Canada, Australia, New Zealand, Jepang dan beberapa anggota Uni Eropa) ditunjukkan dengan tidak tegasnya target serta batasan waktu yang jelas bagi pelaksanaan berbagai komitmen. Kuatnya agenda perdagangan bebas dan dominasi kapitalisme ditunjukkan dari sikap negara maju yang lebih memberi perhatian berdasarkan kepentingannya yaitu ekspansi pasar (pergerakan modal). Jelas untuk pergerakan modal ini peran korporasi internasional lebih dikedepankan. Berdasarkan hal ini, maka dalam batas tertentu WSSD 2002 tidak dapat diharapkan akan membawa dunia menuju arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan.

Quo Vadis Pembangunan Berkelanjutan Bagian 1

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH

Mansour Fakih, aktivis dari INSIST (Institute for Social Transformation, Yogyakarta) menyatakan bahwa lingkungan alam yang kemudian disebut sebagai "sumber daya alam" telah menjadi faktor penting dalam perkembangan kapitalisme, dari abad sembilan belas hingga sekarang. Dengan kata-kata yang lebih jelas dikatakannya, sesungguhnya persoalan lingkungan telah tumbuh seiring dengan perkembangan kapitalisme sejak abad kesembilan belas. Kapitalisme telah memotivasi masyarakat dan negara-negara Eropa Barat pada masa itu untuk melakukan ekspansi wilayah ke wilayah-wilayah seberang laut. Ekspansi ini dilakukan untuk menguasai sumber daya alam di wilayah tersebut, sehingga terjamin pasokan bahan baku untuk pengembangan industri. Akan tetapi kemudian disadari bahwa akibat pengembalian sumber daya alam itu, sumber daya alam menjadi sangat terbatas, padahal dalam kapitalisme kebutuhan untuk mencari keuntungan tidak akan terbatas. Lingkungan perlu dilestarikan karena hanya melalui pelestarian tersebut terjamin pula keajegan pasokan bahan baku industri sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung.
Konsep pembangunan berkelanjutan secara kronologi dirumuskan melalui proses yang panjang. Dimulai dari Konferensi Stockholm 1972 yang secara formal melibatkan banyak negara termasuk negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia, Sudan, Arab Saudi, Columbia, India, Zimbabwe, Brazilia, dan China. Keterlibatan secara intensif dari negara-negara tersebut tentu mewarnai konsep Pembangunan Berkelanjutan serta Action Plan yang disusun kemudian. Pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janiero, Brazil. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dibahas kembali oleh lebih dari 179 negara termasuk Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Sekali lagi secara formal, keterlibatan secara intensif dari negara-negara tersebut tentu mewarnai konsep Pembangunan Berkelanjutan serta Action Plan yang disusun kemudian.
Berdasarkan hal itu, benarlah bahwa konsep Pembangunan Berkelanjutan merupakan konsep yang universal sehingga menjadi agenda bersama meskipun action antar negara berbeda. Dengan demikian, benar bila dikatakan bahwa Sustainable Development bukan diterima secara taken for granted karena negara-negara Dunia Ketiga secara formal ikut andil dalam perundingan-perundingan guna penyusunan konsep Pembangunan Berkelanjutan. Dengan mendasarkan pada Agenda 21 menjabarkan bahwa Pembangunan Berkelanjutan menghendaki adanya perlindungan dan pemihakan bagi penduduk miskin, masyarakat lokal, demokrasi, transparansi dan perlindungan lingkungan hidup.
Akan tetapi, perkembangan kemudian, dalam Pertemuan Komite Persiapan (PrepCom) IV KTT mengenai Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) di Bali Mei 2002, terdapat perbedaan pandangan antara negara Barat dengan Dunia Ketiga tentang bagaimana konsep Pembangunan Berkelanjutan itu harus diimplementasikan. Wakil Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Urusan Masalah Global menyatakan bahwa Amerika Serikat memiliki pandangan bahwa Pembangunan Berkelanjutan harus dimulai dari konsep menentukan nasib sendiri yang kemudian didukung dengan kebijakan dalam negeri yang efektif. Cara terbaik untuk melaksanakan kebijakan negara yang efektif adalah melalui pembinaan kemitraan antara swasta dengan publik di tingkat lokal, nasional dan level internasional.
Dalam pandangan Amerika Serikat, dengan cara ini Pembangunan Berkelanjutan diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi negara sedang berkembang dan negara maju. masih dalam pandangan Amerika Serikat dan juga Kanada, Australia dan Selandia Baru, basis utama konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah masyarakat yang dapat menentukan dirinya sendiri, yang disiapkan untuk berpartisipasi dalam perdagangan bebas multilateral dan itu semua mensyaratkan adanya good governance (kepemerintahan yang baik). Good governance menurut Amerika Serikat, adalah pemerintahan yang memiliki institusi-institusi demokratis serta sistem hukum yang independen termasuk didalamnya partisipasi semua anggota masyarakat. Good governance dalam konsep Amerika Serikat adalah kekuasaan pemerintah yang lebih terbatas demi pasar. Kekuasaan yang lebih besar harus dialihkan kepada korporasi-korporasi multinasional (multinational corporations/MNC).
Pandangan Amerika Serikat yang didukung beberapa negara maju tersebut menunjukkan bahwa good governance yang dapat menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah kekuasaan pemerintah yang lebih terbatas demi kepentingan pasar, dan kekuasaan yang lebih besar harus diserahkan kepada swasta (dalam hal ini korporasi nasional maupun multinasional). Konsep inilah yang kemudian dinyatakan oleh Amerika Serikat dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg pada bulan September 2002 dan dijadikan kondisionalitas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga dalam WSSD.

Rabu, 13 Oktober 2010

Kegagalan Teori Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan Di Dunia Ketiga 3

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH

Akan tetapi didalam perkembangannya, sedikit sekali resolusi-resolusi hasil kesepakatan dalam Konferensi Stockholm yang dapat diimplementasikan. Di sisi lain, kebutuhan pembangunan dan ekonomi terus melaju untuk memenuhi kebutuhan manusia yang kian meningkat dan tidak mengenal batas, seiring dengan bertambahnya jumlah manusia di dunia. Konvergensi antara meningkatnya kebutuhan pembangunan dan ekonomi dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia mengakibatkan penggunaan sumber daya alam makin meningkat. Seiring dengan itu, maka ragam atau jenis kerusakan lingkungan sesudah adanya Konferensi Stockholm 1972 semakin banyak dan tidak dapat lagi diatasi dengan menggunakan instrumen hukum internasional yang diberlakukan untuk kasus-kasus kerusakan lingkungan yang "baru" tersebut.
Kerusakan-kerusakan lingkungan "baru" antara lain :
(a) Pelubangan lapisan ozon; (b) Pemanasan global; (c) Berkurangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan yang "baru" ini sifatnya global dan penyebabnya pun bersifat global, maka penanganannya akan efektif kalau dilakukan secara global, maka penanganannya akan efektif kalau dilakukan secara global pula. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan konsep-konsep pengelolaan lingkungan yang dapat digunakan untuk mengurangi kerusakan lingkungan sekaligus menjamin keberlangsungan pembangunan. Untuk keperluan penyusunan konsep itu, PBB membentuk World Commission on Environment and Development (WCED) untuk melakukan penelitian dan pengkajian tentang penyelarasan perlindungan lingkungan dan pembangunan. hasil penelitian dan pengkajian WCED (Only One Earth) itu selanjutnya disusun dalam sebuah laporan yang berjudul Our Common Future pada tahun 1987. Didalam Our Common Future ini dimunculkan konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Di dalam laporannya ini, WCED mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai : "Pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi kemapuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka".
Sesuai dengan definisinya maka oleh Experts Group dari WCED dikatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan bersifat jangka panjang antar generasi.

Kegagalan Teori Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan di Dunia Ketiga 2

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX.Adji Samekto, SH, MH

Berbagai kerusakan lingkungan bersifat lintas batas negara kemudian muncul di dunia seperti perusakan lapisan ozon, terjadinya pemanasan global, berkurangnya keragaman hayati, terjadinya hujan asam, dan juga kerusakan-kerusakan lingkungan yang bersifat lokal. Terjadinya kerusakan lingkungan di negara-negara Dunia Ketiga merupakan ancaman bagi negara kapitalis karena berarti terancamnya pasokan bahan baku atau bahan mentah, yang sebenarnya harus dijaga kenerlanjutannya. Edith Brown Weiss, menyatakan bahwa secara garis besar ada tiga tindakan generasi dulu dan sekarang yang sangat merugikan generasi mendatang di bidang lingkungan yaitu:
Pertama, konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya berkualitas, membuat generasi mendatang harus membayar lebih mahal untuk dapat mengonsumsi sumber daya alam yang sama;
Kedua, pemakaian sumber daya alam yang saat ini belum diketahui manfaat terbaiknya secara berlebihan, sangat merugikan kepentingan generasi mendatang, karena mereka harus membayar inefisiensi dalam penggunaan sumber daya alam tersebut oleh generasi dulu dan sekarang membuat generasi mendatang tidak memiliki keragaman sumber daya alam yang tinggi.
Untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam (yang akan menjamin keberlanjutan bahan baku) inilah World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 merumuskan konsep yang kemudian kita kenal dengan sebutan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development.Didalam laporannya yang berjudul Our Common Future, WCED mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai : "Pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya".
Sebenarnya ide tentang (konsep) Pembangunan Berkelanjutan bukan sesuatu yang muncul begitu saja pada tahun 1987. Konsep ini sesungguhnya secara implisit telah ada di masyarakat tradisional di berbagai bangsa sejak masa lalu. Untuk pertama kalinyaa negara-negara didunia merumuskan pengertian Pembangunan Berkelanjutan didalam 1972 Stockholm UN Conference on Human Environment, yang kemudia dituangkan dalam Prinsip II Deklarasi Stockholm sebagai berikut:
"The natural resources of the earth, including the air, water, land, flora and fauna and especially representative samples of natural ecosystem, must be safeguarded for the benefit of present and future generations through careful planning or management, as appropriate".
Jadi, prinsip II Deklarasi Stockholm menyatakan bahwa sumber daya alam harus diselamatkan demi keuntungan (kesejahteraan) generasi kini dan mendatang melalui perencanaan atau pengelolaan yang secermat mungkin. Daud Silalahi menyatakan, pentingnya Deklarasi Stockholm 1972 bagi negara-negara yang terlibat dalam Konferensi dapat dilihat dari penilaian negara-negara peserta yang menyatakan bahwa Deklarasi Stockholm merupakan a first step in developing international environmental law. Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm 1972, PBB membentuk World Concervation Union yang bertugas menyusun Rencana Aksi (Action Plan) Lingkungan Hidup Manusia. Rencana Aksi tersebut disusun berdasarkan pengelompokkan semua rekomendasi dan tindakan-tindakan yang dapat diterima oleh Konferensi, selanjutnya diadakan identifikasi program yang bersifat lintas batas guna kepentingan perlindungan lingkungan. Untuk melaksanakan program itu, PBB membentuk United Nations Environmental Development (UNED) berkedudukan di Nairobi, Kenya.

Senin, 11 Oktober 2010

Antara Pembangunan Berkelanjutan dengan Keberlanjutan Ekologi

Sejarah lahirnya prinsip pembangunan berkelanjutan ditandai dengan terbentuknya World Commmission on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan) pada tahun 1984, yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, selanjutnyaa komisi ini lazim pula disebut dengan Komisi Brundtland. Komisi ini bertugas untuk menganalisis dan member saran bagi proses pembangunan berkelanjutan, yang laporannya terangkum dalam buku Our Common Future, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Hari Depan Kita Bersama”. Komisi ini terdiri dari 9 orang mewakili negara maju dan 14 orang mewakili negara berkembang. Salah satu anggotanya adalah Emil Salim dari Indonesia, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992, PBB melakukan konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil atau yang lebih popular dengan Konferensi Tingki Tinggi Bumi di Rio (KTT Rio). Salah satu isu yang sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio adalah prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Pengertian dari Sustainable Development menurut Komisi Brundtland adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya, dalam bahasa Inggris terumuskan berupa : if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Istilah pembangunan berkelanjutan kini telah menjadi konsep yang bersifat subtle infiltration, mulai dari perjanjian-perjanjian internasional, dalam implementasi nasional dan peraturan perundang-undangan.
Setelah lebih dari sepuluh tahun lalu, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan global, banyak ahli lingkungan hidup mulai menyadari bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kegagalan disisi para pejuang lingkungan hidup. Kesepakatan politik yang dicapai pada KTT Bumi tahun 1992 adalah sebuah kemunduran atau kegagalan dalam negosiasi dari pihak pembela lingkungan hidup. Dengan diterimanya paradigma tersebut, yang menang adalah para ekonom dan pembela ideologi developmentalisme. Semua delegasi berkumpul untuk mengakui adanya krisis lingkungan hidup, tetapi justru berakhir dengan mengenaskan sakralnya pembangunan.
Sebagai sebuah agenda politik, paradigma ini merupakan hasil kompromi politik dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Akan tetapi, didalam keberhasilannya sebagai sebuah kompromi, para pejuang lingkungan hidup tidak sadar bahwa denagn menerima paradigma tersebut kita semua kembali menegaskan bahwa yang utama adalah pembangunan ekonomi dengan sasaran utama pertumbuhan ekonomi.
Hasilnya, lebih dari sepuluh tahun berselang tetap saja pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang diutamakan, sedangkan aspek sosial-budaya dan lingkungan hidup ditinggalkan dan diabaikan begitu saja. Karena, watak developmentalisme tidak kita tinggalkan sama sekali, malah justru diafirmasi dengan paradigma pembangunan berkelanjutan itu. Dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dikonservasi dan yang diberlanjutkan adalah pembangunan itu sendiri dan bukan alam atau ekologi.
Ada beberapa kelemahan utama dari paradigma pembangunan berkelanjutan, yaitu :
a. Tidak ada sebuah titik kurun waktu yang jelas dan terukur yang menjadi sasaran pembangunan berkelanjutan, hanya berupa komitmen sehingga sulit untuk diukur kapan tercapainya;
b. Asumsi paradigma pembangunan berkelanjutan didasarkan pada cara pandang yang sangat antroposentris, cara pandang yang menganggap alam sekedar sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia. Sehingga yang dilestarikan bukan alam yang nasibnya justru menjadi keprihatinan dan agenda internasional, melainkan memperluas kepentingan manusia auntuk memperoleh kemakmuran;
c. Asumsi yang ada dibalik paradigma ini adalah manusia bisa menentukan daya dukung ekosistem lokal dan regional. Padahal alam mempunyai kekayaan dan kompleksitas yang rumit jauh melampui kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia;
d. Paradigma pembangunan berkelanjutan bertumpu pada ideologi materialisme yang tak diuji secara kritis tetapi diterima begitu saja sebagai benar. Konsekuensinya, semua aspek kehidupan yang lain ditempatkan dibawah imperative ekonomi. Dengan demikian, bisa ditebak bahwa aspek-aspek lain, termasuk sosial-budaya dan lingkungan hidup, dikorbankan demi imperative ekonomi.
Sebagai gantinya, seorang ekolog Arne Naess menawarkaan konsep keberlanjtan ekologi. Tolok ukur keberhasilan dan kemajuan masyarakat tidak algi berdasarkan kemajuan material. Yang menjadi tolok ukur adalah kualitas kehidupan yang dicapai dengan menjamin kehidupan ekologis, soisal budaya dan ekonomi secara proporsional. Gaya hidup yang dibangun tidak lagi gaya hidup yang didasarkan pada produksi dan konsumsi yang berlebihan naun “simple in means, but reach in ends,” bukan having more tapi being more.
Baik pembangunan berkelanjutan maupun keberlanjutan ekologi adalah dua alternative yang bisa dipilih untuk diterapkan oleh masing-masing negara, termasuk Indonesia. Kedua alternative itu mempunyai sasaran sama yaitu integrasi ketiga aspek, yaitu aspek pembangunan ekonomi, aspek pelestarian sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Bedanya, paradigma pembangunan berkelanjutan memusatkan perhatian secara proporsional kedua aspek lain, sementara paradigma berkelanjutan ekologi mengutamakan pelestarian ekologi dengan tetap menjamin kualitas kehidupan ekonomi dan sosial budaya bagi masyarakat setempat.
Dalam arti itu, sejauh ketiga aspek itu bisa diintegrasikan dengan baik, paradigma peembangunan berkelanjutan atau paradigma keberlanjutan ekologi harus konsekuen dilaksanakan sesuai dengan komitmen untuk menjamin ketiga aspek tersebut secara proporsional. Memang, untuk menghindari jebakan ideologi developmentalisme, paradigma keberlanjutan ekologi tentu lebih menarik. Sejauh paradigma ini bisa diterapkan secara konsekuen dan dengan kesabaran tinggi, hasilnya akan lebih berkelanjutan. Dalam paradigma keberlanjutan ekologi, kita melestarikan ekologi dan sosial budaya masyarakat demi menjamin kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan paradigma ini, rakyat sendiri yang mengembangkan kemampuan ekonominya sesuai dengan kondisi yang dihadapi, khususnya kondisi lingkungan dan sosial budaya. Dalam rangka itu, mereka akan lebih terdorong untuk menjaga lingkungan karena sadar bahwa kehidupan ekonomi sangat tergantung dari sejauhmana mereka menjaga lingkungan.
Referensi:
1. Our Common Future, Brundtland Commision
2. Etika Lingkungan, Sony Kerraf

Jumat, 08 Oktober 2010

Kegagalan Teori Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan Dunia Ketiga 1

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX.Adji Samekto, SH, MH

A. Kegagalan Teori Modernisasi Di Dunia Ketiga
Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya pelaung bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan. Pertanyaan yang harus dijawab mengapa hal itu bisa terjadi?
Untuk menjelaskannya maka diuraikan hal-hal sebagai berikut:
Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga,  termasuk Indonesia ternyata menunjukkan hal yang berlawanan. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat dalam pertumbuhannya di masa lalu, di negara-negara Dunia Ketiga justru menimbulkan dominasinya peran negara dan juga kerusakan lingkungan. Hal ini terjadi karena ada perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat (abad 18 dan 19) proses industrialisasi membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan yang besar dari negara. Sedangkan modernisasi di negara-negara Dunia Ketiga membutuhkan modal yang sangat besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.
Makin terlambat suatu negara melakukan proses industrialisasi, makin diperlukan campur tangan negara. Oleh karenanya mau tidak mau negara harus terlibat dalam proses pembangunan ekonomi. Keterlibatan negara dalam proses pembangunan ekonomi inilah yang kemudian mendorong negara untuk terjun langsung dalam proses-proses ekonomi, seperti melakukan akumulasi modal, emndirikan perusahaan-perusahaan negara, mendorong terciptanya dunia usaha serta campur tangan dalam regulasi di bidang industri dan perdagangan.
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa adanya kenyataan yang berlawanan antara negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat dengan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) dalam menerapkan teori modernisasi atau teori pembangunan tersebut. Jika modernisasi Eropa Barat dan Amerika Serikat yang banyak berperan adalah aktor-aktor non negara maka sebaliknya di negara-negara Dunia Ketiga modernisasi berasal dari peran negara yang sangat besar, bukan masyarakat. Bila modernisasi di Eropa berdampak pada demokratisasi politik, maka sebaliknya yang terjadi di Dunia Ketiga justru menciptakan pemerintahan yang dominan, yang akhirnya menempatkan pembangunan sebagai ideologi.
Dalam hubungan tersebut di atas, terjadilah kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dengan penguasa (negara) dan pengusaha, sehingga muncul "koalisi kepentingan". Untuk kepentingan-kepentingan kelanggenan koalisi inilah maka rakyat dan lingkungan hidup akan mudah dikorbankan. Penguasa negara berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi yang diperoleh karena kewenangannya, sedangkan kekuatan kapitalisme global (yang direpresentasikan oleh korporasi multinasional) berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang terus menerus diperbesar demi kepentingan akumulasi modal. Dalam kerangka ini maka pembuatan peraturan lingkungan ditingkat nasional tidak akan banyak melibatkan peran masyarakat. Padahal mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sesungguhnya tidak sekedar menyangkut prosedur, tetapi juga keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) yaitu masyarakat, LSM dan organisasi profesi.
Pada awal sampai akhir tahun 1990-an, di Indonesia telah disusun dana atau telah diratifikasi perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Perlindungan Keanekaragaman Hayati; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya dikatakannya, apabila dicermati dari substansi perundang-undangan tersebut, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :
a). Peran pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state based resource management);
b). Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (indigenous property rights) yang belum diakui secara utuh;
c). Partisipasi masyarakat (public participation) dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas;
d). Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.
Teori modernisasi di dalam implementasinya di Indonesia masih memberikan peran yang dominan bagi pemerintah (negara). Dominasi tersebut bisa memunculkan bias, sehingga peran masyarakat selaku stakeholder dalam masalah lingkungan menjadi tidak diakui. Terjadilanh kemudian kerusakan lingkungan di Indonesia yang umumnya juga di neagra-negara Dunia Ketiga, karena Dunia Ketiga telah dijadikan sebagai pemasok bahan baku/raw maaterial sebagai bagian dari rangkaian proses-proses perdagangan multilateral.
Hal ini sebenarnya merupakan tuntutan yang sesuai dengan ajaran kapitalisme bahwa ada tiga faktor utama dalam produksi yaitu sumber daya manusia, teknologi dan sumber daya alam. Oleh karena itu, sumber daya alam bisa dieksploitasi secara besar-besaran hanya untuk kepentingan maksimalisasi laba.