Rabu, 06 Oktober 2010

Etika Lingkungan




1.      GLOBALIZATION, COMMERCIALISATION AND ENVIRONMENTAL PRIVATIZATION (GLOBALISASI, KOMERSIALISASI DAN PRIVATISASI LINGKUNGAN)
·            Happened important friction from seeing environment and natural resources as social goods to commercial goods, from public goods to private goods (Telah terjadi friksi dari memandang lingkungan dan sumber daya alam sebagai barang bersama menjadi barang komersial, dari barang milik umum menjadi barang milik pribadi).
Ø  Berdasarkan deklarasi PBB yaitu ECOSOC Declaration (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) pada bulan November 2002, akses kepada air bersih termasuk ke dalam hak asasi manusia. Dengan demikian, 145 negara yang menandatangani perjanjian internasional tersebut, termasuk Indonesia, harus menjamin setiap warga negaranya untuk memiliki akses kepada air bersih.
Nyatanya, sekitar 1 milyar penduduk dunia tidak memiliki akses pada air bersih, 2 milyar tidak memiliki sanitasi yang memadai, dan setiap tahun 3 juta penduduk meninggal karena berbagai penyakit yang disebabkan oleh air.
Ø  Hal tersebut menyebabkan negara-negara anggota PBB memiliki kewajiban hukum untuk secara progresif merealisasikan hak atas air. Bahkan dalam Stockholm Water Symposium (Simposium mengenai Air di Stockholm) Agustus 2000 yang membahas mengenai krisis air di bumi, dikhawatirkan dalam tahun 2025, dua pertiga penduduk dunia akan mengalami krisis air.
Ø  Untuk menanggapi krisis air tersebut, Bank Dunia mengeluarkan kebijakan privatisasi air yang termasuk didalam paper mengenai "Improving Water Resource Management" yang dikeluarkan Bank Dunia pada tahun 1992. Paper tersebut berisi argumentasi mengenai pentingnya kebijakan untuk menetapkan harga sebagai mekanisme insentif untuk mendorong konsumen lebih efisien dalam penggunaan air. Nantinya harga air yang harus dibayar masyarakat harus dapat menutupi biaya operasional institusi yang mengelola penyediaan air tersebut, dan dengan demikian pemerintah tidak lagi memberikan subsidi. Terkait dengan persoalan privatisasi air ini, kekhawatiran sebagian besar NGO terletak pada kenyataan bahwa privatisasi yang berarti komodifikasi dan komersialisasi air akan mengakibatkan harga air yang semakin mahal bagi kelompok miskin.
Ø  UUD 1945 pasal 33 ayat 2 menjamin hak dasar terhadap air yang setara merupakan hak  asasi setiap manusia. Pasal 33 ayat 2 tersebut menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kalimat tersebut mengandung makna tanggung jawab negara untuk menjamin dan menyelengarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu warga negara.  Dari pasal tersebut tersirat bahwa sumber daya air adalah barang sosial, bahwa rakyat memiliki hak konstitusional terhadap ketersediaan air yang cukup dan layak, kemudian negara (pemerintah) memiliki tangung jawab dan kewajiban untuk memenuhinya.
Ø  Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang disahkan pada tanggal 19 Februari 2004, justru  beberapa pasal memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Dengan adanya privatisasi ini maka hak atas air bagi setiap individu terancam, status air pun akan berubah dari barang publik yang bersifat sosial menjadi sebuah komoditi yang hanya bernilai ekonomi. Lalu tahapan berikutnya akan berlaku sistem full cost recovery atau pemulihan biaya sepenuhnya atas air. Artinya; siapapun termasuk masyarakat miskin, baru akan mendapatkan air apabila ia sangup membayarnya dengan harga tinggi. Hal ini menyebabkan terputusnya akses rakyat atas sumber daya air yang menjadi bagian dari hak asasinya.
Ø  Kebijakan privatisasi diambil setelah hadirnya lembaga perbankan dan keuangan internasional seperti Bank Dunia, ADB, dan IMF yang memberikan pinjaman dengan syarat adanya liberalisasi investasi, liberalisasi arus import barang, swastanisasi, penghapusan subsidi negara, dan peniadaan barang publik. Privatisasi yang merupakan bagian dari hidden agenda tersebut, dengan demikian mendorong perkembangan dari sistem kapitalisme.
·            Globalization and free trade and decentralization triggers capitalization process and environmental privatization and natural resources (Globalisasi, pasar bebas dan desentralisasi mendorong proses kapitalisasi serta privatisasi sumber daya alam dan lingkungan);
Ø  Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk paling mutakhir, seperti yang terjadi globalisasi produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai atau pun karena iklim usaha dan politik yang kondusif.
Ø  Pola globalisasi ekonomi ditandai dengan :
1.   Pertumbuhan tinggi (hypergrowth) dan eksploitasi sumber daya alam serta lingkungan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
2.   Swastanisasi (privatisasi) pelayanan publik,
3.   Penyeragaman (homogenisasi) budaya dan ekonomi global serta promosi konsumerisme,
4.   Integrasi dan konversi ekonomi nasional, dari swasembada menjadi berlandaskan pada pasar,
5.   Deregulasi korporat dan perpindahan modal lintas-batas negara tanpa penghalang atau pembatas,
6.   Pemusatan korporasi menjadi segelintir perusahaan besar saja,
7.   Penghapusan bantuan atau subsidi program pelayanan kesehatan dasar masyarakat, pelayanan sosial lainnya, dan pemeliharaan lingkungan hidup, karena dianggap sebagai biaya,
8.   Penggusuran kekuasaan negara demokrasi dan masyarakat lokal oleh birokrasi korporasi global.
Ø  Dengan adanya globalisasi maka terjadilah perdagangan bebas (free trade) yang didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah/regulasi) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda. Era perdagangan bebas akan menyusutkan peran pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam. Sektor swasta akan menjadi semakin menonjol, dimana perusahaan-perusahaan besar dengan modal kuat akan memonopoli kegiatan perekonomian dunia.
Ø  Desentralisasi merupakan wujud implementasi prinsip subsidiaritas yaitu prinsip etika politik yang menghendaki agar apa saja yang bisa diurus dan ditangani sendiri oleh kekuatan politik yang lebih rendah tidak harus diurus dan ditangani sendiri oleh kekuatan politik atau lembaga pemerintah yang lebih tinggi.
Ø  Globalisasi, perdagangan bebas dan desentralisasi memicu proses kapitalisasi dan privatisasi lingkungan dan sumber daya alam. Prinsip kapitalisme adalah mencari keuntungan dengan berbagai cara, mendewakan hak milik pribadi, persaingan sempurna dan price system yaitu segala sesuatunya berdasarkan peraturan harga untuk mengendalikan komoditas dan penjualan. Perekonomian dunia saat ini yang bersendikan pada sistem kapitalisme hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup 800 juta dari 6.5 miliar manusia. Itupun sudah mengonsumsi 80 % dari semua sumber daya bumi yang tersedia. Jika cara ini diteruskan, sumber daya bumi ini akan segera terkuras habis.
Ø  Pada sistem kapitalisme terdapat kebebasan individu bahkan sedikit campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi, hal yang paling nampak dari sistem ini adalah privatisasi, termasuk juga sektor-sektor strategis yang melayani kepentingan rakyat banyak seperti penggunaan sumber daya air. Hal ini akan mengakibatkan konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal atas kebutuhan dasar mereka. Belajar dari Afrika Selatan dan Ghana merupakan bukti kuat kaitan privatisasi air dengan ancaman gangguan kesehatan dan sendi kehidupan lainnya. Wabah diare pada masyarakat meningkat oleh karena kelompok miskin yang tidak mampu membayar air, beralih ke dam dan sumber-sumber air lain yang tercemar.
Ø  Dampak negatif dari berkembangnya kapitalisme terhadap lingkungan dan sumber daya alam adalah terjadi dominasi pasar, monopolistik, privatisasi dan pemborosan/ekploitasi sumber daya yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Puluhan BUMN yang terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan yang telah atau dalam proses penjualan, seperti PT. Pupuk Kaltim, PTP Nusantara IV, PTP Nusantara IV, PT. Tambang Batubara Bukit Asam, PT. Indofarma, PT. Semen Gresik. Dari keseluruhan BUMN yang dimiliki pemerintah, yang telah atau dalam proses penjualan berjumlah sekitar 160 BUMN.
·            Domination process, ownership and exploiting of natural resources tends to mastered by market (Proses dominasi, kepemilikan dan eksploitasi sumber daya alam ditentukan oleh pasar);
Ø  Sesungguhnya kehidupan 5,2 milyar manusia yang berserak di 182 negara ini, berada di bawah kontrol negara-negara maju yang tergabung dalam G7 (Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jepang, Inggris, Jerman, Perancis). Karena secara riil, keputusan-keputusan yang  menyangkut hajat hidup penduduk dunia tidak lagi ditentukan oleh warganegara (elit politik) yang berada di masing-masing negara, tetapi harus mengikuti keputusan yang digariskan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), lembaga-lembaga keuangan multi-lateral seperti Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), misalnya dengan menjadi anggota WTO, Bank Dunia, IMF dan ADB.
Ø  Sistem pengambilan keputusan dari lembaga-lembaga tersebut didasarkan pada jumlah saham yang disetorkan anggota. Semakin besar saham diberikan, semakin besar suara (vote) negara yang bersangkutan. Pemegang saham terbesar umumnya dipegang oleh negara-negara maju. IMF misalnya, pemegang hak suara terbesar adalah Amerika Serikat (17,5%), Jepang (6,3%) dan Jerman (6,2%). Sedangkan untuk ADB, Amerika Serikat dan Jepang menguasai masing-masing 16,1% saham, dan Kanada (5,4%).
Ø  Lewat tangan WTO, mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia; lewat tangan lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara-negara dan siapa saja yang dapat menikmati kucuran uang lembaga keuangan itu. Lewat aturan IMF, mereka dapat menekan negara-negara untuk mengikuti ‘resep’ mereka: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Kunci utamanya adalah liberalisasi atau pasar bebas, atau dalam bahasa awam bagaimana pasar di dunia terbuka seluas mungkin bagi produk-produk negara maju tersebut. Sehingga dengan sendirinya, ketika ada jaminan bahwa produk-produk mereka terjual di seluruh dunia, maka jaminan keuntungan kapital telah jelas di depan mata.
Ø  Akibat kucuran uang tersebut, utang luar negeri pun semakin membengkak yaitu dari dua miliar dolar Amerika Serikat (AS) tahun 1967 dan sekarang menjadi US$ 81 miliar. Pemerintah Indonesia selain mempunyai utang luar negeri juga punya utang dalam negeri yang dulunya nol menjadi sekitar Rp 600 triliun dengan kewajiban pembayaran bunga minimal Rp 600 triliun lagi, kata Kwik Kian Gie. Ternyata hutang luar negeri yang terus ditumpuk dan hutang pokok yang terus berbunga tidak mampu dibayar, sehingga terus membesar dan sebagai kompensasinya Sumber Daya Alam atau sumber-sumber kehidupan rakyat harus diberikan kewenangannya oleh negara kepada pemilik modal, menaikkan tarif pajak dan biaya publik lainnya (air, listrik, telepon, bahan bakar, tarif angkutan umum, dan lain-lain). Privatisasi dan komersialisasi sumber-sumber kehidupan tengah berlangsung saat ini, mulai sektor air, hutan, benih tanaman pangan, tambang migas dan mineral lainnya, pesisir kelautan, dan lain-lain.
Ø  Tekanan deregulasi yang diusung setiap kali akan memberikan pinjaman, sesungguhnya lebih untuk memaksa negara-negara berkembang dalam menyesuaikan aturannya dengan ‘kehendak’ negara-negara maju. Sementara lewat desakan IMF –yang biasanya tertuang tertuang dalam LOI (Letter of Intent)—aturan-aturan perpajakan yang mendukung pasar bebas diterapkan, Demikian pula aturan-aturan yang dianggap menghambat kepemilikan global atas sumber daya alam harus pula diubah. telah cukup lama mengalami tekanan IMF, dengan dipaksa lahirnya UU Kehutanan dan UU Migas, dan UU tentang Ketenagalistrikan. Warna ketiga UU di atas sangat jelas menuju pada pembongkaran monopoli negara atas sumber daya alam, dengan mengijinkan swasta untuk turut mengelola sumber tersebut.
Ø  Kenyataan ini sudah memperlihatkan siapa sebenarnya yang diuntungkan dari cara eksploitasi lingkungan ini yaitu pemodal-kapitalisme, siapa yang dimiskinkan yaitu rakyat tertindas dan siapa yang harus menerima dampak lingkungan yang rusak yaitu lingkungan itu sendiri dan manusia di sekitarnya yang membutuhkan.Kapitalisme menyebabkan kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya alam cenderung dikuasai oleh hukum pasar, bukan kepada kelompok-kelompok masyarakat adat tradisional setempat yang dianggap tidak mampu mengelola secara efisien dan efektif. Korporasi diberi akses ke pasar manapun secara bebas (liberalisasi) dan diberi wewenang mengatur hajat hidup orang banyak (privatisasi pelayanan publik).
Ø  Peran negara yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakat dalam menghadapi persaingan dengan korporasi raksasa, bahkan tidak mampu mengatur lagi. Ideologi korporasi adalah laba, yang tidak mempertimbangkan “keberlanjutan” ekologis sehingga eksploitasi terus berlangsung yang akhirnya menyebabkan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Sebagai contoh adalah pada proses penambangan batubara, korporasi akan mengekstraksi sumber daya batubara tanpa mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Areal bekas penambangan menjadi danau-danau yang tidak direklamasi dan ditinggalkan begitu saja.
·            Market which unstable will cover expense of area and social cost (Pasar yang tidak stabil menimbulkan biaya wilayah dan sosial);
Ø  Persoalan serius sekarang ini adalah kecenderungan negara-negara maju di Utara untuk menunggangi sistem ekonomi pasar atau sekarang yang lebih dikenal sebagai globalisasi dengan berbagai manuver untuk mengeruk keuntungan dan mengamankan kepentingannya dengan cara yang tidak fair merugikan kepentingan negara-negara sedang berkembang.
Ø  Hal yang paling ironis, kontradiktif dan tidak masuk akal adalah globalisasi itu sendiri dikerangkeng dengan berbagai aturan, yang justru tidak membebaskan pasar global dan tidak menguntungkan semua pihak. Berbagai peraturan perdagangan global sekarang ini dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan sepihak negara-negara maju dengan mengorbankan kepentingan negara sedang berkembang di Selatan. Maka, globalisasi perdagangan malah membuat pasar semakin terkendali dan dibatasi dengan merugikan kepentingan negara-negara sedang berkembang.
Ø  Dalam kaitan dengan itu, sampai sekarang tidak ada peraturan internasional untuk mengendalikan dan membatasi sepak terjang perusahaan-perusahaan multinasional yang dibuat oleh WTO (World Trade Organization). Termasuk didalamnya bagaimana membatasi dan mengendalikan perusahaan-perusahaan tersebut agar tidak merugikan kepentingan masyarakat dan rakyat di negara-negara sedang berkembang, khususnya ketika mereka beroperasi di negara-negara tersebut. Tidak ada ketentuan dan sanksi mengenai pelanggaran yang dilakukan perusahaan-perusahaan itu terhadap buruh, Hak Asasi Manusia, dan lingkungan hidup di negara-negara sedang berkembang. Justru sebaliknya, negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional menggunakan segala cara untuk membela dan menutupi praktik yang merugikan lingkungan hidup yang jelas-jelas menjadi agenda bersama semua pihak.
Ø  Kontras dengan kesepakatan-kesepakatan dibawah rezim WTO adalah kesepakatan-kesepakatan dibidang lingkungan hidup. Ketika perundingan dan negosiasi yang bertujuan untuk melindungi kepentingan global di bidang lingkungan hidup, dengan konsekuensi membatasi ruang gerak dari negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan dari negara maju, contohnya Amerika Serikat, akan dengan segala cara mengelak dan mempengaruhi perundingan sedemikian rupa agar hasilnya tidak benar-benar mengikat.
Ø  Demikian pula, ketika kesepakatan di bidang lingkungan hidup berakibat mempengaruhi kepentingan ekonomi negara-negara maju – khususnya Amerika Serikat- mereka serta merta secara sepihak membatalkan atau mundur dari kesepakatan tersebut. Suatu tindakan yang secara moral jelas tidak fair dan tidak bertanggungjawab. Contoh paling jelas mengenai hal ini adalah Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Konvensi Perubahan Iklim.
Ø  Non intervention yang menjadi inti doktrin pasar bebas justru dilanggar dengan campur tangan berlebihan melalui pengaturan oleh WTO untuk lebih menguntungkan negara-negara maju. Maka tidak berlebihan jika WTO dituding sebagai alat imperialism dan kolonialisme negara-negara maju atas negara-negara berkembang. Dengan demikian, sistem ekonomi pasar yang dimaksudkan untuk memberi peluang bagi semua pemain untuk melakukan interaksi ekonomi secara bebas dan menguntungkan, menjadi rezim yang protektif bagi kepentingan negara-negara maju justru dengan alasan menjaga liberalisasi perdagangan.
Ø  Bonnie Setiawan dalam bukunya Stop WTO:Dari Seattle sampai Bangkok, menuliskan “WTO pada dasarnya merupakan babak baru imperialisme dunia, atau neo-imperialisme global, yang mengancam dan meruntuhkan kedaulatan nasional, merampok secara leluasa sumber daya alam dan hayatinya, serta meninggalkan eksploitasi terhadap rakyat di negara-negara sedang berkembang”.
·            Already happened distortion of market/externality in the form of environmental damage and social un-justice (Telah terjadi distorsi pasar/eksternalitas pada kerusakan lingkungan dan ketidakadilan lingkungan).
Ø  Distorsi pasar (atau ketidaksempurnaan pasar) adalah terjadinya ketidakefisien kondisi ekonomi sehingga mengganggu kegiatan perekonomian, salah satu penyebab adanya distorsi pasar adalah adanya monopoli. Monopolistik mengakibatkan munculnya pengusaha-pengusah besar yang jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi mampu menguasai aset yang sangat besar, termasuk salah satunya adalah aset sumber daya. Sehingga akhirnya sumber daya alam dan kenikmatan yang didapat hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja. Contoh nyata adalah pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Menteri Kehutanan pada 579 konsesi HPH di Indonesia yang didominasi hanya oleh 25 orang pengusaha kelas atas. Masyarakat lokal yang masih menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan dan dari generasi ke generasi telah berdagang kayu, harus diputuskan dari ekonomi kayu (Walhi, 1999). Demikian juga dalam bidang pertambangan Migas (Minyak dan Gas Bumi) dan Pertambangan Umum.  Rakyat penambang emas di Kalimantan Tengah dan Barat misalnya (Pemerintah mengistilahkan mereka sebagai PETI=Pengusaha Tambang Tanpa Ijin), harus tergusur untuk memberikan tempat bagi penambang besar.
Ø  Masyarakat dianggap tidak mempunyai teknologi dan manajemen yang baik, sehingga 'layak' digusur hanya dengan dalih tidak mempunyai ijin. Sedangkan penambang emas besar dianggap akan memberikan manfaat besar karena kemampuan teknologi dan manajemen mereka. Rakyat pendulang emas tidak mendapat tempat sama sekali dalam kebijakan pengelolaan pertambangan, padahal justru masyarakat adatlah yang sudah berpengalaman dan memiliki kerifan lokal (local wisdom), serta mengenal secara turun temurun karakter sumber daya alam yang berkembang di sekitar wilayah ingkungannya.
Ø  Dengan adanya distorsi pasar seperti itu maka timbul kesenjangan antara pengusaha besar, kecil dan menengah. Pengusaha besar dan konglomerat yang jumlahnya sedikit, menguasai sebagian besar aset bangsa. Kesenjangan dalam dunia usaha ini kemudian berkembang menjadi kesenjangan sosial: antara kaya dan miskin, antara Kawasan Indonesia Barat dan Indonesia Timur, antara pribumi dan non pribumi. Terjadi juga kerusakan lingkungan yang pada akhirnya justru dirasakan oleh masyarakat sebagai komunitas yang paling dekat. Rakyatlah yang menanggung resiko terbesar dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam, tanpa mendapat perlindungan selayaknya. Seperti kasus PT. IIU, rakyat tidak dapat lagi menikmati air bersih sumber penghidupan mereka, ladang penggembalaan mereka menghilang, terkena longsor dan banjir. Pemberian HPH seolah-olah anugrah bagi pengusaha untuk memiliki kawasan HPH secara mutlak dan melarang masyarakat lokal untuk turut menikmati hutan tersebut, seperti mengambil damar, gaharu, menggembalakan ternak atau berburu yang mungkin sudah menjadi kebiasaan masyarakat yang sudah bertahun-tahun hidup di sekitar hutan.

2.      ENVIRONMENTAL RIGHTS AND JUSTICE (HAK-HAK DAN KEADILAN LINGKUNGAN)
·         Already happened un-justice of remarkable environment  (telah terjadi ketidakadilan yang luar biasa terhadap lingkungan);
Ø  Eksploitasi sumber daya besar-besaran sebagai akibat distorsi pasar telah menyumbangkan terjadinya kerusakan lingkungan yang luar biasa. Beberapa contoh terjadinya kerusakan lingkungan sebagai akibat pemanfataan sumber daya yang berlebihan dan salah urus adalah sebagai berikut :
1.      Kegiatan penambangan minyak dan gas bumi PT. Arun NGL di Lhokseumawe, NAD berupa pencemaran udara berupa pelepasan gas H2S yang menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat sekitar pabrik, penurunan produksi tanaman dan dampak lainnya.
2.      Di kecamatan puruk Cahu, Kalimantan Tengah pendulang emas tradisional harus tergusur karena lahan tambangnya diberikan kepada perusahaan emas besar dari Australia, PT. Indo Muro Kencana. Sementara sekarang rakyat disekitarnya tidak dapat memakai air sungai karena tercemar limbah pertambangan.
3.      Kerusakan lingkungan fisik, ekonomi dan sosial akibat dari semburan lumpur Lapindo.
·         Uncared environmental base rights; environment is man base rights (ketidakpedulian terhadap hak-hak lingkungan yang mendasar, padahal setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang baik);
Ø  Pemanfaatan alam secara tidak terkendali menimbulkan masalah tata lingkungan alami. Hal ini merupakan dampak dari tingkah laku manusia dalam mengeksploitasi dan menggunakan sumber-sumber daya alam secara tidak seimbang (over stress). Disadari atau tidak, kenyataan ini dapat dilihat melalui praktek-praktek masyarakat, seperti penebasan hutan sampai gundul, pemanfaatan ekosistem pantai (estuaria, mangrove, karang pantai, pasir, kerikil, atau kima), penangkapan ikan laut sampai melampui batas konservasinya, penggunaan alat-alat beracun dan peledak untuk menangkap ikan, berburu binatang-binatang liar, pola pertanian dengan system ladang berpindah.
Ø  Gambaran dari masalah ini dapat kita lihat dari angka-angka berikut ini : setengah dari hutan asli di dunia telah hancur, dimana lebih dari 60% hutan berdaun lebar telah lenyap. Sekitar 45% hutan tropis dan 70% kering tropis hilang. Setiap tahun terjadi kerusakan hutan seluas lebih 160.000 km2 atau setengah wilayah Norwegia. 11 negara kehilangan total dan 28 negara lainnya memiliki lahan hutan yang terancam. Pembakaran hutan berada diurutan yang kedua terbesar emisi gas karbon dibawah pembakaran bahan bakar fosil. Sebanyak 418 juta hektar hutan alam telah lenyap diseluruh dunia selama 30 tahun terakhir dan 10% sejak tahun 1972. Dikhawatirkan bahwa bila tingkat deforestasi berlanjut sebanyak 50-90% dari spesies dihutan akan musnah pada pertengahan abad 21.
Ø  Penyedotan air tanah meningkat menjadi 175% dalam 30 tahun terakhir untuk kegiatan pertanian. Industri pertanian menghabiskan 70% konsumsi air dunia meningkat dari 1.850 km3 pada tahun 1970 menjadi 3.250 km3 pada tahun 2000.
Ø  Jumlah penangkapan ikan global meningkat dua kali lipat dalam 35 tahun terakhir mencapai 137 ton per hari. Akibatnya kapasitasnya menjadi menurun tajam karena penangkapan ikan berlebihan. Eksploitasinya mencapai 150% diatas daya dukungnya.
Ø  Masalah ini merupakan dampak yang kait-mengkait satu dengan yang lain dari kenyataan-kenyataan penting berikut ini, antara lain tingkat pertumbuhan penduduk yang lebih mengungguli tingkat kebutuhan dasar dan kebutuhan lainnya, perkembangan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan taraf hidup, konsumerisme, masalah keterbatasan alam untuk diolah terutama sumber daya-sumber daya yang bersifat non renewable/tidak dapat diperbarui, pengangguran dan lain-lain.
·         Neglecting by right and justice of environment can generate environmental conflict and complex social and acute (Pengabaian hak dan keadilan lingkungan dapat menimbulkan konflik lingkungan dan sosial yang kompleks dan akut);
Ø  Tingkat pencemaran lingkungan secara global dapat dilihat melalui data-data sebagai berikut. Pada tahun 2000 emisi meningkat 18,1% diatas tingkat tahun 1990 di Amerika Serikat, 10,7% di Jepang, 12,8% di Kanada dan 28,8% di Australia. Tingkat konsentrasi CO2 diudara 30% lebih tinggi dewasa ini dibnadingkan dengan pada masa pra industri, meningkat dari 281 ppm pada tahun 1800 menjadi 327 ppm pada tahun 1992 dan 376 ppm pada tahun 2002. Keadaan ini mempengaruhi iklim yang besar.
Ø  Tingkat pencemaran lingkungan yang terjadi diatas mempengaruhi kondisi konsumsi air minum sehat yang diperlukan setiap orang. Tercatat bahwa sekitar 1,2 milyar manusia meminum air yang tercemar. Ratusan juta petani mengalami penderitaan karena pencemaran dari pabrik terhadap sawah ladang dan ternaknya. Ratusan kasus penyakit terkait dengan air menyebabkan kematian lebih dari 5 juta orang setiap tahun. Jumlah ini sepuluh kali lebih banyak dari orang yang terbunuh dalam perang di seluruh dunia.
Ø  Hasil sebuah study dari pemerintah Amerika Serikat menemukan data tentang penyakit kanker di wilayah industri tenaga nuklir. Ada 91 kasus dari 22 tipe kanker yang berbeda di 14 tempat dimana terdapat fasilitas senjata nuklir.
Ø  Setiap hari di seluruh dunia terjadi kehilangan spesies 50 hingga 100 jenis. Jumlah ini 10 ribu kali lebih cepat dibanding kepunahan secara alamiah. Kondisi tingkat kepunahan ini belum pernah terjadi dalam 65 juta tahun terkahir.
Ø  Sejak tahun 1970 terjadi 54 % kemerosotan dalam populasi spesies air tawar,  35 % kemerosotan populasi spesies laut, 15 % kemerosotan populasi dari 282 spesies di hutan (termasuk mangrove). Dari sebuah studi tercatat sekitar 27 % terumbu karang dunia mengalami kerusakan. Terumbu karang adalah habitat bagi kurang lebih seperempat dari seluruh spesies biota laut.
Ø  PBB menyatakan bahwa ada 11.046 spesies hewan dan tanaman saat ini dalam status terancam, meliputi 1.183 spesies burung (12 %), dan 5.611 spesies tanaman.
Ø  Ekosistem laut semakin diperparah dengan jumlah minyak yang tumpah ke perairan laut dari kegiatan transportasi dengan kapal-kapal tanki yang mencapai 50 juta ton setiap tahun.
Ø  Pencemaran karena bahan radioaktif terjadi dimana-mana. Bahan bakar radioaktif dari PLTN di negara-negara OECD meningkat 2 kali lipat dari 4.931 ton pada tahun 1982 menjadi 8.362 ton pada tahun 1995. Lebih dari 4000 pabrik bom nuklir dan pembangkit listrik tenaga nuklir melepaskan limbah radioaktif setiap waktu ke lingkungan.
Ø  WHO menyatakan bahwa 25 % dari faktor kesehatan buruk disebabkan oleh masalah lingkungan, termasuk karena bahan beracun dan berbahaya (B3). Di Amerika Serikat, kanker termasuk tumor otak dan leukemia meningkat 1 % per tahun dan menjadi penyebab urutan kedua kematian bagi anak-anak berusia 1-14 tahun. Angka kanker testis meningkat 3 kali, kanker prostat 2 kali dan jumlah sperma menurun hingga 50 % di antara orang Eropa dan Amerika Serikat sejak tahun 1950. Kanker payudara menyerang satu dari delapan orang di negara-negara maju pada tahun 1993, dibandingkan 1 dari 20 orang pada tahun 1960.  
·         Till now state unable to guarantee environmental base rights and even tends to become important instrument the happening of environmental un-justice (Hingga saat ini pemerintah tidak dapat menjamin hak-hak dasar lingkungan dan bahkan hal tersebut menjadi alasan untuk terjadinya ketidakadilan lingkungan);
Ø  Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menghendaki adanya pengelolaan sumberdaya yang berkeadilan, baik secara ekonomi, sosial maupun lingkungan bagi generasi saat ini maupun generasi yang akan datang. Untuk mewujudkan keadilan intra dan inter generasi ini, pembangunan berkelanjutan berbasiskan tata kelola lingkungan yang baik (Good Sustainable Development Governance) menjadi sangat mutlak. Prinsip ke-10 Rio Declaration 1992 yang ditandatangani 178 pemerintah termasuk Indonesia, memandatkan negara untuk memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, berpartisipasi dan mendapatkan keadilan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Ø  Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat sesungguhnya telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 H. Sedangkan hak atas keadilan juga telah dijamin dalam pasal 28C ayat (2). UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, berpartisipasi dan mendapatkan keadilan. UU ini mengaitkan hak atas informasi dalam pasal 5 ayat (2) dengan hak setiap orang atas lingkungan yang baik dan sehat dalam pasal 5 ayat (1) dan hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam pasal 6 ayat (1).
Ø  Namun pada kenyataannya, pemerintah masih melakukan ketidakadilan lingkungan. Salah satu contohnya adalah dalam penyelesaian konflik industri pertambangan. Tuntutan keadilan yang diajukan masyarakat terhadap industri pertambangan besar di Indonesia, selama ini selalu menemukan jalan buntu. Permasalahan ini menjadi semakin rumit ketika Pemerintah justru menjawab tuntutan tersebut dengan pernyataan kebijaksanaan dan keluaran kebijaksanaan yang mengedepankan sikap arogansi kekuasaan pemerintah yang cenderung memihak kepada kepentingan pengusaha industri pertambangan dan bersandar pada logika investasi, di banding menanggapi realita pemiskinan masyarakat di sekitar tambang.
Ø  Sederet polemik yang ditimbulkan dari perusahaan industri pertambangan, semakin menegaskan, bahwa keberadaan industri pertambangan justru tidak pernah menjadi rahmat bagi rakyat Indonesia terutama bagi masyarakat sekitar pertambangan. Fakta kasus seputar industri pertambangan seperti yang telah terjadi di PT. Newmont Minahasa Raya, , PT. MSM, PT. Exxon Mobil dan PT. Freeport Indonesia (FI) baru- baru ini, secara terang-terangan memberikan bukti tak terbantahkan adanya persoalan “ketidakadilan lingkungan” yang terjadi dan dialami oleh masyarakat sekitar pertambangan. Demonstrasi massa di sekitar wilayah pengusahaan PT Freeport, aksi massa yang menuntut penutupan operasi PT Freeport yang dilakukan di Jakarta maupun tempat lainnya, aksi penyerangan kantor PT Freeport di Jakarta sampai dengan demontrasi dan amuk massa yang berbuntut tewasnya sejumlah aparat TNI, POLRI dan luka-luka sejumlah masyarakat di Papua, aksi penolakan terhadap lahirnya “good will agreement” yang dibuat secara sepihak antara Pemerintah dengan pihak PT. MSM yang tidak mengikutsertakan masyarakat sekitar tambang yang telah menjadi korban pencemaran dan perusakan lingkungan, penolakan masyarakat terhadap kehadiran PT. Exxon Mobil sejak tahun 2001, aksi massa yang menuntut pencabutan AMDAL dan ijin serta penghentian kegiatan operasi PT. MSM adalah realita permasalahan yang tidak dapat dikesampingkan tentang telah terjadinya permasalahan dalam kebijaksanaan pengelolaan sumber daya energi dan pertambangan selama ini yang berujung pada tuntutan “keadilan lingkungan” masyarakat seputar tambang.
Ø  Hal ini terjadi karena adanya persolaan pelik yang tidak pernah tersentuh yaitu, pertama, persoalan yang lahir dari Kontrak Karya (KK) yang selama ini terkesan ‘lambat’ ditinjau ulang pemerintah. Seperti yang ditemukan dalam KK PT FI tertanggal 7 April 1967 yang sampai saat ini terus menerus diperpanjang dan tidak pernah di perbaharui secara substansial, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa realitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan teknologi yang melingkupi kelahiran KK tersebut telah sangat berbeda. Kedua, ketakutan berlebihan dan kurang beralasan terhadap “arbitrase” yang mengakibatkan Pemerintah tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk melakukan tindakan terhadap perusahaaan. Dalam kasus PT FI misalnya, apabila dikaji secara cermat, dalam pasal 16 ayat (2) jelas-jelas disebutkan adanya hak Pemerintah untuk melakukan penangguhan persetujuan dan pembatasan potensi pengembangan lebih lanjut pengusahaan apabila perusahaan melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan atau aktifitas perusahaan mengganggu stabilitas sosial politik di daerah atau mengganggu kepentingan keamanan nasional. Disamping itu, tidak beralasannya ketakutan terhadap "ancaman arbitrase" ini juga bisa dicermati dari ketentuan pasal 26 KK PT FI yang menyebutkan bahwa, perusahaan harus melakukan perlindungan lingkungan hidup dan suaka alam sesuai dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sewaktu-waktu di Indonesia, dengan cara melakukan kegiatan untuk mengurangi kerusakan lingkungan dan menggunakan cara-cara pertambangan yang baik dan secara umum memelihara kesehatan dan keselamatan pegawai dan masyarakat setempat. Artinya, KK yang dibuat sejak tahun 1967 ini harus menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang saat ini berlaku yakni UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hal pilihan penyelesaian sengketa misalnya, pasal 21 KK PT FI ditentukan bahwa segala bentuk kelalaian harus diselesaikan melalui Badan Arbitrse International (yang sifatnya negosiasi). Ketentuan dalam pasal 21 KK PT FI ini bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 30 (2) UU No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang secara prinsip menentukan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan karena kelalaian dan kesengajaan yang dalam UU No. 23 tahun 1997 dikatagorikan merupakan tindak pidana, tidak dapat di selesaikan melalui perundingan baik didalam maupun diluar pengadilan. Ketiga, ketiadaan akses informasi secara tepat isi, tepat waktu, tepat tempat dan tepat sasaran telah menutup akses masyarakat untuk dapat ikut serta dalam proses pengambilan keputusan atau setidaknya mengakibatkan proses pengambilan keputusan, baik dalam tingkat, perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi pengusahaan kegiatan tambang tidak mampu menyerap aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang pada gilirannya mengkaibatkan timbulnya tuntutan atas keadilan lingkungan sebagaimana yang telah terjadi. Keempat, sistem pengelolaan kebijaksanaan negara yang ditempuh dalam penanganan masalah tuntutan keadilan masyarakat sekitar tambang yang tidak didasarkan pada kesetaraan, integrasi dan keseimbangan hubungan diantara masyarakat, perusahaan dan aktor politik (pemerintah dan DPR) telah mengakibatkan penyelesaian masalah menjadi semakin rumit dan berkepanjangan.
Ø  Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pemerintah telah mengabaikan prinsip Keadilan Lingkungan (Environmental Justice) yang telah diakui dan menjadi komitmen masyarakat global dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam, khususnya tambang. Prinsip keadilan Lingkungan ini harus dipandang dari konteks sosial suatu masyarakat, yaitu dengan mengedepankan prinsip konservasi lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA) dan prinsip meningkatkan standar kehidupan. Prinsip keadilan lingkungan adalah tentang keadilan (fairness) dan pemerataan (equitable distribution of benefits) yang timbul dari penggunaan SDA dan upaya meminimalisasi dampak lingkungan, terutama kelompok marginal yang selalu mendapat perlakuan yang tidak adil dalam akses SDA.
Ø  Oleh karenanya pemerintah seharusnya melakukan peninjauan ulang kebijaksanaan di bidang pertambangan berdasarkan prinsip keadilan lingkungan, menegakkan dan mengimplementasikan secara genuine dan konsisten prinsip 3 akses, yaitu, akses keadilan, akses partisipasi dan akses informasi. Prosedur, parameter, indikator dan rentang nilai 3 akses (akses informari, akses partisipasi dan akses keadilan ) yang telah dilahirkan dari konvensi PBB The Aarhus Convention, prinsip 10 Rio, UN Millenium Declaration, Deklarasi HAM, International Covenant on Civil and Political Rights serta kemudian diadopsi dalam pasal 28 F amandemen kedua UUD 1945 dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan berbasiskan tata pemerintahan yang baik (Good Sustainable Development Governance).
·         Public increasingly aware of the rights and claims state to guarantee their rights and creates environmental justice (Kepedulian masyarakat terhadap hak-haknya dan meminta pemerintah untuk menjamin hak-hak mereka dan keadilan lingkungan).
Ø  Masyarakat memiliki hak yang berkaitan dengan lingkungan, dan hal ini telah dijamin dalam Undang-Undang. Tiga hak dasar masyarakat yang dijamin oleh undang undang tersebut adalah hak yang terkait dengan informasi, partisipasi dan keadilan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hak atas akses informasi pada intinya setiap orang berhak memperoleh informasi yang utuh, akurat dan mutakhir untuk berbagai tujuan.
Ø  Akses terhadap informasi dibagi dua tipe yaitu hak masyarakat mendapatkan informasi dan pejabat publik berkewajiban menyediakan informasi tanpa harus didahului adanya permintaan dari masyarakat (akses informasi secara pasti), hak masyarakat untuk menerima informasi dan pejabat publik berkewajiban menyediakan dan memberikan informasi apabila ada permintaan dari masyarakat (akses informasi secara aktif).
Ø  Akses partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi dalam pengambilan keputusan ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu berpartisipasi dalam penetapan kebijakan, rencana dan program pembangunan, berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pada suatu kegiatan tertentu sesuai kepentingannya. Hak akses keadilan merupakan akses untuk memperkuat hak akses informasi maupun hak akses partisipasi. Keadilan adalah hak masyarakat untuk meminta ganti rugi atau biaya pemulihan apabila hak mereka untuk mendapatkan informasi, untuk berpartisipasi dan untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dilanggar.
Ø  Akses masyarakat dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan yaitu pertama di luar pengadilan meliputi sukarela, non pidana, tidak terbatas pada ganti kerugian, jasa pihak ketiga dan lembaga penyedia, kedua di dalam pengadilan meliputi class action, legal standing NGO, gugatan perdata biasa, strict liability dan hak gugat instansi pemerintah. Dalam upaya penegakan hukum lingkungan yang efektif memiliki berbagai kendala, seperti perbedaan persepsi dan rendahnya koordinasi di antara aparat penegak hukum terkait, lemahnya pengetahuan teknis dan integritas aparat penegak hukum (judicial corruption), keterbatasan kapasitas budget dan ketiadaan akses informasi dan partisipasi yang menyebabkan kontrol eksternal menjadi tidak efektif. Hal ini mengakibatkan penegakan hukum lingkungan saat  ini berada pada posisi stagnasi yang berkelamaan, buruknya implementasi dari aturan yang diterbitkan, serta hanya sekedar mengutamakan instrument command and control. Penegakan hukum lingkungan hanya sebagai tools yang bertujuan akhir sebuah compliance. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada hanya kaya akan jumlah namun miskin dengan penataan. Dalam penegakan hukum lingkungan perlu adanya rekonstruksi kembali terhadap perumusan regulasi yang applicable, perlu adanya kesinambungan antara upaya preventif, pre emptive dan represif. Juga perlu adanya pemahaman scientific evidence oleh aparat penegak hukum.

Referensi :
1.      Keraf, Sonny A, Etika Lingkungan, 2006, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
2.      Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, 2009, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
3.       Siahaan, N.H.T, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, 2004, Jakarta, Penerbit Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar