Dua puluh tahun setelah konferensi Stockholm, PBB kembali melakukan konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992, yang lebih popular dengan KTT Rio (Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio). KTT ini dihadiri oleh kurang lebih 100 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan seluruh dunia.
Hasil yang dicapai dalam KTT Rio tersebut adalah :
- Deklarasi Rio (terdiri dari 27 Prinsip);
- Agenda 21;
- Konvensi Tentang Perubahan Iklim;
- Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati; dan
- Prinsip-prinsip tentang Hutan.
KTT Rio menjawab kembali persoalan-persoalan lingkungan, yang setelah dilangsungkannya konferensi Stockholm 1972, permasalahan-permasalahan lingkungan menjadi semakin serius.
Salah satu isu yang sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio adalah prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Pengertian dari Sustainable Development adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Definisi ini diberikan oleh World Commision on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan) sebagaimana tersaji dalam laporan Komisi yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia terangkum dalam buku Our Common Future, yang terumuskan berupa :
“if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”
Istilah pembangunan berkelanjutan kini telah menjadi konsep yang bersifat subtle infiltration, mulai dari perjanjian-perjanjian internasional, dalam implementasi nasional dan peraturan perundang-undangan. Susan Smith dalam bukunya “Incorporating Sustainability Principles in Legislation”, mengartikan sustainable development sebagai meningkatkan mutu hidup generasi kini dengan mencadangkan modal/sumber alam bagi generasi mendatang. Menurutnya, dengan cara ini dapat dicapai empat hal:
- Pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber daya yang dapat diperbarui;
- Melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh (exhaustible resources);
- Pemeliharaan system-sistem pendukung ekologis; dan
- Pemeliharaan atas keanekaragaman hayati.
Dari 27 prinsip Deklarasi Rio, sebagian dapat disebutkan dibawah ini:
Prinsip Pencegahan Dini (Precautionary Principle) Prinsip ini menyatakan bahwa tidak adanya temuan atau pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya mencegah kerusakan lingkungan. Dalam rumusan Prinsip 15 Deklarasi Rio dinyatakan sebagai berikut:
In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by States according to their capabilities. Where are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environment degradation.
Berbagai negara telah menerapkan prinsip ini dalam legislasi nasional, misalnya Ceylon, India, Filipina, Australia.
Prinsip Keadilan Antargenerasi (The Principle of Intergenerational Equity) Negara dalam hal ini harus melestarikan dan menggunakan lingkungan serta sumber daya alam bagi kemanfaatan generasi sekarang dan mendatang. Prinsip keadilan antargenerasi ini terumuskan dalam Prinsip 3 yang menyatakan bahwa hak untuk melakukan pembangunan dilakukan dengan memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. (The right to development must be fulfilled so as to equitably meet developmental and environmental needs of present and future generations).
Prinsip Keadilan Intragenerasi (The Principle of Intragenerational Equity) Prinsip ini menurut Prof. Ben Boer, pakar hukum lingkungan dari Universitas Sydney, menunjuk pada gagasan bahwa masyarakat dan tuntutan kehidupan lain dalam satu generasi memiliki hak untuk memanfaatkan sumber alam dan menikmati lingkungan yang bersih dan sehat. Keadilan intragenerasi dapat diartikan baik secara nasional maupun internasional.
Pada tingkat nasional, pengelolaan diterapkan dalam akses yang adil kepada sumber daya alam bersama, udara bersih, air bersih dalam sumber daya air nasional dan laut territorial. Hal ini juga mengarah kepada masalah perlunya pembatasan-pembatasan pemerintah atas penggunaan milik-milik pribadi. Sedangkan pada tingkat nasional, keadilan intra generasi menyangkut kepada penerapan alokasi yang adil dari system udara, perairan dan sumberdaya laut internasional. Baru-baru ini terdapat analisis yang menyatakan bahwa keadilan intragenerasi menjadi keadilan di antara penghuni-penghuni bumi pada suatu waktu. Konsep ini berarti bahwa : “…all people are entitled to basic needs, which may be taken to include a healthy environment, adequate food and shelter, and cultural and spiritual fulfillment. To achieve this, a transfer of wealth and technology from higher to lower income countries may be necessary in many cases.”
Hal ini juga berimplikasi bahwa negara-negara yang lebih makmur khususnya, harus mengurangi konsumsinya terhadap factor-faktor barang, air, dan udara.
Prinsip Integrasi (The Principle of Integration) Dalam mencapai sasaran perlindungan, pemulihan dan peningkatan kualitas lingkungan, pemerintah atau setiap pengambil keputusan hendaknya mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Syaratnya ialah bahwa ada integrasi yang efektif atas pertimbangan-pertimbangan ekonomi (pembangunan) dengan lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan. Asas ini diadopsi dalam Prinsip 4 bahwa “…environmental protection shall constitute an integral part of the development process …” dan karenanya tidak dapat dipandang sebagai terpisah dari maksud tersebut.
Prinsip Kerja Sama (Principle of Cooperation) Prinsip ini diatur dalam Prinsip 7 yang pada dasarnya bertujuan agar negara-negara melakukan kerja sama secara spirit of global partnership dalam melindungi dan melestarikan lingkungan. Dalam prinsip kerja sama ini dicapai suatu consensus bahwa berdasarkan perbedaan kerusakan lingkungan (karena perbuatan masing-masing negara), semua negara mempunyai kewajiban bersama untuk melestarikan lingkungan namun tingkat kewajiban ini hendaknya berbeda satu sama lain. Negara-negara maju mengakui tanggung jawab mereka untuk melakukan upaya pada tingkat internasional dalam rangka pencapaian pembanungan berkelanjutan. Hal ini tentu dapat diterima karena tekanan lingkungan yang ada secara global lebih merupakan hasil aktivitas masyarakat mereka, dan berkenaan pula dengan kemampuan teknologi serta sumber keuangan yang mereka miliki.
Prinsip Pengelolaan Lingkungan Tanpa Merugikan Deklarasi Rio juga tidak lupa merumuskan prinsip mengenai kedaulatan negara untuk mengelola/memanfaatkan sumber daya alam tanpa merugikan negara lain (right to exploit resources but responsible do not cause damage to the environment of other States) (Prinsip 2). Prinsip ini diadopsi dari Prinsip Deklarasi Stockholm (Prinsip 21), di mana prinsip ini merupakan asas hukum Romawi yang dikenal dengan Prinsip Sic Utere.
Referensi :
- Siahaan, Nommy Horas Thombang, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta.
- Hardjasoemantri, Koesnadi, 2005, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Kedelapan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar