Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang diiringi oleh makin majunya ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi maka mendorong peningkatan penggunaan bahan kimia di hampir semua aktivitas kehidupan, khususnya lini manufaktur. Penggunaan bahan kimia tersebut bertujuan untuk menghasilkan produk-produk kebutuhan manusia, mulai dari produk perawatan rumah tangga, perawatan kulit dan tubuh hingga produk-produk yang digunakan untuk keperluan manufaktur.
Berikut adalah gambaran pertumbuhan penggunaan bahan kimia berdasarkan informasi yang dijabarkan dalam Statistical Handbook, Chemicals Manufacturers Association, Inc., 10th Ed., 1999 dan http://en.wikipedia.org.
GTahun Nilai Produk Kimia
1970 US$ 171.3 milyar
1980 US$ 712.6 milyar
1990 US$ 1.232.1 milyar
2000 US$ 1.503.2 milyar
2008 US$ 3.000 milyar
Berdasarkan serangkaian penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa meningkatnya penggunaan bahan kimia berbanding lurus dengan tingkat bahaya yang dihasilkan baik bagi manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Dampak bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia bersifat irreversible.
Berdasarkan penelitian tersebut maka masyarakat Uni Eropa menerapkan kebijakan tentang penggunaan bahan kimia yang terkandung dalam setiap produk. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan tentang pengelolaan bahan kimia adalah REACH, yang merupakan kepanjangan dari Registration, Evaluation, Authorisation, and Restriction of Chemical Substances. Regulasi tersebut tertuang dalam keputusan parlemen Eropa EC 1907/2006 tentang REACH.
Berbeda dengan faktor hambatan teknis yang ditetapkan dalam TBT WTO (Technical Barrier to Trade–World Trade Organisation), REACH merupakan regulasi manajemen keselamatan bahan kimia yang berlaku bagi legal entity yang berasal dan berkedudukan di Uni Eropa. Tanggung jawab tersebut melibatkan para pemasok bagi para pelaku usaha tersebut, baik yang berasal dari Uni Eropa maupun yang berasal dari luar Uni Eropa.
PEMBERLAKUAN REACH
Sesuai dengan kepanjangannya, REACH terdiri atas 4 tahap utama sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Program Kerja REACH
REGISTRATION
Tahap Registration merupakan tahap dimana senyawa kimia yang terkandung dalam produk-produk yang akan dikirim ke pasar Uni Eropa diinformasikan ke agensi yang telah ditunjuk, yakni ECHA (European Chemical Agency). Agensi ini berkedudukan di Helsinki, Filandia dan memiliki kantor perwakilan di negara-negara Uni Eropa. Terkait dengan tahap Registration, tugas agensi adalah mengecek bahwa pelaku usaha telah mengisi dengan lengkap dokumen-dokumen teknis yang dipersyaratkan dan membayar sejumlah biaya yang telah ditetapkan.
Mengingat REACH merupakan aturan baru, maka pelaksanakan registrasi (Registration Phase) dibagi menjadi 2 tahap, yakni fase pre-registrasi (Pre-Registration) dan fase registrasi (Registration). Adapun keseluruhan dari tahapan registrasi dapat diterangkan sebagai berikut.
Tahap Registrasi dalam REACH
1. PRE-REGISTRATION
Fase Pre-registrasi merupakan fase awal dari pemberlakuan REACH. Fase ini dimulai sejak 1 Juni 2008 dan berakhir pada tanggal 30 November 2008.
Selama fase Pre-Registrasi, para pelaku usaha dapat menginformasikan bahan-bahan kimia yang digunakan dan terkandung di dalam produknya sebelum memasuki pasar Uni Eropa. Bagi industri dalam negeri, informasi tentang bahan kimia yang digunakan tersebut dapat dilakukan dengan cara menghubungi rekanan atau importir yang berkedudukan di Uni Eropa atau dapat juga menghubungi legal entity yang dapat mewakili perusahaannya. Perwakilan tersebut dikenal dengan istilah Only Representative, OR.
Pada fase Pre-Registrasi tidak ada beban pembiayaan. Apabila pihak pelaku usaha, baik dari Uni Eropa (UE) maupun non-UE, telah menginformasikan bahan-bahan kimia yang digunakannya maka dapat langsung memasuki pasar UNi Eropa.
2. REGISTRATION
Pada prinsipnya, proses registrasi mewajibkan seluruh senyawa kimia yang diperdagangkan di pasar Uni Eropa didaftarkan terlebih dahulu dengan mengacu pada jumlah akumulasi transaksi minimal sebesar 1 ton per tahun untuk setiap substance yang terlibat. Setelah proses evaluasi dan otorisasi, barulah ditentukan senyawa mana saja yang perlu didaftarkan sehubungan dengan pelaksanaan program REACH.
Nilai transaksi minimal 1 ton per tahun tidak berlaku untuk senyawa atau bahan kimia yang dikatregorikan sebagai SVHC (substance of very high concern).
Senyawa yang perlu diregistrasi adalah senyawa-senyawa kimia yang telah tercatat dalam EINECS (European Inventory for Existing Commercial Chemical Substances), yang selanjutnya dikenal dengan istilah Existing Substance atau Phase-in Substance. Sedangkan senyawa-senyawa yang berada di luar daftar EINECS, yang dikategorikan sebagai New Substances atau Non Phase-in Substances, harus dilakukan pengujian dan analisis toxicology dan non-toxicology oleh laboratorium yang memiliki sertifikasi GLP (Good Laboratory Practice) sebelum dilakukan registrasi dalam program REACH.
Pihak yang wajib melakukan registrasi dalam regulasi REACH adalah pihak industri manufaktur (manufacturer), importir, dan Only Representative (OR) yang berkedudukan di negara Uni Eropa.
Apabila melibatkan material kimia ataupun produk yang mengandung senyawa kimia, maka ketiga pihak tersebut wajib menyediakan data informasi manajemen keselamatan kimia dengan cara meminta pemasoknya (supplier) untuk menyediakan informasi tersebut.
Pihak pemasok non-UE dapat bekerja sama dengan rekanan mereka (importir) di wilayah Uni Eropa untuk meregistrasi senyawa kimia yang akan ditransaksikan. Selain itu, pihak pemasok tersebut dapat meregistrasi melalui badan independen yang berkedudukan di Eropa atau lebih dikenal dengan istilah OR (the Only Representative). Khusus tentang OR, lembaga perwakilan tersebut berkewajiban membantu industri di luar komunitas Uni Eropa untuk melakukan berbagai kegiatan yang berkenaan dengan persyaratan registrasi senyawa kimia, khususnya terhadap senyawa-senyawa yang dikategorikan sebagai New Substances.
Berikut adalah rentang volume bahan kimia yang dikenal dengan istilah tonnage band dan menjadi dasar pembayaran pada fase Registrasi.
Rentang Tonnage Band
No Rentang Tonnage Band
1 1 – 10 ton per tahun
2 10 -100 ton per tahun
3 100 – 1.000 ton per tahun
4 Lebih dari 1.000 ton per tahun
Besarnya nilai yang harus dibayar oleh pelaku usaha terkait dengan bahan kimia yang digunakan harus disesuaikan dengan ketetapan pembiayaan yang telah diharmonisasikan dalam regulasi EC 340/2008 tentang Biaya dan Beban yang harus Dibayarkan ke European Chemical Agency (ECHA).
DOKUMEN DAN DISTRIBUSI INFORMASI
Pihak yang ditunjuk oleh pemasok-pemasok di luar komunitas Uni Eropa berkewajiban untuk membantu rekanannya di Uni Eropa untuk menyiapkan data-data yang diperlukan sehingga lengkap dan terpenuhi seluruh apek yang dipersyaratkan di dalam regulasi REACH. Selanjutnya informasi manejemen keselamatan tersebut dikirim ke ECHA (European Chemical Agency), yakni sebuah agensi resmi yang ditunjuk oleh masyarakat komunitas Eropa sebagai pusat aktivitas untuk melaksanakan dan menerapkan program REACH. Sesuai dengan fungsinya, badan tersebut tidak akan menerima informasi manejemen keselamatan apabila tidak lengkap.
Informasi manajemen keselamatan senyawa kimia harus dilaporkan setiap tahunnya. Hal tersebut mengacu kepada diwajibkannya informasi tentang rencana total ekportasi per tahun tentang pengiriman senyawa kimia dengan mengacu kepada standar rentang tonnage yang telah ditetapkan.
Perubahan atau pembaharuan mekanisme transaksi perdagangan produk yang mengandung bahan kimia untuk memasuki pasar Uni Eropa akan mempengaruhi rantai pasok secara keseluruhan dan berdampak pada beban dan pembiayaan yang nantinya dikeluarkan.
EVALUASI (EVALUATION)
Apabila seluruh data tentang informasi manajemen keselamatan senyawa kimia telah diterima, selanjutnya komisi-komisi yang berkompeten di ECHA akan melakukan evaluasi terhadap informasi tersebut.
Proses evaluasi terdiri atas 2 (dua) kelompok kerja yang berbeda, yakni:
1. Evaluasi Dokumen tentang Informasi Manajemen Keselamatan
Kegiatan evaluasi ini melakukan pengecekan kualitatif terhadap dokumen-dokumen yang masuk dengan mengacu kepada regulasi yang telah ditetapkan
Selain itu, kegiatan evaluasi ini juga melakukan pemeriksaan terhadap proposal pengujian yang bertujuan untuk mencegah pengujian yang tidak penting dengan melibatkan hewan (to prevent unnecessary animal testing). Apabila diperlukan pihak ECHA akan mengundang pihak ketiga untuk memperkenalkan informasi guna menghindari pengujian dengan menggunakan hewan-hewan vertebrata.
2. Evaluasi terhadap Senyawa
Evaluasi terhadap senyawa dilakukan oleh ECHA untuk mengklafikasikan kemungkinan-kemungkinan bahaya yang mempengaruhi kesehatan manusia dan lingkungan dengan meminta informasi mendalam dari industri dan masyarakat luas.
OTORISASI (AUTHORIZATION)
Otorisasi merupakan mekanisme yang dilaksanakan oleh ECHA untuk menentukan apakah senyawa-senyawa yang masuk ke dalam kategori SVHC (Substances of Very High Concern) dapat ditempatkan di pasar-pasar Uni Eropa. Selain itu juga kegiatan ini menetapkan persyaratan penggunaan senyawa-senyawa tersebut.
Senyawa-senyawa tersebut memiliki sifat beracun (hazardous properties) yang perlu mendapatkan perhatian khusus guna diatur secara terpusat melalui mekanisme yang memastikan bahwa resiko-resiko yang berkenaan dengan penggunaannya di lapangan telah dipahami, dipertimbangkan, dan diputuskan oleh komunitas Uni Eropa. Hal ini dipandang perlu mengingat seriusnya dampak senyawa-senyawa tersebut bagi manusia dan lingkungan.
ECHA akan mengumumkan daftar senyawa-senyawa yang memiliki kriteria tersebut di atas dan merefleksikannya ke dalam rencana kerja jangka panjang yang melibatkan masukkan dari pihak-pihak yang berkompeten.
PEMBATASAN (RESTRICTION)
Prosedur pembatasan (restriction) memungkinkan untuk meregulasi komunitas Uni Eropa secara luas yang berhubungan dengan kondisi manufaktur, penempatan senyawa kimia tertentu di pasar dimana diketahui terdapat resiko yang tidak dapat diterima dan berpengaruh terhadap lingkungan, ataupun berkenaan dengan aktivitas tertentu.
Setiap aktivitas yang menggunakan senyawa kimia tertentu tidak dibatasi sejauh regulasi yang ditetapkan oleh ECHA tidak mencantumkan batasan-batasan tentang penggunaan senyawa tersebut. Namun apabila ECHA telah menetapkan batasan-batasan penggunaannya, maka pemanfaatan senyawa tersebut harus tunduk pada regulasi yang telah ditetapkan tersebut.
SUBSTANCE OF VERY HIGH CONCERN (SVHC)
Substance of Very High Concern (SVHC) secara berangsur-angsur akan termasuk dalam Annex XIV Regulasi REACH. Ketika termasuk dalam Annex tersebut, mereka tidak dapat ditempatkan dalam pasar atau digunakan, kecuali perusahaan sudah digaransi dengan otorisasi.
SVHC terdiri atas:
Karsinogenik, mutagenik, atau toksik terhadap reproduksi (CMR) yang diklasifikasikan dalam kategori 1 dan 2
Persisten, Bioakumulatif, dan Toksik (PBT) atau sangat Persisten dan sangat Bioakumulatif (vPvB) sesuai dengan kriteria yang terdapat dalam Annex XIII dalam Regulasi REACH, dan/atau
Substance yang diidentifikasi secara kasus per kasus melalui pendekatan ilmiah yang menyebabkan pengaruh yang serius terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup atau tingkat bahayanya ekivalen dengan jenis substance di atas, misalnya menggangu endokrin
Substance ini memiliki sifat bahaya yang menuntut perhatian tinggi. Hal ini penting untuk mengatur penggunaan substance tersebut karena pengaruh bahayanya sangat serius dan irreversible terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Tidak ada batasan tonnase yang harus dicapai untuk substance yang akan menjadi subjek otorisasi.
ECHA telah mengeluarkan daftar substance yang akan menjadi kandidat dalam proses otorisasi, yang kesemuanya merupakan substance dengan kategori SVHC. Kemungkinan daftar ini akan terus bertambah, oleh karena itu disarankan untuk terus memperbaharui daftar substance yang menjadi kandidat dalam proses otorisasi dengan secara teratur mengunjungi situs ECHA. Berikut ini merupakan daftar substance yang menjadi kandidat dalam proses otorisasi:
Daftar Substance yang Termasuk Dalam Kandidat Otorisasi
Substance name CAS Number Date of Inclusion Reason for Inclusion Decision Number
Triethyl arsenate 427-700-2 28 October 2008 Carcinogenic (article 57a) ED/67/2008
Anthracene 204-371-1 28 October 2008 PBT (article 57d) ED/67/2008
4,4'- Diaminodiphenylmethane (MDA) 202-974-4 28 October 2008 Carcinogenic (article 57a) ED/67/2008
Dibutyl phthalate (DBP) 201-557-4 28 October 2008 Toxic for reproduction (article 57c) ED/67/2008
Cobalt dichloride 231-589-4 28 October 2008 Carcinogenic (article 57a) ED/67/2008
Diarsenic pentaoxide 215-116-9 28 October 2008 Carcinogenic (article 57a) ED/67/2008
Diarsenic trioxide 251-481-4 28 October 2008 Carcinogenic (article 57a) ED/67/2008
Sodium dichromate 234-190-3 (7789-12-0 dan 10588-01-9) 28 October 2008 Carcinogenic, mutagenic and toxic to reproduction (articles 57a, 57b and 57c) ED/67/2008
5-tert-butyl-2,4,6-trinitro-m-xylene (musk xylene) 201-329-4 28 October 2008 vPvB (article 57e) ED/67/2008
Bis(2-ethylhexyl)phthalate
(DEHP) 204-211-0 28 October 2008 Toxic to reproduction (article 57c) ED/67/2008
Hexabromocyclododecane (HBCDD) and all major diastereoisomers identified:
Alpha-hexabromocyclododecane
Beta-hexabromocyclododecane
Gamma-hexabromocyclododecane 247-148-4 dan 221-695-9
134237-50-6
134237-51-7
134237-52-8 28 October 2008 PBT (article 57d) ED/67/2008
Alkanes, C10-13, chloro (Short Chain Chlorinated Paraffins) 287-476-5 28 October 2008 PBT and vPvB (article 57d - e) ED/67/2008
Bis(tributyltin)oxide (TBTO) 200-268-0 28 October 2008 PBT (article 57d) ED/67/2008
Lead hydrogen arsenate 232-064-2 28 October 2008 Carcinogenic and Toxic to reproduction (articles 57a and c) ED/67/2008
Benzyl butyl phthalate (BBP) 201-622-7 28 October 2008 Toxic to reproduction (article 57c) ED/67/2008
Kriteria untuk identifikasi substance dengan kategori SVHC terdapat dalam Annex XIII dari Regulasi REACH. Identifikasi SVHC dalam article bertujuan untuk menghitung jumlah SVHC yang terkandung dalam article. Hal ini Penting untuk melakukan identifikasi SVHC pada article karena pada tanggal 1 Juni 2011 merupakan awal dari dilakukannya notifikasi SVHC dalam article.
Jika terdapat substance dengan kategori SVHC maka pihak industri menyediakan:
Chemical Safety Report meliputi resiko yang berhubungan dengan sifat bahaya substance tersebut yang menyebabkan substance tersebut menjadi subjek dalam sistem otorisasi
Analisis yang memungkinkan alternatif penggantian substance dengan subtituen lain yang lebih aman, termasuk teknologi yang tepat, informasi mengenai riset dan pengembangan yang direncanakan ataupun sudah dalam tahap proses dalam mengembangkan beberapa alternatif penggantian substance yang tergolong SVHC tersebut. Selain analisis tersebut juga dibuatkan analisis sosial- ekonomi jika belum ada alternatif yang tepat untuk penggantian substance tersebut.
Selain itu, dalam Annex XV dari Regulasi REACH untuk substance dengan kategori SVHC dipersyaratkan adanya dossier. Adapun dossier tersebut terdiri atas 3 bagian, yaitu:
1. Dossier untuk harmonisasi klasifikasi dan penandaan untuk substance dengan kategori CMR, sensitisasi pernafasan, dan efek lainnya. Dossier ini terdiri atas tiga bagian utama, yaitu:
a) Proposal. Proposal harus mencakup identitas substance yang bersangkutan dan harmonisasi klasifikasi dan penandaan yang diajukan.
b) Justifikasi. Suatu perbandingan dari informasi yang tersedia dengan kriteria CMR, sensitisasi pernafasan dan efek lain yang dipelajari secara kasus per kasus dalam Directive 67/548/EEC sesuai dengan bagian-bagian yang relevan dari Annex I yang harus dilengkapi dan didokumentasikan dalam format yang sudah ditetapkan dalam B dari Chemical Safety Report.
c) Justifikasi untuk efek lainnya di tingkat komunitas. Justifikasi ini harus disediakan, hal ini terkait dengan adanya kebutuhan untuk tindakan yang ditunjukkan pada tingkat komunitas.
2. Dossier untuk Identifikasi suatu substance sebagai CMR, PBT, vPvB atau resikonya setara dengan Artikel 59 dari regulasi REACH. Bagian dossier ini terdiri atas 3 bagian utama, yaitu:
a) Proposal. Proposal harus mencakup identitas substance yang bersangkutan, dan ringkasan bahwa substance diidentifikasi sebagai CMR menurut artikel 57 (a), (b), atau (c), atau diidentifikasi sebagai PBT menurut artikel 57 (d), atau diidentifikasi sebagai vPvB menurut artikel 57 (f).
b) Justifikasi. Suatu perbandingan informasi yang tersedia dengan kriteria dalam Annex XIII untuk PBT sesuai dengan artikel 57 (d), dan vPvB menurut artikel 57 (e), atau assessment terhadap bahaya dan perbandingan dengan artikel 57 (f), sesuai dengan bagian yang relevan dari bagian 1 sampai 4 dari Annex I dari Regulasi REACH yang harus dilengkapi. Bagian ini harus didokumentasikan dalam format yang ditetapkan dalam bagian B dari Chemical Safety Report dalam Annex I.
c) Informasi Mengenai Paparan, Substance Alternatif, dan Resiko. Informasi penggunaan substance, informasi paparan, dan informasi substance alternatif serta teknologi yang digunakan harus disediakan.
3. Dossier untuk pembatasan. Bagian dossier ini terdiri atas 3 bagian utama, yaitu:
a) Proposal. Proposal harus mencakup identitas substance dan pembatasan yang diusulkan untuk manufaktur, penempatan di pasar, penggunaan, dan ringkasan justifikasi.
b) Informasi tentang Bahaya dan Resiko. Resiko yang akan dihadapi harus dijelaskan yang didasarkan pada assessment terhadap bahaya dan resiko yang sesuai dengan bagian-bagian yang relevan pada Annex I dan harus didokumentasikan dalam format yang ditetapkan pada Bagian B dari Chemical Safety Report.
c) Informasi tentang Alternatif. Pada bagian ini harus disediakan informasi alternatif substance dan teknik alternatif yang meliputi:
- Informasi tentang resiko bagi kesehatan manusia dan lingkungan terkait dengan manufaktur ataupun penggunaan dari alternatif substance.
- Ketersediaan alternative substance.
- Kelayakan teknis dan kelayakan ekonomis.
d) Justifikasi untuk pembatasan di tingkat komunitas. Justifikasi harus disediakan untuk:
- Tindakan yang diperlukan pada masyarakat luas,
- Pembatasan yang tepat oleh masyarakat luas akan dinilai dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
(i) Keefketifan: pembatasan harus ditargetkan untuk efek atau paparan yang dapat menimbulkan resiko dapat diidentifikasi, mampu mengurangi resiko tersebut ke ke tingkat yang dapat diterima dalam jangka waktu yang wajar.
(ii) Praktis: pembatasan harus dapat diimplementasikan, dapat dilaksanakan, dan dapat dikelola.
(iii) Dapat dipantau: Pembatasan harus dapat memantau hasil implementasi pembatasan yang diusulkan.
e) Penilaiaan Sosial-Ekonomi. Dampak Sosial-ekonomi dari pembatasan yang diusulkan dapat dianalisis dengan mengacu pada Annex XVI dari Regulasi REACH. Untuk tujuan ini, manfaat terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dari pembatasan yang diusulkan dapat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh produsen, importer, pengguna hilir, distributor, konsumen, dan masyarakat secara keseluruhan.
PENGARUH REACH TERHADAP INDUSTRI KIMIA HULU NASIONAL
REACH merupakan regulasi manajemen keselamatan bahan kimia terharmonisasi dan secara otomatis patuh (comply) terhadap regulasi keselamatan terharmonisasi lainnya yang berlaku di wilayah Uni Eropa. Tidak seperti aturan TBT WTO, REACH berlaku umum di wilayah Uni Eropa namun pelaksanaan dan sanksi yang akan diterapkan nantinya diserahkan ke tiap-tiap negara (country-to-country based) yang menerapkan regulasi REACH.
Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah Uni Eropa merupakan kelompok negara yang sangat memperhatikan konsumen pengguna produk-produk manufaktur di wilayahnya. Berdasarkan hal tersebut, meski REACH diberlakukan secara umum di wilayah Uni Eropa dan penerapan pelaksanaannya diserahkan ke masing-masing negara namun persyaratan teknis terhadap produk yang akan memasuki wilayah Uni Eropa pada akhirnya ditentukan oleh konsumen (voice of customer).
Contoh dari penerapan manajemen keselamatan REACH yang berfokus kepada suara konsumen (voice of customer) adalah dipersyaratkannya uji kandungan phthalate dalam produk boneka oleh sejumlah konsumen di Uni Eropa. Meski tidak berlaku di seluruh konsumen, namun pengujian kandungan phatalate akan menjadi beban tersendiri bagi pihak industri dalam negeri. Kondisi yang sama juga terjadi pada produsen furnitur berbasis rotan.
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh para produsen di wilayah Cirebon, persyaratan yang ditetapkan oleh konsumen furnitur rotan di Uni Eropa menyebabkan turunnya kinerja ekspor produk tersebut dari rata-rata sekitar 120 kontainer per bulan menjadi 30 kontainer per bulan.
PERUBAHAN LINI INDUSTRI
REACH menetapkan bahwa senyawa kimia yang terkandung di dalam produk yang berada di wilayah Uni Eropa harus dapat diketahui nilai dan mata rantai pasoknya. Hal tersebut terkait dengan adanya mekanisme pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh setiap pelaku usaha yang menjadikan Uni Eropa sebagai orientasi pasarnya.
Persyaratan tersebut pada akhirnya mendorong industri-indsutri nasional untuk lebih mempersiapkan diri jika menjadikan Uni Eropa sebagai target pasarnya baik untuk saat ini maupun di masa mendatang. Oleh karenanya, industri dalam negeri hendaknya melakukan serangkaian langkah sebagaimana diuraikan di bawah sebelum memasuki pasar Uni Eropa :
Melakukan analisis mendalam tentang dampak pemberlakuan REACH bagi tujuan pasar dan orientasinya di masa kini dan masa mendatang, termasuk di dalamnya melakukan analisis mendalam tentang pasar dan etika bisnis yang terkait;
Analisis terhadap investasi secara menyeluruh yang harus dikeluarkan sehubungan dengan pemenuhan aspek teknis dalam REACH dan persyaratan konsumen di negara tujuan;
Memahami aliran rantai pasokan dari setiap bahan baku yang digunakan, mulai dari supplier hingga dokumen teknis yang diperlukan;
Memahami persyaratan pembuatan dokumen teknis, khususnya bagi industri nasional yang menghasilkan produk-produk yang dikategorikan sebagai substance (senyawa kimia) ataupun preparation (mixture di dalam GHS), dimana dasar pembuatannya dapat dilihat pada sejumlah peraturan yang telah diterbitkan, antara lain :
- Peraturan Menteri Perdagangan No. 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya jo. Peraturan Menteri Perdagangan no. 4 tahun 2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya ;
- Peraturan Menteri Perindustrian no. 24 tahun 2006 tentang Pengawasan Produksi dan Penggunaan Bahan Berbahaya untuk Industri ; dan
- Peraturan Menteri Perindustrian no. 87/M-IND/PER/9/2009 tentang Sistem Harmonisasi Global Klasifikasi dan Label pada Bahan Kimia.
Pemahaman secara menyeluruh tentang prinsip dasar Manajemen Keselamatan Bahan Kimia dan menerapkan di lini industrinya.
Pemahaman dan penerapan manajemen keselamatan yang merupakan dampak dari pemberlakuan REACH menuntut pemerintah untuk melakukan pembinaan lebih di lini industri. Sejumlah kesiapan yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut antara lain :
Menyediakan alat pengawasan dan pemantauan tentang manajemen rantai pasok berskala nasional dengan melibatkan partisipasi aktif sektor yang dibinanya;
Melakukan sosialisasi dan pembinaan secara konsisten tentang manajemen keselamatan kimia;
Melakukan koordinasi dengan departemen teknis terkait lainnya mengingat luasnya cakupan sektor terkait dengan pemberlakuan REACH di Uni Eropa;
Melakukan pembaharuan informasi secara aktif tentang pemberlakuan manajemen keselamatan kimia, baik yang berlaku di Uni Eropa maupun di negara-negara tujuan ekspor lainnya serta ketentuan yang dikeluarkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
DAMPAK POSITIF REACH BAGI INDUSTRI NASIONAL
Pengamatan sepintas terhadap REACH bagi industri nasional tampaknya sangat memberatkan sektor industri dalam negeri. Persiapan dan pemahaman teknis yang mendalam tentang regulasi REACH dan persyaratan teknis, beban pembiayaan yang telah ditetapkan, dan keterkaitan dengan regulasi manajemen keselamatan bahan kimia lainnya menambah berat beban industri nasional di tengah-tengah krisis finansial global yang kini tengah melanda.
Pendalaman terhadap informasi yang diperoleh dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pemberlakuan REACH dapat memberikan dampak positif bagi industri nasional, khususnya sehubungan dengan peningkatan kinerja ekspor dan daya saing produk-produk nasional.
Berdasarkan informasi dari http://ec.europa.eu/consumers/safety/rapex/index_en.htm tentang produk berbahaya, diketahui bahwa sejumlah produk dari negara China, Malaysia, dan negara lainnya dikembalikan (re-ekspor) karena tidak memenuhi persyaratan teknis baik yang ditetapkan dalam regulasi REACH maupun regulasi manajemen keselamatan lainnya. Kondisi memberikan gambaran bahwa pada saat ini terjadi kekosongan pasar di Uni Eropa akibat pemberlakuan sejumlah regulasi, termasuk REACH di dalamnya.
Sedangkan untuk meraih posisi kosong tersebut, industri-industri nasional harus memenuhi persyaratan dan ketetapan yang diatur dalam regulasi REACH.
Berdasarkan uraian di atas, pemberlakuan REACH terhadap produk-produk yang mengandung bahan kimia di wilayah Uni Eropa dapat mempengaruhi kinerja dan daya saing produk-produk nasional di pasar domestik dan internasional. Meski sepintas tampak menambah beban industri, pemenuhan persyaratan teknis yang ditetapkan dalam REACH dapat berpotensi untuk mengambil alih kekosongan pasar akibat re-ekspor sejumlah produk dari negara-negara tetangga.
Selain itu, pemberlakuan REACH di lini industri dalam negeri dapat meningkatkan kualitas hidup bangsa karena faktor K3LM diperhatikan dengan ketat oleh sektor industri nasional.
Oleh karenanya, pemberlakuan REACH hendaknya disikapi dengan bijak oleh pihak-pihak yang terkait, yakni pemerintah, sektor industri, dan masyarakat guna menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi nasional saat ini.
(Sumber : Adri Yudha Wibawa, ST-PT. Surveyor Indonesia)
Blue sky never change in the present and so did in the past, Blue sea never change at the present and so did in the past, Greenery of mountain never change at the present and so did in the past, Our lives always shine at the present and so did in the past, These ever lasting valuables, These shinning lives, Let us protect them and pass them to the future (Yukiko Nagasako, 3rd grade of Kumamoto Pref. Minamata High School)
Sabtu, 23 Oktober 2010
Aku Jatuh Cinta Pada Ilmu Kimia
Ketika pertama kali belajar tentang ilmu kimia, aku begitu terpesona dengan konsep atom Bohr. Pada tahun 1913 Niels Bohr mencoba menjelaskan model atom Bohr melalui konsep elektron yang mengikuti orbit mengelilingi inti atom yang mengandung proton dan neutron. Menurut Bohr, hanya terdapat orbit dalam jumlah tertentu, dan perbedaan antar orbit satu dengan yang lain adalah jarak orbit dari inti atom. Keberadaan elektron baik di orbit yang rendah maupun yang tinggi sepenuhnya tergantung oleh tingkatan energi elektron. Sehingga elektron di orbit yang rendah akan memiliki energi yang lebih kecil daripada elektron di orbit yang lebih tinggi.Menurutku, model atom Bohr merupakan salah satu pintu untuk menguak semua misteri kehidupan alam raya.
Sangat menakjubkan untuk lebih lanjut mengenal unsur, ikatan antar unsur, kalori, molaritas, elektrolisa dan masih banyak lainnya. Berjalannya waktu, rasa takjubku itu makin menjadi ingin mengenalnya lebih jauh. Dasar-dasar ilmu kimia tersebut kemudian berkolaborasi secara sinergis dengan ilmu fisika dan matematika, ditambah sentuhan ilmu biologi dan ilmu ekonomi terciptalah fenomena thermodinamika, kimia fisika, mikrobiologi, biokimia, heat transfer phenomena, anorganic chemicals, organic chemicals. Berderet-deret kemudian memberikan daya cipta reaktor, destilasi, kompresor, pompa, fermentor, filter, membran technology dirangkai melalui basis konsep proses sehingga menciptakan mesin industri yang disebut sebagai pabrik kimia.
Kemanfaatan ilmu kimia telah mendasari kehidupan umat manusia dalam menjalani kehidupannya dan memenuhi kebutuhannya. Tidak ada satupun benda dialam raya yang terlepas dari kaitan ilmu kimia. Bukan mencerminkan sebuah arogansi, namun ingin menyampaikan pesan alamiah tentang inti dari eksistensi keilmuan itu sendiri.
Namun pada perkembangannya, penerapan ilmu pengetahuan yang saling bersinergi ini mulai dimainkan dengan perpolitikan perdagangan internasional, biang pencemaran lingkungan dan lainnya. We'll see...
Sangat menakjubkan untuk lebih lanjut mengenal unsur, ikatan antar unsur, kalori, molaritas, elektrolisa dan masih banyak lainnya. Berjalannya waktu, rasa takjubku itu makin menjadi ingin mengenalnya lebih jauh. Dasar-dasar ilmu kimia tersebut kemudian berkolaborasi secara sinergis dengan ilmu fisika dan matematika, ditambah sentuhan ilmu biologi dan ilmu ekonomi terciptalah fenomena thermodinamika, kimia fisika, mikrobiologi, biokimia, heat transfer phenomena, anorganic chemicals, organic chemicals. Berderet-deret kemudian memberikan daya cipta reaktor, destilasi, kompresor, pompa, fermentor, filter, membran technology dirangkai melalui basis konsep proses sehingga menciptakan mesin industri yang disebut sebagai pabrik kimia.
Kemanfaatan ilmu kimia telah mendasari kehidupan umat manusia dalam menjalani kehidupannya dan memenuhi kebutuhannya. Tidak ada satupun benda dialam raya yang terlepas dari kaitan ilmu kimia. Bukan mencerminkan sebuah arogansi, namun ingin menyampaikan pesan alamiah tentang inti dari eksistensi keilmuan itu sendiri.
Namun pada perkembangannya, penerapan ilmu pengetahuan yang saling bersinergi ini mulai dimainkan dengan perpolitikan perdagangan internasional, biang pencemaran lingkungan dan lainnya. We'll see...
Senin, 18 Oktober 2010
Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan
Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH
Setelah Perang Dunia II, dominasi kapitalisme tidak lagi diwujudkan dalam penjajahan fisik, tetapi diwujudkan dalam penjajahan non fisik. Di bidang ekonomi, dibentuklah lembaga-lembaga ekonomi yang pada hakekatnya akan mengendalikan negara-negara yang baru merdeka. Lembaga-lembaga ekonomi yang dimaksud alah World Bank yang dibentuk pada tahun 1946, International Monetary Fund (IMF) yang dibentuk pada tahun 1947, General Agreement Tarrif and Trade (GATT) yang dibentuk pada tahun 1947.
Di bidang sosial, muali dilakukan rekayasa sosial melalui penyusunan teori-teori yang dapat menarik dan dapat diaplikasikan di negara-negara Dunia Ketiga, namun tetap dapat melanggengkan kapitalisme itu sendiri. Salah satu teori sosial yang kemudian diintroduksikan ke negara-negara berkembang dan yang baru merdeka adalah teori modernisasi atau teori pembangunan yang dikembangkan di Amerika Serikat sejak tahun 1948.
Diintroduksikannya teori modernisasi ke negara-negara Dunia Ketiga, karena menurut Negara Barat, negara Dunia Ketiga merupakan negara yang masih dalam proses modernisasi, khususnya dalam proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi itu diharapkan dapat berjalan menurut proses atau tahap-tahap tertentu, yang juga pernah dialami leh negara-negara maju.
Teori modernisasi mengidealkan suatu wahana untuk mencapai modernisasi melalui sistem kapitalisme, sehingga pembangunan harus didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konstruksi teori modernisasi, sebenarnya peran negara telah dikurangi seminimal mungkin karena sesuai dengan paham kapitalisme yang sangat meminimalkan peran negara dalam urusan-urusan ekonomi masyarakat dan mengedepankan peran swasta. Penerapan teori modernisasi dalam kebiajkan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara-negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan mutinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan.
Besarnya peran korporasi multinasional di era global sekarang merupakan implementasi konsep good governance ala negara-negara Barat sejak awal globalisasi pada tahun 1990-an. Dalam konsep ini kekuasaan negara dibuat lebih terbatas demi kepentingan pasar. Kekuasaan lebih besar dialihkan kepada korporasi multinasional untuk berpartisipasi dalam pasar bebas dunia. Maka korporasi multinasional semakin didesak oleh negaranya untuk menancapkan dominasinya di wilayah manapun.
Hasil penelitian Jed Greer dan Kenny Bruno (1999) yang dibukukan dalam The Reality Behind Corporate Environmentalisme, menyimpulkan bahwa sejak masa 1990-an korporasi-korporasi multinasional telah berhasil meraih pengaruh atas berbagai urusan internasional. Korporasi-korporasi multinasional yang semakin menguasai ekonomi dunia berusaha melestarikan dan memperluas pasar mereka dengan menampilkan diri seperti pelindung dan pelestari lingkungan dan pemimpin penghapusan kemiskinan.
Namum laporan Sekjen PBB pada Pembukaan Konferensi Dunia Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg pada tahun 2002 yang lalu menyatakan antara 1992-2002 terjadi kekosongan pelaksanaan Agenda 21. Kondisi lingkungan justru semakin buruk. Agenda 21 adalah dokumen yang berisi rencana-rencana aksi yang disepakati negara-negara didunia termasuk Indonesia dalam KTT Bumi 1992 untuk mengimplementasikan konsep Pembangunan Berkelanjutan di abad 21. Di sisi lain, Era 1992-2002 aalah era paham globalisasi sedang mendunia, dimana aktor non negara seperti korporasi multinasional semakin didayagunakan sebagai kepanjangan tangan negara-negara pemilik kapital. Laporan Sekjen PBB tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa dominannya peran korporasi multinasional dalam ekonomi dunia tidak paralel dengan membaiknya kondisi lingkungan. Maka benar bila dikatakan, globalisasi dengan segala implikasinya dapat merubah tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Setelah Perang Dunia II, dominasi kapitalisme tidak lagi diwujudkan dalam penjajahan fisik, tetapi diwujudkan dalam penjajahan non fisik. Di bidang ekonomi, dibentuklah lembaga-lembaga ekonomi yang pada hakekatnya akan mengendalikan negara-negara yang baru merdeka. Lembaga-lembaga ekonomi yang dimaksud alah World Bank yang dibentuk pada tahun 1946, International Monetary Fund (IMF) yang dibentuk pada tahun 1947, General Agreement Tarrif and Trade (GATT) yang dibentuk pada tahun 1947.
Di bidang sosial, muali dilakukan rekayasa sosial melalui penyusunan teori-teori yang dapat menarik dan dapat diaplikasikan di negara-negara Dunia Ketiga, namun tetap dapat melanggengkan kapitalisme itu sendiri. Salah satu teori sosial yang kemudian diintroduksikan ke negara-negara berkembang dan yang baru merdeka adalah teori modernisasi atau teori pembangunan yang dikembangkan di Amerika Serikat sejak tahun 1948.
Diintroduksikannya teori modernisasi ke negara-negara Dunia Ketiga, karena menurut Negara Barat, negara Dunia Ketiga merupakan negara yang masih dalam proses modernisasi, khususnya dalam proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi itu diharapkan dapat berjalan menurut proses atau tahap-tahap tertentu, yang juga pernah dialami leh negara-negara maju.
Teori modernisasi mengidealkan suatu wahana untuk mencapai modernisasi melalui sistem kapitalisme, sehingga pembangunan harus didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konstruksi teori modernisasi, sebenarnya peran negara telah dikurangi seminimal mungkin karena sesuai dengan paham kapitalisme yang sangat meminimalkan peran negara dalam urusan-urusan ekonomi masyarakat dan mengedepankan peran swasta. Penerapan teori modernisasi dalam kebiajkan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara-negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan mutinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan.
Besarnya peran korporasi multinasional di era global sekarang merupakan implementasi konsep good governance ala negara-negara Barat sejak awal globalisasi pada tahun 1990-an. Dalam konsep ini kekuasaan negara dibuat lebih terbatas demi kepentingan pasar. Kekuasaan lebih besar dialihkan kepada korporasi multinasional untuk berpartisipasi dalam pasar bebas dunia. Maka korporasi multinasional semakin didesak oleh negaranya untuk menancapkan dominasinya di wilayah manapun.
Hasil penelitian Jed Greer dan Kenny Bruno (1999) yang dibukukan dalam The Reality Behind Corporate Environmentalisme, menyimpulkan bahwa sejak masa 1990-an korporasi-korporasi multinasional telah berhasil meraih pengaruh atas berbagai urusan internasional. Korporasi-korporasi multinasional yang semakin menguasai ekonomi dunia berusaha melestarikan dan memperluas pasar mereka dengan menampilkan diri seperti pelindung dan pelestari lingkungan dan pemimpin penghapusan kemiskinan.
Namum laporan Sekjen PBB pada Pembukaan Konferensi Dunia Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg pada tahun 2002 yang lalu menyatakan antara 1992-2002 terjadi kekosongan pelaksanaan Agenda 21. Kondisi lingkungan justru semakin buruk. Agenda 21 adalah dokumen yang berisi rencana-rencana aksi yang disepakati negara-negara didunia termasuk Indonesia dalam KTT Bumi 1992 untuk mengimplementasikan konsep Pembangunan Berkelanjutan di abad 21. Di sisi lain, Era 1992-2002 aalah era paham globalisasi sedang mendunia, dimana aktor non negara seperti korporasi multinasional semakin didayagunakan sebagai kepanjangan tangan negara-negara pemilik kapital. Laporan Sekjen PBB tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa dominannya peran korporasi multinasional dalam ekonomi dunia tidak paralel dengan membaiknya kondisi lingkungan. Maka benar bila dikatakan, globalisasi dengan segala implikasinya dapat merubah tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Quo Vadis Pembangunan Berkelanjutan Bagian 2
Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH
Pandangan Amerika Serikat tentang penjabaran good governance yang dapat menjamin pelaksanaan konsep Pembangunan Berkelanjutan (yang mengarah ke arah Corporate Globalization) tersebut sangat berbeda dengan pandangan negara-negara Dunia Ketiga. Good governance yang dapat menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan menurut pandangan negara-negara Dunia Ketiga (yang dinyatakan dalam Pertemuan Komite Persiapan (PrepCom) IV KTT mengenai Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Bali Mei 2002, adalah pemerintahan yang mampu bertanggungjawab dan dipercaya (accountable), transparan, membuka partisiapsi yang luas bagi masyarakat dan menjalankan penegakan hukum secara efektif. Akan tetapi sesuai dengan pesan sebagaimana tertuang dalam Agenda 21, dibukanya partisipasi yang luas bagi masyarakat, tetap mengedepankan kemitraan, dan peduli terhadap masalah kemiskinan. Dalam artian ini, maka pemerintah memang harus membatasi campur tangannya kepada rakyat, tetapi bukan supaya kekuatan ekonomi dialihkan kepada swasta atau bahkan perusahaan multinasional.
Dari Pertemuan PrepCom IV KTT WSSD di Bali Mei 2002, terlihat bahwa WSSD yang diadakan kemudian tidak dapat diharapkan akan membawa dampak signifikan untuk dapat membawa dunia menuju arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Perbedaan pandangan tentang penjabaran konsep good governance untuk menjamin pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan tersebut diatas, jelas mempengaruhi hasil KTT WSSD yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan 26 Agustus- 4 September 2002. Konferensi yang diselenggarakan oleh PBB ini sebenarnya bertujuan untuk meninjau kembali pencapaian yang telah dilakukan negara-negara sejak KTT Bumi 1992. Dalam Konferensi WSSD tersebut ditinjau kembali apa partisipasi negara-negara atau sejauhmana negara-negara telah mengimplementasikan Agenda 21 sebagai hasil kesepakatan dalam KTT Bumi 1992. Laporan akhir yang dikeluarkan Heinrich Boll Foundation tentang World Summit 2002 Johannesburg antara lain menyatakan :
a. WSSD berakhir pada tanggal 4 September 2002. Beberapa pemerintah negara menilai Konferensi ini cukup berhasil, sementara hampir sebagian besar Civil Society Group sangat kecewa dengan hasil KTT ini khususnya menyangkut masalah kerangka waktu yang tidak tegas, serta pendanaan untuk mengimplementasikan Agenda 21.
b. Pemerintah negara-negara menambahkan sedikit target dari target yang telah disusun dalam KTT Rio 1992, namun tidak klarifikasi lebih tegas dan jelas tentang bagaimana mencapai dan pendanaan untuk mencapai target tersebut.
c. Dalam WSSD, negara-negara Dunia Ketiga (Kelompok G-77 ditambah China) meminta negara-negara maju untuk lebih memberi perhatian pada kaitan antara pembangunan dengan kemiskinan yang terjadi di Dunia Ketiga.
Dalam pandangan negara-negara Dunia Ketiga (Kelompok G-77 ditambah China) masalah pembangunan daan kemiskinan apabila tidak diatasi akan menghambat implementasi Pembangunan Berkelanjutan. Dalam pandangan negara-negara Dunia Ketiga untuk mengatasi masalah ini negara-negara maju harus memberikan bantuan untuk menjamin Pembangunan Berkelanjutan. Akan tetapi Amerika Serikat, Canada, Australia, Selandia Baru, Jepang dan beberapa negara anggota Uni Eropa lebih memfokuskan pada pengembangan pembangunan sebagai hasil pertumbuhan ekonomi mereka serta mementingkan pergerakan modal (the mobilisation of capital).
Dari laporan ini tampak bahwa konsep Pembangunan Berkelanjutan yang awalnya merupakan konsep yang bersifat universal (sehingga disepakati menjadi agenda bersama global) pada perkembangannya menjadi konsep yang implementasinya tidak mudah karena adanya perbedaan pandangan antara negara maju dengan negara Dunia Ketiga dalam menjabarkan konsep good governance untuk menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan, sementara konsep good governance yang dinyatakan oleh Amerika Serikat dalam WSSD (WSSD dijadikan kondisionalitas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga dalam WSSD tersebut).
Rendahnya komitmen pemerintah negara-negara maju (AS, Canada, Australia, New Zealand, Jepang dan beberapa anggota Uni Eropa) ditunjukkan dengan tidak tegasnya target serta batasan waktu yang jelas bagi pelaksanaan berbagai komitmen. Kuatnya agenda perdagangan bebas dan dominasi kapitalisme ditunjukkan dari sikap negara maju yang lebih memberi perhatian berdasarkan kepentingannya yaitu ekspansi pasar (pergerakan modal). Jelas untuk pergerakan modal ini peran korporasi internasional lebih dikedepankan. Berdasarkan hal ini, maka dalam batas tertentu WSSD 2002 tidak dapat diharapkan akan membawa dunia menuju arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Pandangan Amerika Serikat tentang penjabaran good governance yang dapat menjamin pelaksanaan konsep Pembangunan Berkelanjutan (yang mengarah ke arah Corporate Globalization) tersebut sangat berbeda dengan pandangan negara-negara Dunia Ketiga. Good governance yang dapat menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan menurut pandangan negara-negara Dunia Ketiga (yang dinyatakan dalam Pertemuan Komite Persiapan (PrepCom) IV KTT mengenai Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Bali Mei 2002, adalah pemerintahan yang mampu bertanggungjawab dan dipercaya (accountable), transparan, membuka partisiapsi yang luas bagi masyarakat dan menjalankan penegakan hukum secara efektif. Akan tetapi sesuai dengan pesan sebagaimana tertuang dalam Agenda 21, dibukanya partisipasi yang luas bagi masyarakat, tetap mengedepankan kemitraan, dan peduli terhadap masalah kemiskinan. Dalam artian ini, maka pemerintah memang harus membatasi campur tangannya kepada rakyat, tetapi bukan supaya kekuatan ekonomi dialihkan kepada swasta atau bahkan perusahaan multinasional.
Dari Pertemuan PrepCom IV KTT WSSD di Bali Mei 2002, terlihat bahwa WSSD yang diadakan kemudian tidak dapat diharapkan akan membawa dampak signifikan untuk dapat membawa dunia menuju arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Perbedaan pandangan tentang penjabaran konsep good governance untuk menjamin pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan tersebut diatas, jelas mempengaruhi hasil KTT WSSD yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan 26 Agustus- 4 September 2002. Konferensi yang diselenggarakan oleh PBB ini sebenarnya bertujuan untuk meninjau kembali pencapaian yang telah dilakukan negara-negara sejak KTT Bumi 1992. Dalam Konferensi WSSD tersebut ditinjau kembali apa partisipasi negara-negara atau sejauhmana negara-negara telah mengimplementasikan Agenda 21 sebagai hasil kesepakatan dalam KTT Bumi 1992. Laporan akhir yang dikeluarkan Heinrich Boll Foundation tentang World Summit 2002 Johannesburg antara lain menyatakan :
a. WSSD berakhir pada tanggal 4 September 2002. Beberapa pemerintah negara menilai Konferensi ini cukup berhasil, sementara hampir sebagian besar Civil Society Group sangat kecewa dengan hasil KTT ini khususnya menyangkut masalah kerangka waktu yang tidak tegas, serta pendanaan untuk mengimplementasikan Agenda 21.
b. Pemerintah negara-negara menambahkan sedikit target dari target yang telah disusun dalam KTT Rio 1992, namun tidak klarifikasi lebih tegas dan jelas tentang bagaimana mencapai dan pendanaan untuk mencapai target tersebut.
c. Dalam WSSD, negara-negara Dunia Ketiga (Kelompok G-77 ditambah China) meminta negara-negara maju untuk lebih memberi perhatian pada kaitan antara pembangunan dengan kemiskinan yang terjadi di Dunia Ketiga.
Dalam pandangan negara-negara Dunia Ketiga (Kelompok G-77 ditambah China) masalah pembangunan daan kemiskinan apabila tidak diatasi akan menghambat implementasi Pembangunan Berkelanjutan. Dalam pandangan negara-negara Dunia Ketiga untuk mengatasi masalah ini negara-negara maju harus memberikan bantuan untuk menjamin Pembangunan Berkelanjutan. Akan tetapi Amerika Serikat, Canada, Australia, Selandia Baru, Jepang dan beberapa negara anggota Uni Eropa lebih memfokuskan pada pengembangan pembangunan sebagai hasil pertumbuhan ekonomi mereka serta mementingkan pergerakan modal (the mobilisation of capital).
Dari laporan ini tampak bahwa konsep Pembangunan Berkelanjutan yang awalnya merupakan konsep yang bersifat universal (sehingga disepakati menjadi agenda bersama global) pada perkembangannya menjadi konsep yang implementasinya tidak mudah karena adanya perbedaan pandangan antara negara maju dengan negara Dunia Ketiga dalam menjabarkan konsep good governance untuk menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan, sementara konsep good governance yang dinyatakan oleh Amerika Serikat dalam WSSD (WSSD dijadikan kondisionalitas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga dalam WSSD tersebut).
Rendahnya komitmen pemerintah negara-negara maju (AS, Canada, Australia, New Zealand, Jepang dan beberapa anggota Uni Eropa) ditunjukkan dengan tidak tegasnya target serta batasan waktu yang jelas bagi pelaksanaan berbagai komitmen. Kuatnya agenda perdagangan bebas dan dominasi kapitalisme ditunjukkan dari sikap negara maju yang lebih memberi perhatian berdasarkan kepentingannya yaitu ekspansi pasar (pergerakan modal). Jelas untuk pergerakan modal ini peran korporasi internasional lebih dikedepankan. Berdasarkan hal ini, maka dalam batas tertentu WSSD 2002 tidak dapat diharapkan akan membawa dunia menuju arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Quo Vadis Pembangunan Berkelanjutan Bagian 1
Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH
Mansour Fakih, aktivis dari INSIST (Institute for Social Transformation, Yogyakarta) menyatakan bahwa lingkungan alam yang kemudian disebut sebagai "sumber daya alam" telah menjadi faktor penting dalam perkembangan kapitalisme, dari abad sembilan belas hingga sekarang. Dengan kata-kata yang lebih jelas dikatakannya, sesungguhnya persoalan lingkungan telah tumbuh seiring dengan perkembangan kapitalisme sejak abad kesembilan belas. Kapitalisme telah memotivasi masyarakat dan negara-negara Eropa Barat pada masa itu untuk melakukan ekspansi wilayah ke wilayah-wilayah seberang laut. Ekspansi ini dilakukan untuk menguasai sumber daya alam di wilayah tersebut, sehingga terjamin pasokan bahan baku untuk pengembangan industri. Akan tetapi kemudian disadari bahwa akibat pengembalian sumber daya alam itu, sumber daya alam menjadi sangat terbatas, padahal dalam kapitalisme kebutuhan untuk mencari keuntungan tidak akan terbatas. Lingkungan perlu dilestarikan karena hanya melalui pelestarian tersebut terjamin pula keajegan pasokan bahan baku industri sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung.
Konsep pembangunan berkelanjutan secara kronologi dirumuskan melalui proses yang panjang. Dimulai dari Konferensi Stockholm 1972 yang secara formal melibatkan banyak negara termasuk negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia, Sudan, Arab Saudi, Columbia, India, Zimbabwe, Brazilia, dan China. Keterlibatan secara intensif dari negara-negara tersebut tentu mewarnai konsep Pembangunan Berkelanjutan serta Action Plan yang disusun kemudian. Pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janiero, Brazil. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dibahas kembali oleh lebih dari 179 negara termasuk Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Sekali lagi secara formal, keterlibatan secara intensif dari negara-negara tersebut tentu mewarnai konsep Pembangunan Berkelanjutan serta Action Plan yang disusun kemudian.
Berdasarkan hal itu, benarlah bahwa konsep Pembangunan Berkelanjutan merupakan konsep yang universal sehingga menjadi agenda bersama meskipun action antar negara berbeda. Dengan demikian, benar bila dikatakan bahwa Sustainable Development bukan diterima secara taken for granted karena negara-negara Dunia Ketiga secara formal ikut andil dalam perundingan-perundingan guna penyusunan konsep Pembangunan Berkelanjutan. Dengan mendasarkan pada Agenda 21 menjabarkan bahwa Pembangunan Berkelanjutan menghendaki adanya perlindungan dan pemihakan bagi penduduk miskin, masyarakat lokal, demokrasi, transparansi dan perlindungan lingkungan hidup.
Akan tetapi, perkembangan kemudian, dalam Pertemuan Komite Persiapan (PrepCom) IV KTT mengenai Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) di Bali Mei 2002, terdapat perbedaan pandangan antara negara Barat dengan Dunia Ketiga tentang bagaimana konsep Pembangunan Berkelanjutan itu harus diimplementasikan. Wakil Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Urusan Masalah Global menyatakan bahwa Amerika Serikat memiliki pandangan bahwa Pembangunan Berkelanjutan harus dimulai dari konsep menentukan nasib sendiri yang kemudian didukung dengan kebijakan dalam negeri yang efektif. Cara terbaik untuk melaksanakan kebijakan negara yang efektif adalah melalui pembinaan kemitraan antara swasta dengan publik di tingkat lokal, nasional dan level internasional.
Dalam pandangan Amerika Serikat, dengan cara ini Pembangunan Berkelanjutan diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi negara sedang berkembang dan negara maju. masih dalam pandangan Amerika Serikat dan juga Kanada, Australia dan Selandia Baru, basis utama konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah masyarakat yang dapat menentukan dirinya sendiri, yang disiapkan untuk berpartisipasi dalam perdagangan bebas multilateral dan itu semua mensyaratkan adanya good governance (kepemerintahan yang baik). Good governance menurut Amerika Serikat, adalah pemerintahan yang memiliki institusi-institusi demokratis serta sistem hukum yang independen termasuk didalamnya partisipasi semua anggota masyarakat. Good governance dalam konsep Amerika Serikat adalah kekuasaan pemerintah yang lebih terbatas demi pasar. Kekuasaan yang lebih besar harus dialihkan kepada korporasi-korporasi multinasional (multinational corporations/MNC).
Pandangan Amerika Serikat yang didukung beberapa negara maju tersebut menunjukkan bahwa good governance yang dapat menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah kekuasaan pemerintah yang lebih terbatas demi kepentingan pasar, dan kekuasaan yang lebih besar harus diserahkan kepada swasta (dalam hal ini korporasi nasional maupun multinasional). Konsep inilah yang kemudian dinyatakan oleh Amerika Serikat dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg pada bulan September 2002 dan dijadikan kondisionalitas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga dalam WSSD.
Mansour Fakih, aktivis dari INSIST (Institute for Social Transformation, Yogyakarta) menyatakan bahwa lingkungan alam yang kemudian disebut sebagai "sumber daya alam" telah menjadi faktor penting dalam perkembangan kapitalisme, dari abad sembilan belas hingga sekarang. Dengan kata-kata yang lebih jelas dikatakannya, sesungguhnya persoalan lingkungan telah tumbuh seiring dengan perkembangan kapitalisme sejak abad kesembilan belas. Kapitalisme telah memotivasi masyarakat dan negara-negara Eropa Barat pada masa itu untuk melakukan ekspansi wilayah ke wilayah-wilayah seberang laut. Ekspansi ini dilakukan untuk menguasai sumber daya alam di wilayah tersebut, sehingga terjamin pasokan bahan baku untuk pengembangan industri. Akan tetapi kemudian disadari bahwa akibat pengembalian sumber daya alam itu, sumber daya alam menjadi sangat terbatas, padahal dalam kapitalisme kebutuhan untuk mencari keuntungan tidak akan terbatas. Lingkungan perlu dilestarikan karena hanya melalui pelestarian tersebut terjamin pula keajegan pasokan bahan baku industri sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung.
Konsep pembangunan berkelanjutan secara kronologi dirumuskan melalui proses yang panjang. Dimulai dari Konferensi Stockholm 1972 yang secara formal melibatkan banyak negara termasuk negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia, Sudan, Arab Saudi, Columbia, India, Zimbabwe, Brazilia, dan China. Keterlibatan secara intensif dari negara-negara tersebut tentu mewarnai konsep Pembangunan Berkelanjutan serta Action Plan yang disusun kemudian. Pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janiero, Brazil. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dibahas kembali oleh lebih dari 179 negara termasuk Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Sekali lagi secara formal, keterlibatan secara intensif dari negara-negara tersebut tentu mewarnai konsep Pembangunan Berkelanjutan serta Action Plan yang disusun kemudian.
Berdasarkan hal itu, benarlah bahwa konsep Pembangunan Berkelanjutan merupakan konsep yang universal sehingga menjadi agenda bersama meskipun action antar negara berbeda. Dengan demikian, benar bila dikatakan bahwa Sustainable Development bukan diterima secara taken for granted karena negara-negara Dunia Ketiga secara formal ikut andil dalam perundingan-perundingan guna penyusunan konsep Pembangunan Berkelanjutan. Dengan mendasarkan pada Agenda 21 menjabarkan bahwa Pembangunan Berkelanjutan menghendaki adanya perlindungan dan pemihakan bagi penduduk miskin, masyarakat lokal, demokrasi, transparansi dan perlindungan lingkungan hidup.
Akan tetapi, perkembangan kemudian, dalam Pertemuan Komite Persiapan (PrepCom) IV KTT mengenai Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) di Bali Mei 2002, terdapat perbedaan pandangan antara negara Barat dengan Dunia Ketiga tentang bagaimana konsep Pembangunan Berkelanjutan itu harus diimplementasikan. Wakil Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Urusan Masalah Global menyatakan bahwa Amerika Serikat memiliki pandangan bahwa Pembangunan Berkelanjutan harus dimulai dari konsep menentukan nasib sendiri yang kemudian didukung dengan kebijakan dalam negeri yang efektif. Cara terbaik untuk melaksanakan kebijakan negara yang efektif adalah melalui pembinaan kemitraan antara swasta dengan publik di tingkat lokal, nasional dan level internasional.
Dalam pandangan Amerika Serikat, dengan cara ini Pembangunan Berkelanjutan diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi negara sedang berkembang dan negara maju. masih dalam pandangan Amerika Serikat dan juga Kanada, Australia dan Selandia Baru, basis utama konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah masyarakat yang dapat menentukan dirinya sendiri, yang disiapkan untuk berpartisipasi dalam perdagangan bebas multilateral dan itu semua mensyaratkan adanya good governance (kepemerintahan yang baik). Good governance menurut Amerika Serikat, adalah pemerintahan yang memiliki institusi-institusi demokratis serta sistem hukum yang independen termasuk didalamnya partisipasi semua anggota masyarakat. Good governance dalam konsep Amerika Serikat adalah kekuasaan pemerintah yang lebih terbatas demi pasar. Kekuasaan yang lebih besar harus dialihkan kepada korporasi-korporasi multinasional (multinational corporations/MNC).
Pandangan Amerika Serikat yang didukung beberapa negara maju tersebut menunjukkan bahwa good governance yang dapat menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah kekuasaan pemerintah yang lebih terbatas demi kepentingan pasar, dan kekuasaan yang lebih besar harus diserahkan kepada swasta (dalam hal ini korporasi nasional maupun multinasional). Konsep inilah yang kemudian dinyatakan oleh Amerika Serikat dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg pada bulan September 2002 dan dijadikan kondisionalitas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga dalam WSSD.
Rabu, 13 Oktober 2010
Kegagalan Teori Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan Di Dunia Ketiga 3
Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX Adji Samekto, SH, MH
Akan tetapi didalam perkembangannya, sedikit sekali resolusi-resolusi hasil kesepakatan dalam Konferensi Stockholm yang dapat diimplementasikan. Di sisi lain, kebutuhan pembangunan dan ekonomi terus melaju untuk memenuhi kebutuhan manusia yang kian meningkat dan tidak mengenal batas, seiring dengan bertambahnya jumlah manusia di dunia. Konvergensi antara meningkatnya kebutuhan pembangunan dan ekonomi dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia mengakibatkan penggunaan sumber daya alam makin meningkat. Seiring dengan itu, maka ragam atau jenis kerusakan lingkungan sesudah adanya Konferensi Stockholm 1972 semakin banyak dan tidak dapat lagi diatasi dengan menggunakan instrumen hukum internasional yang diberlakukan untuk kasus-kasus kerusakan lingkungan yang "baru" tersebut.
Kerusakan-kerusakan lingkungan "baru" antara lain :
(a) Pelubangan lapisan ozon; (b) Pemanasan global; (c) Berkurangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan yang "baru" ini sifatnya global dan penyebabnya pun bersifat global, maka penanganannya akan efektif kalau dilakukan secara global, maka penanganannya akan efektif kalau dilakukan secara global pula. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan konsep-konsep pengelolaan lingkungan yang dapat digunakan untuk mengurangi kerusakan lingkungan sekaligus menjamin keberlangsungan pembangunan. Untuk keperluan penyusunan konsep itu, PBB membentuk World Commission on Environment and Development (WCED) untuk melakukan penelitian dan pengkajian tentang penyelarasan perlindungan lingkungan dan pembangunan. hasil penelitian dan pengkajian WCED (Only One Earth) itu selanjutnya disusun dalam sebuah laporan yang berjudul Our Common Future pada tahun 1987. Didalam Our Common Future ini dimunculkan konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Di dalam laporannya ini, WCED mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai : "Pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi kemapuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka".
Sesuai dengan definisinya maka oleh Experts Group dari WCED dikatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan bersifat jangka panjang antar generasi.
Akan tetapi didalam perkembangannya, sedikit sekali resolusi-resolusi hasil kesepakatan dalam Konferensi Stockholm yang dapat diimplementasikan. Di sisi lain, kebutuhan pembangunan dan ekonomi terus melaju untuk memenuhi kebutuhan manusia yang kian meningkat dan tidak mengenal batas, seiring dengan bertambahnya jumlah manusia di dunia. Konvergensi antara meningkatnya kebutuhan pembangunan dan ekonomi dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia mengakibatkan penggunaan sumber daya alam makin meningkat. Seiring dengan itu, maka ragam atau jenis kerusakan lingkungan sesudah adanya Konferensi Stockholm 1972 semakin banyak dan tidak dapat lagi diatasi dengan menggunakan instrumen hukum internasional yang diberlakukan untuk kasus-kasus kerusakan lingkungan yang "baru" tersebut.
Kerusakan-kerusakan lingkungan "baru" antara lain :
(a) Pelubangan lapisan ozon; (b) Pemanasan global; (c) Berkurangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan yang "baru" ini sifatnya global dan penyebabnya pun bersifat global, maka penanganannya akan efektif kalau dilakukan secara global, maka penanganannya akan efektif kalau dilakukan secara global pula. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan konsep-konsep pengelolaan lingkungan yang dapat digunakan untuk mengurangi kerusakan lingkungan sekaligus menjamin keberlangsungan pembangunan. Untuk keperluan penyusunan konsep itu, PBB membentuk World Commission on Environment and Development (WCED) untuk melakukan penelitian dan pengkajian tentang penyelarasan perlindungan lingkungan dan pembangunan. hasil penelitian dan pengkajian WCED (Only One Earth) itu selanjutnya disusun dalam sebuah laporan yang berjudul Our Common Future pada tahun 1987. Didalam Our Common Future ini dimunculkan konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Di dalam laporannya ini, WCED mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai : "Pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi kemapuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka".
Sesuai dengan definisinya maka oleh Experts Group dari WCED dikatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan bersifat jangka panjang antar generasi.
Kegagalan Teori Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan di Dunia Ketiga 2
Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX.Adji Samekto, SH, MH
Berbagai kerusakan lingkungan bersifat lintas batas negara kemudian muncul di dunia seperti perusakan lapisan ozon, terjadinya pemanasan global, berkurangnya keragaman hayati, terjadinya hujan asam, dan juga kerusakan-kerusakan lingkungan yang bersifat lokal. Terjadinya kerusakan lingkungan di negara-negara Dunia Ketiga merupakan ancaman bagi negara kapitalis karena berarti terancamnya pasokan bahan baku atau bahan mentah, yang sebenarnya harus dijaga kenerlanjutannya. Edith Brown Weiss, menyatakan bahwa secara garis besar ada tiga tindakan generasi dulu dan sekarang yang sangat merugikan generasi mendatang di bidang lingkungan yaitu:
Pertama, konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya berkualitas, membuat generasi mendatang harus membayar lebih mahal untuk dapat mengonsumsi sumber daya alam yang sama;
Kedua, pemakaian sumber daya alam yang saat ini belum diketahui manfaat terbaiknya secara berlebihan, sangat merugikan kepentingan generasi mendatang, karena mereka harus membayar inefisiensi dalam penggunaan sumber daya alam tersebut oleh generasi dulu dan sekarang membuat generasi mendatang tidak memiliki keragaman sumber daya alam yang tinggi.
Untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam (yang akan menjamin keberlanjutan bahan baku) inilah World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 merumuskan konsep yang kemudian kita kenal dengan sebutan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development.Didalam laporannya yang berjudul Our Common Future, WCED mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai : "Pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya".
Sebenarnya ide tentang (konsep) Pembangunan Berkelanjutan bukan sesuatu yang muncul begitu saja pada tahun 1987. Konsep ini sesungguhnya secara implisit telah ada di masyarakat tradisional di berbagai bangsa sejak masa lalu. Untuk pertama kalinyaa negara-negara didunia merumuskan pengertian Pembangunan Berkelanjutan didalam 1972 Stockholm UN Conference on Human Environment, yang kemudia dituangkan dalam Prinsip II Deklarasi Stockholm sebagai berikut:
"The natural resources of the earth, including the air, water, land, flora and fauna and especially representative samples of natural ecosystem, must be safeguarded for the benefit of present and future generations through careful planning or management, as appropriate".
Jadi, prinsip II Deklarasi Stockholm menyatakan bahwa sumber daya alam harus diselamatkan demi keuntungan (kesejahteraan) generasi kini dan mendatang melalui perencanaan atau pengelolaan yang secermat mungkin. Daud Silalahi menyatakan, pentingnya Deklarasi Stockholm 1972 bagi negara-negara yang terlibat dalam Konferensi dapat dilihat dari penilaian negara-negara peserta yang menyatakan bahwa Deklarasi Stockholm merupakan a first step in developing international environmental law. Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm 1972, PBB membentuk World Concervation Union yang bertugas menyusun Rencana Aksi (Action Plan) Lingkungan Hidup Manusia. Rencana Aksi tersebut disusun berdasarkan pengelompokkan semua rekomendasi dan tindakan-tindakan yang dapat diterima oleh Konferensi, selanjutnya diadakan identifikasi program yang bersifat lintas batas guna kepentingan perlindungan lingkungan. Untuk melaksanakan program itu, PBB membentuk United Nations Environmental Development (UNED) berkedudukan di Nairobi, Kenya.
Berbagai kerusakan lingkungan bersifat lintas batas negara kemudian muncul di dunia seperti perusakan lapisan ozon, terjadinya pemanasan global, berkurangnya keragaman hayati, terjadinya hujan asam, dan juga kerusakan-kerusakan lingkungan yang bersifat lokal. Terjadinya kerusakan lingkungan di negara-negara Dunia Ketiga merupakan ancaman bagi negara kapitalis karena berarti terancamnya pasokan bahan baku atau bahan mentah, yang sebenarnya harus dijaga kenerlanjutannya. Edith Brown Weiss, menyatakan bahwa secara garis besar ada tiga tindakan generasi dulu dan sekarang yang sangat merugikan generasi mendatang di bidang lingkungan yaitu:
Pertama, konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya berkualitas, membuat generasi mendatang harus membayar lebih mahal untuk dapat mengonsumsi sumber daya alam yang sama;
Kedua, pemakaian sumber daya alam yang saat ini belum diketahui manfaat terbaiknya secara berlebihan, sangat merugikan kepentingan generasi mendatang, karena mereka harus membayar inefisiensi dalam penggunaan sumber daya alam tersebut oleh generasi dulu dan sekarang membuat generasi mendatang tidak memiliki keragaman sumber daya alam yang tinggi.
Untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam (yang akan menjamin keberlanjutan bahan baku) inilah World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 merumuskan konsep yang kemudian kita kenal dengan sebutan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development.Didalam laporannya yang berjudul Our Common Future, WCED mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai : "Pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya".
Sebenarnya ide tentang (konsep) Pembangunan Berkelanjutan bukan sesuatu yang muncul begitu saja pada tahun 1987. Konsep ini sesungguhnya secara implisit telah ada di masyarakat tradisional di berbagai bangsa sejak masa lalu. Untuk pertama kalinyaa negara-negara didunia merumuskan pengertian Pembangunan Berkelanjutan didalam 1972 Stockholm UN Conference on Human Environment, yang kemudia dituangkan dalam Prinsip II Deklarasi Stockholm sebagai berikut:
"The natural resources of the earth, including the air, water, land, flora and fauna and especially representative samples of natural ecosystem, must be safeguarded for the benefit of present and future generations through careful planning or management, as appropriate".
Jadi, prinsip II Deklarasi Stockholm menyatakan bahwa sumber daya alam harus diselamatkan demi keuntungan (kesejahteraan) generasi kini dan mendatang melalui perencanaan atau pengelolaan yang secermat mungkin. Daud Silalahi menyatakan, pentingnya Deklarasi Stockholm 1972 bagi negara-negara yang terlibat dalam Konferensi dapat dilihat dari penilaian negara-negara peserta yang menyatakan bahwa Deklarasi Stockholm merupakan a first step in developing international environmental law. Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm 1972, PBB membentuk World Concervation Union yang bertugas menyusun Rencana Aksi (Action Plan) Lingkungan Hidup Manusia. Rencana Aksi tersebut disusun berdasarkan pengelompokkan semua rekomendasi dan tindakan-tindakan yang dapat diterima oleh Konferensi, selanjutnya diadakan identifikasi program yang bersifat lintas batas guna kepentingan perlindungan lingkungan. Untuk melaksanakan program itu, PBB membentuk United Nations Environmental Development (UNED) berkedudukan di Nairobi, Kenya.
Senin, 11 Oktober 2010
Antara Pembangunan Berkelanjutan dengan Keberlanjutan Ekologi
Sejarah lahirnya prinsip pembangunan berkelanjutan ditandai dengan terbentuknya World Commmission on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan) pada tahun 1984, yang diketuai oleh Ny. Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, selanjutnyaa komisi ini lazim pula disebut dengan Komisi Brundtland. Komisi ini bertugas untuk menganalisis dan member saran bagi proses pembangunan berkelanjutan, yang laporannya terangkum dalam buku Our Common Future, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Hari Depan Kita Bersama”. Komisi ini terdiri dari 9 orang mewakili negara maju dan 14 orang mewakili negara berkembang. Salah satu anggotanya adalah Emil Salim dari Indonesia, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992, PBB melakukan konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil atau yang lebih popular dengan Konferensi Tingki Tinggi Bumi di Rio (KTT Rio). Salah satu isu yang sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio adalah prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Pengertian dari Sustainable Development menurut Komisi Brundtland adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya, dalam bahasa Inggris terumuskan berupa : if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Istilah pembangunan berkelanjutan kini telah menjadi konsep yang bersifat subtle infiltration, mulai dari perjanjian-perjanjian internasional, dalam implementasi nasional dan peraturan perundang-undangan.
Setelah lebih dari sepuluh tahun lalu, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan global, banyak ahli lingkungan hidup mulai menyadari bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kegagalan disisi para pejuang lingkungan hidup. Kesepakatan politik yang dicapai pada KTT Bumi tahun 1992 adalah sebuah kemunduran atau kegagalan dalam negosiasi dari pihak pembela lingkungan hidup. Dengan diterimanya paradigma tersebut, yang menang adalah para ekonom dan pembela ideologi developmentalisme. Semua delegasi berkumpul untuk mengakui adanya krisis lingkungan hidup, tetapi justru berakhir dengan mengenaskan sakralnya pembangunan.
Sebagai sebuah agenda politik, paradigma ini merupakan hasil kompromi politik dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Akan tetapi, didalam keberhasilannya sebagai sebuah kompromi, para pejuang lingkungan hidup tidak sadar bahwa denagn menerima paradigma tersebut kita semua kembali menegaskan bahwa yang utama adalah pembangunan ekonomi dengan sasaran utama pertumbuhan ekonomi.
Hasilnya, lebih dari sepuluh tahun berselang tetap saja pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang diutamakan, sedangkan aspek sosial-budaya dan lingkungan hidup ditinggalkan dan diabaikan begitu saja. Karena, watak developmentalisme tidak kita tinggalkan sama sekali, malah justru diafirmasi dengan paradigma pembangunan berkelanjutan itu. Dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dikonservasi dan yang diberlanjutkan adalah pembangunan itu sendiri dan bukan alam atau ekologi.
Ada beberapa kelemahan utama dari paradigma pembangunan berkelanjutan, yaitu :
a. Tidak ada sebuah titik kurun waktu yang jelas dan terukur yang menjadi sasaran pembangunan berkelanjutan, hanya berupa komitmen sehingga sulit untuk diukur kapan tercapainya;
b. Asumsi paradigma pembangunan berkelanjutan didasarkan pada cara pandang yang sangat antroposentris, cara pandang yang menganggap alam sekedar sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia. Sehingga yang dilestarikan bukan alam yang nasibnya justru menjadi keprihatinan dan agenda internasional, melainkan memperluas kepentingan manusia auntuk memperoleh kemakmuran;
c. Asumsi yang ada dibalik paradigma ini adalah manusia bisa menentukan daya dukung ekosistem lokal dan regional. Padahal alam mempunyai kekayaan dan kompleksitas yang rumit jauh melampui kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia;
d. Paradigma pembangunan berkelanjutan bertumpu pada ideologi materialisme yang tak diuji secara kritis tetapi diterima begitu saja sebagai benar. Konsekuensinya, semua aspek kehidupan yang lain ditempatkan dibawah imperative ekonomi. Dengan demikian, bisa ditebak bahwa aspek-aspek lain, termasuk sosial-budaya dan lingkungan hidup, dikorbankan demi imperative ekonomi.
Sebagai gantinya, seorang ekolog Arne Naess menawarkaan konsep keberlanjtan ekologi. Tolok ukur keberhasilan dan kemajuan masyarakat tidak algi berdasarkan kemajuan material. Yang menjadi tolok ukur adalah kualitas kehidupan yang dicapai dengan menjamin kehidupan ekologis, soisal budaya dan ekonomi secara proporsional. Gaya hidup yang dibangun tidak lagi gaya hidup yang didasarkan pada produksi dan konsumsi yang berlebihan naun “simple in means, but reach in ends,” bukan having more tapi being more.
Baik pembangunan berkelanjutan maupun keberlanjutan ekologi adalah dua alternative yang bisa dipilih untuk diterapkan oleh masing-masing negara, termasuk Indonesia. Kedua alternative itu mempunyai sasaran sama yaitu integrasi ketiga aspek, yaitu aspek pembangunan ekonomi, aspek pelestarian sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Bedanya, paradigma pembangunan berkelanjutan memusatkan perhatian secara proporsional kedua aspek lain, sementara paradigma berkelanjutan ekologi mengutamakan pelestarian ekologi dengan tetap menjamin kualitas kehidupan ekonomi dan sosial budaya bagi masyarakat setempat.
Dalam arti itu, sejauh ketiga aspek itu bisa diintegrasikan dengan baik, paradigma peembangunan berkelanjutan atau paradigma keberlanjutan ekologi harus konsekuen dilaksanakan sesuai dengan komitmen untuk menjamin ketiga aspek tersebut secara proporsional. Memang, untuk menghindari jebakan ideologi developmentalisme, paradigma keberlanjutan ekologi tentu lebih menarik. Sejauh paradigma ini bisa diterapkan secara konsekuen dan dengan kesabaran tinggi, hasilnya akan lebih berkelanjutan. Dalam paradigma keberlanjutan ekologi, kita melestarikan ekologi dan sosial budaya masyarakat demi menjamin kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan paradigma ini, rakyat sendiri yang mengembangkan kemampuan ekonominya sesuai dengan kondisi yang dihadapi, khususnya kondisi lingkungan dan sosial budaya. Dalam rangka itu, mereka akan lebih terdorong untuk menjaga lingkungan karena sadar bahwa kehidupan ekonomi sangat tergantung dari sejauhmana mereka menjaga lingkungan.
Referensi:
1. Our Common Future, Brundtland Commision
2. Etika Lingkungan, Sony Kerraf
Pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992, PBB melakukan konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil atau yang lebih popular dengan Konferensi Tingki Tinggi Bumi di Rio (KTT Rio). Salah satu isu yang sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio adalah prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Pengertian dari Sustainable Development menurut Komisi Brundtland adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya, dalam bahasa Inggris terumuskan berupa : if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Istilah pembangunan berkelanjutan kini telah menjadi konsep yang bersifat subtle infiltration, mulai dari perjanjian-perjanjian internasional, dalam implementasi nasional dan peraturan perundang-undangan.
Setelah lebih dari sepuluh tahun lalu, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan global, banyak ahli lingkungan hidup mulai menyadari bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kegagalan disisi para pejuang lingkungan hidup. Kesepakatan politik yang dicapai pada KTT Bumi tahun 1992 adalah sebuah kemunduran atau kegagalan dalam negosiasi dari pihak pembela lingkungan hidup. Dengan diterimanya paradigma tersebut, yang menang adalah para ekonom dan pembela ideologi developmentalisme. Semua delegasi berkumpul untuk mengakui adanya krisis lingkungan hidup, tetapi justru berakhir dengan mengenaskan sakralnya pembangunan.
Sebagai sebuah agenda politik, paradigma ini merupakan hasil kompromi politik dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Akan tetapi, didalam keberhasilannya sebagai sebuah kompromi, para pejuang lingkungan hidup tidak sadar bahwa denagn menerima paradigma tersebut kita semua kembali menegaskan bahwa yang utama adalah pembangunan ekonomi dengan sasaran utama pertumbuhan ekonomi.
Hasilnya, lebih dari sepuluh tahun berselang tetap saja pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang diutamakan, sedangkan aspek sosial-budaya dan lingkungan hidup ditinggalkan dan diabaikan begitu saja. Karena, watak developmentalisme tidak kita tinggalkan sama sekali, malah justru diafirmasi dengan paradigma pembangunan berkelanjutan itu. Dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dikonservasi dan yang diberlanjutkan adalah pembangunan itu sendiri dan bukan alam atau ekologi.
Ada beberapa kelemahan utama dari paradigma pembangunan berkelanjutan, yaitu :
a. Tidak ada sebuah titik kurun waktu yang jelas dan terukur yang menjadi sasaran pembangunan berkelanjutan, hanya berupa komitmen sehingga sulit untuk diukur kapan tercapainya;
b. Asumsi paradigma pembangunan berkelanjutan didasarkan pada cara pandang yang sangat antroposentris, cara pandang yang menganggap alam sekedar sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia. Sehingga yang dilestarikan bukan alam yang nasibnya justru menjadi keprihatinan dan agenda internasional, melainkan memperluas kepentingan manusia auntuk memperoleh kemakmuran;
c. Asumsi yang ada dibalik paradigma ini adalah manusia bisa menentukan daya dukung ekosistem lokal dan regional. Padahal alam mempunyai kekayaan dan kompleksitas yang rumit jauh melampui kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia;
d. Paradigma pembangunan berkelanjutan bertumpu pada ideologi materialisme yang tak diuji secara kritis tetapi diterima begitu saja sebagai benar. Konsekuensinya, semua aspek kehidupan yang lain ditempatkan dibawah imperative ekonomi. Dengan demikian, bisa ditebak bahwa aspek-aspek lain, termasuk sosial-budaya dan lingkungan hidup, dikorbankan demi imperative ekonomi.
Sebagai gantinya, seorang ekolog Arne Naess menawarkaan konsep keberlanjtan ekologi. Tolok ukur keberhasilan dan kemajuan masyarakat tidak algi berdasarkan kemajuan material. Yang menjadi tolok ukur adalah kualitas kehidupan yang dicapai dengan menjamin kehidupan ekologis, soisal budaya dan ekonomi secara proporsional. Gaya hidup yang dibangun tidak lagi gaya hidup yang didasarkan pada produksi dan konsumsi yang berlebihan naun “simple in means, but reach in ends,” bukan having more tapi being more.
Baik pembangunan berkelanjutan maupun keberlanjutan ekologi adalah dua alternative yang bisa dipilih untuk diterapkan oleh masing-masing negara, termasuk Indonesia. Kedua alternative itu mempunyai sasaran sama yaitu integrasi ketiga aspek, yaitu aspek pembangunan ekonomi, aspek pelestarian sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Bedanya, paradigma pembangunan berkelanjutan memusatkan perhatian secara proporsional kedua aspek lain, sementara paradigma berkelanjutan ekologi mengutamakan pelestarian ekologi dengan tetap menjamin kualitas kehidupan ekonomi dan sosial budaya bagi masyarakat setempat.
Dalam arti itu, sejauh ketiga aspek itu bisa diintegrasikan dengan baik, paradigma peembangunan berkelanjutan atau paradigma keberlanjutan ekologi harus konsekuen dilaksanakan sesuai dengan komitmen untuk menjamin ketiga aspek tersebut secara proporsional. Memang, untuk menghindari jebakan ideologi developmentalisme, paradigma keberlanjutan ekologi tentu lebih menarik. Sejauh paradigma ini bisa diterapkan secara konsekuen dan dengan kesabaran tinggi, hasilnya akan lebih berkelanjutan. Dalam paradigma keberlanjutan ekologi, kita melestarikan ekologi dan sosial budaya masyarakat demi menjamin kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan paradigma ini, rakyat sendiri yang mengembangkan kemampuan ekonominya sesuai dengan kondisi yang dihadapi, khususnya kondisi lingkungan dan sosial budaya. Dalam rangka itu, mereka akan lebih terdorong untuk menjaga lingkungan karena sadar bahwa kehidupan ekonomi sangat tergantung dari sejauhmana mereka menjaga lingkungan.
Referensi:
1. Our Common Future, Brundtland Commision
2. Etika Lingkungan, Sony Kerraf
Jumat, 08 Oktober 2010
Kegagalan Teori Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan Dunia Ketiga 1
Sumber : Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan oleh Prof.Dr.FX.Adji Samekto, SH, MH
A. Kegagalan Teori Modernisasi Di Dunia Ketiga
A. Kegagalan Teori Modernisasi Di Dunia Ketiga
Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya pelaung bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan. Pertanyaan yang harus dijawab mengapa hal itu bisa terjadi?
Untuk menjelaskannya maka diuraikan hal-hal sebagai berikut:
Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia ternyata menunjukkan hal yang berlawanan. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat dalam pertumbuhannya di masa lalu, di negara-negara Dunia Ketiga justru menimbulkan dominasinya peran negara dan juga kerusakan lingkungan. Hal ini terjadi karena ada perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat (abad 18 dan 19) proses industrialisasi membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan yang besar dari negara. Sedangkan modernisasi di negara-negara Dunia Ketiga membutuhkan modal yang sangat besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.
Makin terlambat suatu negara melakukan proses industrialisasi, makin diperlukan campur tangan negara. Oleh karenanya mau tidak mau negara harus terlibat dalam proses pembangunan ekonomi. Keterlibatan negara dalam proses pembangunan ekonomi inilah yang kemudian mendorong negara untuk terjun langsung dalam proses-proses ekonomi, seperti melakukan akumulasi modal, emndirikan perusahaan-perusahaan negara, mendorong terciptanya dunia usaha serta campur tangan dalam regulasi di bidang industri dan perdagangan.
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa adanya kenyataan yang berlawanan antara negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat dengan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) dalam menerapkan teori modernisasi atau teori pembangunan tersebut. Jika modernisasi Eropa Barat dan Amerika Serikat yang banyak berperan adalah aktor-aktor non negara maka sebaliknya di negara-negara Dunia Ketiga modernisasi berasal dari peran negara yang sangat besar, bukan masyarakat. Bila modernisasi di Eropa berdampak pada demokratisasi politik, maka sebaliknya yang terjadi di Dunia Ketiga justru menciptakan pemerintahan yang dominan, yang akhirnya menempatkan pembangunan sebagai ideologi.
Dalam hubungan tersebut di atas, terjadilah kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dengan penguasa (negara) dan pengusaha, sehingga muncul "koalisi kepentingan". Untuk kepentingan-kepentingan kelanggenan koalisi inilah maka rakyat dan lingkungan hidup akan mudah dikorbankan. Penguasa negara berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi yang diperoleh karena kewenangannya, sedangkan kekuatan kapitalisme global (yang direpresentasikan oleh korporasi multinasional) berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang terus menerus diperbesar demi kepentingan akumulasi modal. Dalam kerangka ini maka pembuatan peraturan lingkungan ditingkat nasional tidak akan banyak melibatkan peran masyarakat. Padahal mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sesungguhnya tidak sekedar menyangkut prosedur, tetapi juga keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) yaitu masyarakat, LSM dan organisasi profesi.
Pada awal sampai akhir tahun 1990-an, di Indonesia telah disusun dana atau telah diratifikasi perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Perlindungan Keanekaragaman Hayati; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya dikatakannya, apabila dicermati dari substansi perundang-undangan tersebut, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :
a). Peran pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state based resource management);
b). Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (indigenous property rights) yang belum diakui secara utuh;
c). Partisipasi masyarakat (public participation) dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas;
d). Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.
Teori modernisasi di dalam implementasinya di Indonesia masih memberikan peran yang dominan bagi pemerintah (negara). Dominasi tersebut bisa memunculkan bias, sehingga peran masyarakat selaku stakeholder dalam masalah lingkungan menjadi tidak diakui. Terjadilanh kemudian kerusakan lingkungan di Indonesia yang umumnya juga di neagra-negara Dunia Ketiga, karena Dunia Ketiga telah dijadikan sebagai pemasok bahan baku/raw maaterial sebagai bagian dari rangkaian proses-proses perdagangan multilateral.
Hal ini sebenarnya merupakan tuntutan yang sesuai dengan ajaran kapitalisme bahwa ada tiga faktor utama dalam produksi yaitu sumber daya manusia, teknologi dan sumber daya alam. Oleh karena itu, sumber daya alam bisa dieksploitasi secara besar-besaran hanya untuk kepentingan maksimalisasi laba.
Rabu, 06 Oktober 2010
Sejarah dan Pengumpulan Bukti Ilmiah Tragedi Teluk Minamata, Jepang
Pada tanggal 21 April 1956, seorang anak perempuan berumur 5 tahun 11 bulan diperiksa pada Bagian Anak Rumah Sakit Perusahaan Chisso. Gejala utamanya bersifat neurologik, termasuk adanya kesulitan berjalan dan berbicara, serta kejang-kejang. Pasien ini dikirim ke rumah sakit 2 hari kemudian, pada tanggal 23. Di hari yang sama ketika ia dikirim ke rumah sakit, adik perempuannya, 2 tahun 11 bulan, mulai mengalami kesulitan berjalan dan menggerakkan kakinya, serta mengeluhkan nyeri pada lutut dan jari-jarinya.
Ia kemudian dibawa ke Bagian Anak pada tanggal 29, untuk pemeriksaan dengan gejala yang serupa dengan kakaknya.Daerah di mana pasien ditemukan pertama kali berada di ujung sebuah teluk kecil, di mana beberapa rumah berdiri berhimpit satu dengan yang lain. Diperoleh fakta ternyata tidak hanya kedua anak perempuan di atas yang mengalami gejala tersebut, tetapi tetangga mereka juga mengalaminya. Yang selanjutnya anggota keluarga yang lain jatuh sakit satu demi satu, sehingga pada akhirnya semua anggota keluarga terjangkit Penyakit Minamata.
Penyakit pada manusia akibat polusi lingkungan tak pernah mengalami penjangkitan bersama secara tiba-tiba. Hal ini terjadi setelah mengalami perubahan-perubahan berjangka waktu lama pada lingkungan. Hal ini bisa dikatakan terjadi pula pada kasus Minamata. Di tempat ini, sekitar awal tahun 1925-1926, dampak pada industri perikanan telah muncul. Saat ini sudah dapat dipastikan bahwa Chisso (dulunya bernama Nitchitsu) merupakan sumber pencemarannya. Minamata disebut sebagai ”kota istana” dari Chisso (Shin Nihon Chisso Hiryo Kabushiki Kaisha atau New Japan Nitrogenous Fertilizer, Inc.). Pada tahun 1908, Nihon Carbide Company didirikan. Pada tahun yang sama, perusahaan itu mengadakan merger dengan Sogi Electric dan nama perusahaan itu berubah menjadi Nihon Chisso Hiryo Kabushiki Kaisha (Japan Nitrogenous Fertilizer, Inc.).
Pada tahun 1909, perusahaan itu meraih sebuah hak paten untuk produksi pupuk nitrigenus dengan menggabungkan kalsium karbid dengan nitrogen atmosferik, yang kemudian dikembangkan pada suatu perusahaan elektrokimia dengan skala besar. Seiring dengan majunya industri kimia, Chisso memperluas operasinya termasuk di dalamnya sintesis amonia, produksi kalsium karbid dari asetilen, asetaldehida, dan asam asetat, produksi resin vinil klorida dari asetilen, sintesis oktanol dari asetaldehida, dan banyak lagi, sehingga pabrik Chisso Minamata merupakan yang paling maju di Jepang baik sebelum maupun sesudah Perang Dunia II. Dengan demikian, polusi lingkungan akibat pembuangan limbah yang tidak dapat dielakkan dari pabrik seperti itu, memang juga memiliki riwayat panjang. Makanya, perusahaan tersebut menerima sejumlah permintaan kompensasi dari kelompok nelayan sekitar tahun 1925 atau 1926. Agar tidak ada keluhan lebih lanjut yang bisa diajukan ke pengadilan, Chisso membayar 1500 yen sebagai ”uang simpati”.
Pada tahun 1943, isu tentang dampaknya terhadap perikanan kembali dimunculkan dan membuat perusahaan menandatangani kontrak kompensasi bersama kelompok nelayan. Bagian utama dari perjanjian tersebut adalah pembayaran kompensasi sebesar 152.000 yen atas kerusakan sebelumnya dan yang akan datang yang disebabkan oleh limbah pembuangan dari pabrik, berbagai macam residu, dan sampah ke laut di mana kelompok nelayan tersebut memiliki izin menangkap ikan. Tingkat pencemaran saat itu tidak diketahui, namun fakta bahwa tuntutan semacam itu pernah ditujukan kepada Chisso, penguasa Minamata pada saat itu, memberi kepastian bahwa kerusakan yang signifikan memang telah terjadi.
Setelah perang, pada tahun 1949, Perhimpunan Nelayan Minamata dibentuk dan kelompok yang lama dibubarkan. Begitu selesai dibentuk, kelompok baru itu kemudian menjadikan isu dampak perikanan kembali terangkat ke permukaan, namun perundingan kompensasi tidak menghasilkan keputusan dan masalah itu pun kembali tenggelam. Para nelayan tahu bahwa saat itu semakin sulit untuk menangkap ikan karena jaring mereka rusak akibat limbah karbid, dan bahwa kepah tak lagi menempel pada badan perahu yang ditambatkan dekat saluran pembuangan limbah pabrik, dan ikan tidak dapat hidup di dalam air dari Pelabuhan Hyakken. Meski begitu, pihak perusahaan tidak mau mendengar mereka, dan berdalih bahwa fakta-fakta tersebut tidak ilmiah dan tidak didukung oleh data-data. Namun pengetahuan para nelayan yang berdasar dari pengalaman dan bukti-bukti sebenarnya cukup ilmiah.
Selanjutnya, pada tahun 1954 perusahaan meminta hak atas daerah Hachiman kepada kelompok nelayan dalam rangka reklamasi lahan, kelompok nelayan meminta 500.000 yen per tahun sebagai kompensasi atas kerusakan terhadap perikanan sebelumnya dan yang akan datang. Perusahaan ini, walaupun mengakui bahwa memang telah terjadi kerusakan terhadap perikanan (dalam bentuk kurangnya tangkapan), tetap menegosiasikan ketentuan bahwa tidak ada tuntutan lebih lanjut, bahkan jika terjadi kerusakan di masa yang akan datang. Survei yang layak tentang kerusakan tidak pernah dilaporkan keluar dan tidak membutuhkan adanya pembelaan.
Fenomena Abnormal
Akibat pencemaran yang terjadi, timbul gejala-gejala aneh dan abnormal pada hewan yang hidup di sekitar Teluk Minamata. Adapun gejala-gejala tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tahun | Ikan | Kerang | Rumput Laut | Burung | Kucing, Babi |
1949-1950 | Di Matageta, gurita, bandeng laut mengambang dan dapat ditangkap dengan tangan | Kepah tak lagi tumbuh pada badan kapal di sekitar saluran keluar limbah pabrik di Pelabuhan Hyakken | Rumput laut di Teluk Minamata berubah menjadi putih dan mulai mengambang di permukaan | ||
1951-1952 | Ikan kurisi hitam, katak, ikan kurisi, bandeng laut, dll, mengapung khususnya di Teluk Minamata | Kerang, tiram, kepah, siput, dll, banyak yang terbuka | Ganggang hijau, agar-agar, laver hijau, alaria dll memudar warnanya tercerabut dan mengambang. Jumlah rumput laut menurun menjadi hanya 1/3 jumlah sebelumnya | Di Yudo, Detsuki, Tsukinouro, dll, gagak terjatuh dan burung laut dapat dipukul dengan dayung dan mudah ditangkap | |
1953-1954 | Area di mana ikan mengapung meluas ke selatan sampai Tsubodan, Akahana, Shinajiro, Hadakanze, dan Teluk Yudo. Belanak, ikan kurisi, ikan cutlass, cumi-cumi, katak, dll. Pada teluk Yudo, makarel kuda yang muda terlihat berenang dengan aneh dalam suatu lingkaran | Kerang yang mati makin banyak hingga melewati teluk minamata ke arah pesisir Tsukinoura. Pada 1953 pada seluruh area, kepah yang dikembangkan pada daerah seluas 1000 m mati | Jumlah rumput laut yang mengambang bertambah banyak, kerusakan meluas | Jumlah burung yang memperlihatkan efek seperti jatuh meningkat di sekitar pulau Koiji, Detsuki, Yudo, Modo. Gagak-gagak gila yang tidak mampu terbang dengan lurus terlihat meluncur jatuh ke dalam laut dan bebatuan | Kucing: Pada 1953, satu ekor menjadi gila dan mati di Detsuki. Pada 1954, kucing-kucing di Mategata, Myojin, Tsukinoura, Yudo, dll., terus menjadi gila dan mati.Babi:Menjadi gila dan mati di Detsuki, Tsukinoura |
1955-1957 | Daerah di mana ikan-ikan mengapung meluas hingga ke anak sungai Minamata, Osaki, Nishiyunoko | Pesisir pantai menjadi berbau akibat kerang yang membusuk | Rumput laut yang bisa dimakan menjadi hilang sama sekali dari daerah teluk Minamata | Jumlah jenis burung yang terkena pengaruh bertambah | Pada derah di atas, penyakit kucing gila menyebar. Baik hewan liar ataupun peliharaan menjadi gila dan mati. Banyak yang menghilang |
Teori Penyebab Pencemaran
Sebelum ditemukan bahwa merkuri merupakan penyebab dari penyakit minamata, banyak teori yang muncul dari berbagai peneliti mengenai penyebab dari penyakit minamata ini. Adapun teori-teori tersebut antara lain:
· Teori Mangan
September 1956, beredar sebuah isu di Minamata bahwa kemungkinan mangan merupakan penyebab utamanya. Sumber dari berita ini adalah Kelompok Peneliti Kumamoto. Mangan wajar dicurigai sebagai substansi penyebab, karena kelainan pada sistem ekstrapiramidal ditetapkan sebagai salah satu gejala klinis yang khas, ditambah lagi bila ada alterasi pada gangguan basalis. Mangan juga merupakan suatu kemungkinan yang logis karena kandungannya ditemukan pada air laut, air limbah, ikan, kerang, dan juga dalam organ-organ dalam penderita dalam jumlah besar. Secara resmi, mangan diumumkan sebagai penyebab yang dicurigai pada tanggal 4 November 1956, pada konferensi pertama yang diadakan Kelompok Peneliti Penyakit Minamata untuk melaporkan temuan mereka.
· Teori Thallium
Pada Mei 1958, diperkenalkan sebuah teori baru, yang mengajukan thallium sebagai penyebab. Hal ini terjadi karena thallium ditemukan dalam jumlah besar (300 ppm) pada limbah dan pembuangan pabrik di Teluk Minamata. Thallium yang secara eksperimental sangat beracun, ditemukan terkandung dalam debu yang dihasilkan oleh Cottreli precipitator yang digunakan dalam produksi asam sulfur di pabrik.Namun setelah diadakan penelitian lebih lanjut ternyata gejala penyakit akibat thallium, cukup berbeda dengan penyakit Minamata. Sehingga teori thallium tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
· Teori Selenium
Bulan April 1957, teori selenium sebagai penyebab utama diperkenalkan oleh Profesor Kitamura, mengingat sejumlah besar selenium ditemukan pada cairan limbah yang dibuang oleh pabrik di teluk minamata. Secara klinis, gangguan penglihatan dan ginjal akibat keracunan selenium terlihat lebih signifikan jika dibandingkan dengan penyakit Minamata. Namun, pada keracunan selenium, lesi pada sel korteks otak jarang ditemukan dan perwujudan klinisnya terbatas pada bergugurannya rambut dan memberatnya gejala-gejala umum. Dengan demikian, teori selenium akhirnya ditolak.
Kecurigaan Pada Merkuri
Douglas McAlpine, seorang neurolog asal Inggris, mengunjungi Minamata selama dua hari pada tanggal 13 dan 14Maret 1958. Saat itu, ia sedang melakukan penelitian tentang sklerosis multipel pada departemen neuropsikiatri di Universitas Kumamoto. Di Minamata, ia memeriksa 15 orang penderita penyakit Minamata dan memberikan pendapat yang sangat bernilai. Menurutnya, gejala-gejala seperti penyempitan rentangan pandang, penurunan fungsi pendengaran dan ataksia sangat mirip dengan gejala-gejala akibat keracunan merkuri di Inggris yang dilaporkan oleh Hunter dan Russel. McAlpine melaporkan hasil temuannya dalm jurnal Lancet pada bulan September 1958. Ini pertama kalinya merkuri organik dicurigai sebagai substansi penyebab penyakit Minamata. Anjuran McAlpine ini sangat penting artinya. Namun, sebelum ia dapat melaporkan hasil temuannya pada sebuah konfrensi Komunitas Neurolog Jepang, niatnya dihentikan oleh beberapa orang profesor dengan dalih bahwa semakin banyak teori akan semakin membingungkan.
Tahun 1959 merupakan tahun yang penting, baik bagi para penderita penyakit Minamata maupun terhadap riwayat penelitian dari penyakit tersebut. Merkuri, yang telah dicurigai sebagai penyebab sejak sekitar September 1958, mengundang lebih banyak perhatian lagi. Tanggal 19 Februari 1959, Tim Survei Penyakit Minamata/Keracunan Makanan dari Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan mengumumkan pentingnya penelitian terhadap distribusi merkuri pada Teluk Minamata. Tim ini dibentuk pada Januari 1959 sebagai tim penelitian di bawah Kementerian Kesehatan Masyarakat, semua anggotanya berasal dari Kelompok Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Kumamoto.
Sebagai hasil survey tersebut, terungkap sebuah fakta yang mengejutkan. Disebutkan, kadar merkuri yang sangat tinggi dideteksi pada tubuh ikan, kerang-kerangan, dan lumpur dari Teluk Minamata yang dikumpulkan pada saat terjadinya penjangkitan Penyakit Minamata. Secara geografi, merkuri ditemukan dalam konsentrasi tertingginya di sekitar mulut kanal pembuangan pabrik Chisso dan kadarnya menurun pada jarak yang jarak semakin jauh ke laut lepas. Data tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa merkuri berasal dari kanal pembuangan pabrik dalam lumpur (masyarakat menyebutnya dobe) sekitar mulut saluran pembuangan di Hyakken, dua kilogram merkuri per ton, seakan tempat tersebut merupakan tambang merkuri. Wajar jika kemudian kelompok penelitian yang melakukan studi di tempat tersebut dibuat terkejut. Kelak, sebuah cabang baru perusahaan Chisso ”Minamata Chemicals” dibuat khusus untuk mengklaim merkuri yang terdapat di dalam Teluk Minamata, maka Pantai Minamata memang telah menjadi sebuah tambang merkuri.Konsentrasi merkuri yang tinggi tidak hanya ditemukan di Teluk Minamata.
Kadar yang tinggi juga ditemukan pada rambut warga yang tinggal di sepanjang Laut Shiranui, khususnya di distrik Minamata, setelah dibandingkan dengan penduduk di kota Kumamoto. Level tertinggi dari merkuri yang dideteksi pada rambut penderita penyakit Minamata adalah 705 ppm, jumlah tertinggi dari warga Minamata yang sehat adalah 191 ppm, dan mereka yang tinggal di luar areal Minamata adalah sekitar 4,42 ppm. Kadar merkuri yang besar juga dideteksi pada air seni penderita Penyakit Minamata, berkisar antar 30-120 gamma per hari.
Konsentrasi merkuri yang tinggi ditemukan pada ikan dan kerang-kerangan yang berasal dari Teluk Minamata, dan menyebabkan Penyakit Minamata pada tikus dan kucing percobaan. Mereka memiliki kandungan merkuri antara 20-40 ppm, yang memperkuat dugaan bahwa merkuri telah menyebar luas pada area Laut Shiranui. Standar nasional merkuri yang diperbolehkan di lingkungan saat ini adalah 1,0 ppm.
Tingkat merkuri yang tinggi juga ditemukan pada organ-organ mayat penderita penyakit Minamata dan dalam organ kucing, baik yang secara alami, maupun yang mengalaminya karena dalam percobaan diberi makan ikan dan kerang-kerangan dari Teluk Minamata. Ditemukannya kadar merkuri yang tinggi pada rambut penduduk di distrik ini menunjukkan mereka-orang dewasa, bayi, anak-anak dan ibu mereka-semua terkontaminasi merkuri berat, dengan atau tanpa adanya gejala dengan mereka. Jika masalah ini ditanggapi dengan baik, mungkin kita dapat meramalkan datangnya perjangkitan Penyakit Minamata yang laten, sebelum kasus-kasus pasien dengan onset yang lambat dan gejala-gejala laten menjadi masalah serius seperti sekarang ini.
Meski demikian, dalam kenyataannya, kandungan merkuri pada rambut tidak dianggap sebagai faktor menentukan dalam menegakkan diagnosa Penyakit Minamata, dan meletakkan garis batas bahwa kandungan merkuri pada rambut penduduk adalah tinggi, baik pasien ataupun bukan. Jadi, di sini juga terjadi suatu kesalahan dalam memanfaatkan ndata yang ada. Meski harus diakui, Kelompok Penelitian telah mengumpulkan data-data yang berguna menyangkut Penyakit Minamata dan merkuri.
Pada 22 Juli 1959, Kelompok Penelitian Penyakit Minamata mengambil kesimpulan di akhir penemuan: ”Penyakit Minamata merupakan suatu penyakit neurologis yang disebabkan oleh konsumsi ikan dan kerang-kerangan lokal, dan merkuri telah menarik perhatian besar sebagai racun yang telah mencemari ikan dan kerang-kerangan.”
Teori Merkuri Organik
Tanggal 12 November 1959, anggota Komite Dewan Investigasi Makanan dan Sanitasi Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan memaparkan laporan berikut ini kepada menteri berdasarkan laporan oleh Tim Survei Keracunan Makanan/Penyakit Minamata:”Penyakit Minamata adalah suatu penyakit keracunan yang utamanya mempengaruhi sistim saraf pusat akibat mengkonsumsi ikan dan kerang-kerangan dari Teluk Minamata dan sekitarnya dalam jumlah besar, di mana agen penyebab utamanya adalah semacam campuran merkuri organik.” Jadi, dalam hal ini merkuri organik secara resmi diumumkan sebagai substansi penyebab Penyakit Minamata. Walau begitu, tanggal 13 November, di hari berikutnya, Tim Survei Penyakit Minamata/Keracunan Makanan dari Dewan Investigasi Makanan dan Sanitasi dibubarkan secara resmi oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan.
Sementara itu, Dr. Leonard T. Kurland (NIH USA) mengunjungi Minamata pada September 1958 dan memeriksa beberapa pasien. Ia mengambil beberapa contoh makanan dari laut, air laut dan lumpur untuk dibawa ke Amerika dan dianalisa. Ia menulis sebuah artikel pada sebuah surat kabar Asahi Shinbun dan Mainiji Shinbun tanggal 8 Desember 1959, yang memperkuat kesimpulan yang dibuat oleh Universitas Kumamoto bahwa substansi penyebab dari Penyakit Minamata adalah merkuri organic yang digambarkan sebagai berikut :
Langganan:
Postingan (Atom)