Jumat, 08 Oktober 2010

Kegagalan Teori Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan Dunia Ketiga 1

Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX.Adji Samekto, SH, MH

A. Kegagalan Teori Modernisasi Di Dunia Ketiga
Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya pelaung bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan. Pertanyaan yang harus dijawab mengapa hal itu bisa terjadi?
Untuk menjelaskannya maka diuraikan hal-hal sebagai berikut:
Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga,  termasuk Indonesia ternyata menunjukkan hal yang berlawanan. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat dalam pertumbuhannya di masa lalu, di negara-negara Dunia Ketiga justru menimbulkan dominasinya peran negara dan juga kerusakan lingkungan. Hal ini terjadi karena ada perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat (abad 18 dan 19) proses industrialisasi membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan yang besar dari negara. Sedangkan modernisasi di negara-negara Dunia Ketiga membutuhkan modal yang sangat besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.
Makin terlambat suatu negara melakukan proses industrialisasi, makin diperlukan campur tangan negara. Oleh karenanya mau tidak mau negara harus terlibat dalam proses pembangunan ekonomi. Keterlibatan negara dalam proses pembangunan ekonomi inilah yang kemudian mendorong negara untuk terjun langsung dalam proses-proses ekonomi, seperti melakukan akumulasi modal, emndirikan perusahaan-perusahaan negara, mendorong terciptanya dunia usaha serta campur tangan dalam regulasi di bidang industri dan perdagangan.
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa adanya kenyataan yang berlawanan antara negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat dengan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) dalam menerapkan teori modernisasi atau teori pembangunan tersebut. Jika modernisasi Eropa Barat dan Amerika Serikat yang banyak berperan adalah aktor-aktor non negara maka sebaliknya di negara-negara Dunia Ketiga modernisasi berasal dari peran negara yang sangat besar, bukan masyarakat. Bila modernisasi di Eropa berdampak pada demokratisasi politik, maka sebaliknya yang terjadi di Dunia Ketiga justru menciptakan pemerintahan yang dominan, yang akhirnya menempatkan pembangunan sebagai ideologi.
Dalam hubungan tersebut di atas, terjadilah kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dengan penguasa (negara) dan pengusaha, sehingga muncul "koalisi kepentingan". Untuk kepentingan-kepentingan kelanggenan koalisi inilah maka rakyat dan lingkungan hidup akan mudah dikorbankan. Penguasa negara berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi yang diperoleh karena kewenangannya, sedangkan kekuatan kapitalisme global (yang direpresentasikan oleh korporasi multinasional) berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang terus menerus diperbesar demi kepentingan akumulasi modal. Dalam kerangka ini maka pembuatan peraturan lingkungan ditingkat nasional tidak akan banyak melibatkan peran masyarakat. Padahal mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sesungguhnya tidak sekedar menyangkut prosedur, tetapi juga keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) yaitu masyarakat, LSM dan organisasi profesi.
Pada awal sampai akhir tahun 1990-an, di Indonesia telah disusun dana atau telah diratifikasi perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Perlindungan Keanekaragaman Hayati; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya dikatakannya, apabila dicermati dari substansi perundang-undangan tersebut, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :
a). Peran pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state based resource management);
b). Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (indigenous property rights) yang belum diakui secara utuh;
c). Partisipasi masyarakat (public participation) dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas;
d). Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.
Teori modernisasi di dalam implementasinya di Indonesia masih memberikan peran yang dominan bagi pemerintah (negara). Dominasi tersebut bisa memunculkan bias, sehingga peran masyarakat selaku stakeholder dalam masalah lingkungan menjadi tidak diakui. Terjadilanh kemudian kerusakan lingkungan di Indonesia yang umumnya juga di neagra-negara Dunia Ketiga, karena Dunia Ketiga telah dijadikan sebagai pemasok bahan baku/raw maaterial sebagai bagian dari rangkaian proses-proses perdagangan multilateral.
Hal ini sebenarnya merupakan tuntutan yang sesuai dengan ajaran kapitalisme bahwa ada tiga faktor utama dalam produksi yaitu sumber daya manusia, teknologi dan sumber daya alam. Oleh karena itu, sumber daya alam bisa dieksploitasi secara besar-besaran hanya untuk kepentingan maksimalisasi laba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar