Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH
Setelah Perang Dunia II, dominasi kapitalisme tidak lagi diwujudkan dalam penjajahan fisik, tetapi diwujudkan dalam penjajahan non fisik. Di bidang ekonomi, dibentuklah lembaga-lembaga ekonomi yang pada hakekatnya akan mengendalikan negara-negara yang baru merdeka. Lembaga-lembaga ekonomi yang dimaksud alah World Bank yang dibentuk pada tahun 1946, International Monetary Fund (IMF) yang dibentuk pada tahun 1947, General Agreement Tarrif and Trade (GATT) yang dibentuk pada tahun 1947.
Di bidang sosial, muali dilakukan rekayasa sosial melalui penyusunan teori-teori yang dapat menarik dan dapat diaplikasikan di negara-negara Dunia Ketiga, namun tetap dapat melanggengkan kapitalisme itu sendiri. Salah satu teori sosial yang kemudian diintroduksikan ke negara-negara berkembang dan yang baru merdeka adalah teori modernisasi atau teori pembangunan yang dikembangkan di Amerika Serikat sejak tahun 1948.
Diintroduksikannya teori modernisasi ke negara-negara Dunia Ketiga, karena menurut Negara Barat, negara Dunia Ketiga merupakan negara yang masih dalam proses modernisasi, khususnya dalam proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi itu diharapkan dapat berjalan menurut proses atau tahap-tahap tertentu, yang juga pernah dialami leh negara-negara maju.
Teori modernisasi mengidealkan suatu wahana untuk mencapai modernisasi melalui sistem kapitalisme, sehingga pembangunan harus didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konstruksi teori modernisasi, sebenarnya peran negara telah dikurangi seminimal mungkin karena sesuai dengan paham kapitalisme yang sangat meminimalkan peran negara dalam urusan-urusan ekonomi masyarakat dan mengedepankan peran swasta. Penerapan teori modernisasi dalam kebiajkan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara-negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan mutinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan.
Besarnya peran korporasi multinasional di era global sekarang merupakan implementasi konsep good governance ala negara-negara Barat sejak awal globalisasi pada tahun 1990-an. Dalam konsep ini kekuasaan negara dibuat lebih terbatas demi kepentingan pasar. Kekuasaan lebih besar dialihkan kepada korporasi multinasional untuk berpartisipasi dalam pasar bebas dunia. Maka korporasi multinasional semakin didesak oleh negaranya untuk menancapkan dominasinya di wilayah manapun.
Hasil penelitian Jed Greer dan Kenny Bruno (1999) yang dibukukan dalam The Reality Behind Corporate Environmentalisme, menyimpulkan bahwa sejak masa 1990-an korporasi-korporasi multinasional telah berhasil meraih pengaruh atas berbagai urusan internasional. Korporasi-korporasi multinasional yang semakin menguasai ekonomi dunia berusaha melestarikan dan memperluas pasar mereka dengan menampilkan diri seperti pelindung dan pelestari lingkungan dan pemimpin penghapusan kemiskinan.
Namum laporan Sekjen PBB pada Pembukaan Konferensi Dunia Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg pada tahun 2002 yang lalu menyatakan antara 1992-2002 terjadi kekosongan pelaksanaan Agenda 21. Kondisi lingkungan justru semakin buruk. Agenda 21 adalah dokumen yang berisi rencana-rencana aksi yang disepakati negara-negara didunia termasuk Indonesia dalam KTT Bumi 1992 untuk mengimplementasikan konsep Pembangunan Berkelanjutan di abad 21. Di sisi lain, Era 1992-2002 aalah era paham globalisasi sedang mendunia, dimana aktor non negara seperti korporasi multinasional semakin didayagunakan sebagai kepanjangan tangan negara-negara pemilik kapital. Laporan Sekjen PBB tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa dominannya peran korporasi multinasional dalam ekonomi dunia tidak paralel dengan membaiknya kondisi lingkungan. Maka benar bila dikatakan, globalisasi dengan segala implikasinya dapat merubah tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar